Sabda Rasullah :
_...”Betapa banyak orang yang berpuasa, namun dia tidak mendapatkan pahala dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga saja..”_
 
Menurut Al Ghazali ahli sufi, ada tiga tingkatan puasa, pertama puasa awam (umum), puasa yang paling rendah tingkatannya yang hanya menahan lapar dan haus serta tidak melakukan hubungan suami isteri di siang hari.

Tingkatan kedua, puasa khusus, adalah selain menahan makan dan minum serta syahwat, juga menahan penglihatan, pendengaran, ucapan, gerakan tangan dan kaki dari segala bentuk dosa. Puasa ini sering disebut puasa orang soleh.

Tingkatan ketiga, puasa khususnya orang yang khusus, adalah puasanya hati dari kepentingan jangka pendek dan fikiran duniawi serta menahan segala hal yang dapat memalingkan dirinya selain Allah SWT.

Jadi, menurut para ahli Sufi tujuan berpuasa tidak sekedar menahan lapar dan dahaga, tetapi tujuan utama puasa adalah untuk mengubah kualitas jiwa kita agar menjadi lebih terkendali dalam mengelola hawa nafsu, menghindar dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, lebih mendekatkan diri kepada Allah dengan mengutamakan akhirat dari pada duniawinya. Segenap umat Islam percaya  bahwa puasa itu berfungsi  sebagai  sarana mencapai derajat taqwa. Sebagaimana digambarkan Allah dalam surah Al Baqarah ayat 183. Kepercayaan itu  tidak  dapat diragukan, terutama bagi orang-orang bertaqwa, tidak ada keraguan di dalamnya. 

Sejauhmana puasa berfungsi sebagai pembentuk perilaku  muttaqin. Para sufi berpendapat bahwa taqwa akan berfungsi manakala umatnya berupaya secara maksimal menempuh jalan-jalan Allah. Dengan cara menghayati dan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, sebagaimana telah diatur dalam  agama  Islam.

 Jangan sampai kita keliru menjadikan lapar dan dahaga sebagai tujuan puasa. Dalam konteks inilah kritik Rasulullah SAW tentang orang yang hanya mendapat lapar dan dahaga dalam berpuasa, harus kita pahami. Kita sering terjebak menjadikan ‘tatacara’ menjadi tujuan dalam melaksanakan perintah agama, salah satunya perintah berpuasa  di bulan Ramadhan. Bukan hanya ibadah puasa, sholat, haji dan zakat kita juga seringkali seperti itu, terjebak dalam kekeliruan di atas. Terjebak pada cara menjadi tujuan. Keberagamaan kita hanya bersifat rutinitas dan formalitas belaka. Sehingga tidak membekas dalam kehidupan sehari-hari. 

Lalu, pada edisi ini, penulis hanya menganalisis puasa dari tingkatan awam. Mengapa untuk melatih pengendalian diri, harus melalui proses berlapar dan haus? Dalam berbagai penelitian dan kajian dapat disimpulkan bahwa secara umum kita melihat korelasinya. Alasannya  sebagai berikut :

1.Tidak  makan dan tidak minum dalam beberapa jam (satu hari)  adalah proses yang membawa dampak bagi kesehatan tubuh kita mencapai kondisi yang lebih baik, setelah sekian lama dibebani oleh metabolisme yang berlebihan. Penelitian membuktikan, banyak penyakit fisik dapat disembuhkan melalui puasa. Bahkan di negara maju seperti AS dan Eropa banyak berdiri klinik penyembuhan penyakit melalui metode puasa. Lewat puasa sistem pencernaan kita diistirahatkan atau ditidurkan. Dengan demikian tubuh akan merehabilitasi sendiri kerusakan kerusakan yang terjadi di dalam tubuh.  Orang yang sering berpuasa akan selalu dalam kondisi terbaiknya. Inilah dimensi fisik.

2.Lapar dan haus adalah kondisi kritis manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, yang bisa digunakan untuk melatih pengendalian diri secara kejiwaan (menahan hawa nafsu). Berbagai macam kerusakan yang terjadi pada diri sendiri maupun lingkungan kita berawal dari ketidakmampuan mengendalikan diri. Beberapa ayat yang menggambarkan betapa ulah tangan manusia yang tidak terkontrol menyebabkan masalah yang serius pada diri dan lingkungan. Seperti di dalam QS Al Mukminun ayat 71 menyebutkan : “..Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu...”

Ketidakmampuan kita mengendalikan perbuatan juga akan menyebabkan penyakit batin. Apa itu penyakit batin? Imam Ghazali menyebutkan di antara penyakit batin itu antara lain : pemarah,  pendendam, sulit memaafkan, iri dengki, serakah, pelit, egois, ujub, riya’, sombong, berbohong, bergunjing dan fitnah. Di sini kita bisa berlatih keteguhan jiwa dalam suasana krisis. Inilah dimensi psikis.

3.Lapar dan haus juga mengingatkan kita pada kondisi orang-orang yang terpinggirkan dan kurang beruntung di sekitar kita. Kehidupan kita bukanlah kehidupan yang bersifat pribadi semata. Akan tetapi juga berkehidupan sosial. Secara fitrah, manusia memang bukan sekedar makhluk individu. Dalam jiwanya telah tertanam ‘software’ sosial dan spritual. Karena itu orang yang tidak berkehidupan sosial dan spiritual, sama dengan orang yang tidak memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sendiri. Inilah yang disebut dimensi sosial.

4.Lapar dan haus menyebabkan kita teringat terus bahwa kita sedang dalam kondisi berlatih untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan yang berujung pada penyerahan diri kepada Allah SWT sang Pencipta Yang Maha Agung. Kualitas hidup tertinggi seorang manusia adalah dalam kadarnya sebagai mahkluk spiritual, makhluk yang senantiasa tunduk dan taat hanya kepada perintah Allah. Inilah dimensi spritual. (Sumber : Agus Mustofa dalam “Untuk Apa Berpuasa” Serial Diskusi Tasawuf Modern Serial ke 4). Mudah mudahan kita tergolong dalam puasa nya para Sufi. Aamiin....

*Penulis Dosen IAIN Pontianak

Pewarta: *Dr. H. Munawar M. Si

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020