Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menyebutkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme dinilai dapat mengikis reformasi dan bentuk mundur kehidupan demokrasi.

"Rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme tidak berdasar pada ketentuan criminal justice system serta peraturan perundang-undangan di atasnya yang mengatur secara tegas mengenai hakekat secara yuridis tentang tugas, pokok dan fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara dan bukan aparat penegakan hukum," kata Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Syafiq Ramdhani dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, sesuai cita reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil, dalam negara demokrasi harus terdapat pemisahan yang jelas antara civil society dengan militer.

Berdasarkan pertimbangan filosofis teoritis yuridis serta dijustifikasi oleh berbagai prinsip-prinsip fundamental dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara yang dilandasi negara hukum yang demokratis serta menjunjung tinggi prinsip  Hak Asasi Manusia (HAM) dalam civil society.

"Oleh karenanya, legal standing atas atas rancangan Perpres ini tidak berdasar pada peraturan di atasnya serta tidak berdasar pada tuntutan reformasi," ujarnya.

HMI Cabang Malang Komisariat Hukum Brawijaya ditekankan Syafiiq menolak secara tegas rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme demi keberlangsungan penegakan dan perkembangan hukum yang demokratis menjunjung tinggi HAM.

"Kami ingin menegakkan profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara sesuai dengan amanat reformasi demi keberlangsungan demokrasi," tegas Syafiq.

Ia menjelaskan, motivasi teror tidak selalu didasarkan pada penafsiran orang atau kelompok atas keyakinan agama. Motivasi teror juga dapat bersumber pada alasan-alasan kriminal, etnonasionalisme maupun politik.

Tindak kekerasan itu bisa pula dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara. Sasaran atau korban, kata Syafiq, bukan merupakan tujuan utama, tetapi hanya salah satu bentuk dari taktik intimidasi atau propaganda untuk mencapai tujuan-tujuan mereka.

"Karakteristik tindakan terorisme terletak pada menggunakan kekerasan secara sistematik untuk menimbulkan ketakutan yang meluas," tuturnya.

Syafiq memberikan gambaran, studi penelitian tentang pola penanganan terorisme di dunia dari tahun 1960 sampai 2008 oleh "Rand Corporation" menyebutkan dari banyaknya kasus terorisme di berbagai negara dan motif yang beragam, ternyata hanya 10 persen pola penanganan terorisme yang efektif dan berhasil dilakukan oleh operasi militer.

Sementara hampir 70 persen menyebutkan keberhasilan penanganan terorisme dilakukan dengan penegakan hukum dan operasi intelijen. Sisanya, menyebutkan pola penanganan terorisme berhasil karena kelompok-kelompok teroris melakukan metode negosiasi dan dialog yang masuk ke ranah politik.

"Mengacu pada data di atas terlihat lebih efektif pola penanganan terorisme dengan penegakan hukum dan operasi intelijen karena sejatinya terorisme masuk dalam tindak pidana sehingga dibutuhkan pola penanganan scientific investigation yang hanya dimiliki oleh kepolisian," paparnya.

Militer tidak dilatih untuk scientific investigation tetapi dilatih dalam doktrin perang sehingga sudut pandang yang dipakai adalah kill or be killed dan pencarian alat bukti dikesampingkan selama kelompok tersebut dianggap lawan.

Menurut Syafiq, terorisme diletakkan dalam koridor criminal justice system dimana penegakan hukumnya harus mengacu kepada kerangk  due process of law dalam KUHAP yang menghormati HAM.

Sementara pola penanganan yang kohersif serta mengesampingkan hak asasi manusia cenderung menimbulkan perlawanan yang semakin keras dari kelompok teroris tersebut.

Rancangan Perpres tersebut juga dapat bertentangan dengan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang menjelaskan bahwa Pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip Hak Asasi Manusia.

Sementara pelibatan TNI dalam penanganan terorisme dalam negeri melalui fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan dalam pasal 2 Rancangan Perpres memungkinkan adanya pola penanganan bercorak war model yang akan bertentangan dengan konsep negara demokrasi yaitu menjunjung tinggi HAM.

Dalam Pasal 2 tersebut, tambah dia, terjadi tumpang tindih kewenangan pemulihan yang dimiliki Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ( BNPT) dan kewenangan penindakan yang dimiliki oleh Kepolisian. Sedangkan dalam Pasal 3 terdapat keleluasaan kewenangan TNI dengan tidak adanya penjelasan tentang operasi lainnya.

"Hal ini dapat menjadikan TNI memiliki keterlibatan dalam penanganan tindak pidana terorisme dalam negeri yang bisa menciderai hak-hak sipil tanpa ada mekanisme akuntabilitas yang jelas," jelas Syafiq.

Sementara, Sekretaris Umum HMI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Daniel Alexander Siagian memandang adanya Pasal 7 dalam Rancangan Perpres juga dinilai bertentangan dengan Pasal 43 UU No 5 Tahun 2018 yang menjelaskan bahwa upaya pencegahan merupakan tugas dari BNPT.

"Hal ini rentan menimbulkan konflik kewenangan antara BNPT dan TNI dalam upaya pencegahan tindak pidana terorisme. Dalam Pasal 9 Rancangan Perpres juga berpotensi akan merusak mekanisme criminal justice system dan dapat menimbulkan terjadinya peningkatan pelanggaran HAM," ujarnya.

Hal tersebut dapat terjadi karena TNI mendapatkan kewenangan penindakan di dalam negeri dengan dalih adanya ancaman terorisme terhadap presiden, objek vital dan lain sebagainya tanpa ada ukuran situasi yang pasti dan jelas untuk melibatkan TNI, ucap Daniel.

Pewarta: Syaiful Hakim

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020