Sejak awal Oktober 2020, harga karet di pasaran internasional terus meningkat karena dipengaruhi oleh semakin membaiknya perekonomian dunia setelah sejumlah negara memutuskan untuk mengakhiri
‘lockdown’ pandemi COVID-19.
Permintaan yang tinggi akan karet asal Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia karena dipicu kembali menggeliatnya industri otomotif di China dan India. Karet dibutuhkan untuk pembuatan ban mobil.
Harga karet sempat menyentuh Rp22.000 per kilogram (pengeringan 100 persen) pada akhir Oktober 2020, artinya di tingkat petani bisa berkisar Rp10.000–Rp11.000/kg.
Padahal pada April 2020, harga karet sempat menyentuh titik terendah dalam beberapa tahun terakhir yakni Rp12.000/kg (pengeringan 100 persen) atau di tingkat petani hanya berkisar Rp4.000/kg.
Meski pada awal November sudah berangsur turun di kisaran Rp18.885/kg tapi sejatinya harga ini masih sangat menjanjikan jika dibandingkan empat atau tiga tahun lalu yang bertahan di kisaran harga Rp6.000/kg pada tingkat petani.
Kenaikan harga ini tentunya membuat petani karet Sumatera Selatan girang, namun sayangnya tak seluruh petani bisa bergembira. Ternyata ada yang sudah telanjur menebang pohon karetnya lantaran tak tahan menghadapi anjloknya harga dalam tiga tahun terakhir.
Surono, petani karet dan sayur mayur di Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, salah satunya.
Ia memutuskan menebang semua pohon karet di atas lahan 1 hektare miliknya pada 2018 lantaran harga karet terus merangsek turun. Sebelum memutuskan membabat habis pohon karetnya itu, Surono sempat sama sekali tak menghiraukan lahannya tersebut setidaknya selama satu tahun.
Pria paruh baya ini sengaja tidak menyadap getah karetnya, apalagi melakukan perawatan seperti pemupukan karena pendapatan dari satu hektare lahan itu hanya sekitar Rp800.000/bulan. Padahal sebelumnya bisa menghasilkan Rp4,5—Rp5 juta per bulan.
“Lalu saya lihat banyak petani di desa kami yang menebang pohon karetnya untuk diganti dengan tanaman sayuran. Akhirnya, saya pikir-pikir ya ada baiknya seperti itu,” kata dia.
Surono akhir mengorbankan satu hektare kebun karetnya itu, untuk kemudian ditanami sayur mayur seperti oyong, cabai dan jagung. Ternyata, menanam sayuran cukup menjanjikan karena dengan modal Rp5 juta sudah bisa panen dalam waktu yang tak lama tergantung pada jenis tanamannya.
Dari panen sayuran itu, Surono mendapatkan keuntungan bersih Rp3,5 juta setiap tiga pekan. Karena itu, ia dapat menyambung hidup di tengah jatuhnya harga karet sejak beberapa tahun lalu.
Tak berbeda jauh, T Puji Santoso (45), petani asal Desa Sinar Napalan, Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, juga menempuh langkah serupa.
Hanya saja, ia hanya mengorbankan satu hektare dari dua hektare lahan karet miliknya untuk ditanami sayur-mayur.
“Saya masih punya harapan (harga bakal naik), jadi satu hektare saja yang saya babat. Satu hektare lagi masih saya biarkan saja,” kata dia.
Petani bersuka cita
Di tengah kenaikan harga karet ini, Puji sangat bersuka cita. Saat ini per Oktober 2020, harga karet di tingkat petani menyentuh Rp7.000 per kg, sementara sebelumnya hanya Rp4.000 per kg.
Menurutnya kenaikan harga ini menjadi berkah tersendiri terutama di tengah pandemi COVID-19, walau sebenarnya untuk bisa dikatakan untung itu jika harga berkisar Rp10.000/kg di tingkat petani.
Puji hingga kini tetap optimistis bahwa suatu saat nanti, perkebunan karet akan memberikan kesejahteraan baginya seperti satu dekade lalu saat terjadi booming harga komoditas di tahun 2005 dan 2011, yang mana harga di tingkat petani menyentuh Rp15.000—Rp17.000/kg.
Namun, sembari menunggu, mau tak mau Puji tetap harus memutar otak untuk tetap bertahan hidup. Apalagi, ia sejak setahun silam menjadikan lahan karet seluas satu hektare miliknya untuk ditanami sayur-mayur.
Keputusannya itu rupanya cukup membantu perekonomian keluarganya, apalagi sejak ditanami beragam sayuran, seperti jagung, cabai, oyong, pepaya dan lainnya.
Bahkan di tengah pandemi ini, Puji dan sejumlah petani lain di desanya giat menanam jahe karena harganya mengalami peningkatan cukup signifikan dalam dua bulan terakhir, dari Rp10.000/kg menjadi Rp20.000/kg.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, hanya jahe dan karet yang mengalami kenaikan harga, sementara untuk komoditas lain seperti cabai, kopi, sawit, lada, kakao dan jenis sayuran lainnya relatif tidak berbeda dengan tahun lalu.
“Cabai harganya berubah-ubah tergantung cuaca, biasa itu. Kalo kopi, sama seperti tahun lalu stabil Rp17.000/kg, hanya karet saja bergerak naik dari Rp4.500/kg (masa pengeringan 1 minggu) menjadi Rp6.500/kg,” kata petani yang tergabung dalam kelompok tani Sumber Rezeki ini.
Kenaikan harga karet ini dinilai bersifat sementara, karena ada pengurangan pasokan dari salah satu negara pengekspor karet alam yakni Thailand, lantaran terjadi banjir di daerah sentra produksi.
Sebagian lagi menyakini bahwa harga karet tetap akan bertahan di harga rendah karena lemahnya permintaan dunia akibat pengaruh menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia sejak 2012-2013.
Tak salah kiranya jika petani karet mulai melirik peluang di sektor pertanian lain. Bahkan, petani karet di daerah lain Sumatera Selatan seperti di Kabupaten Banyuasin sejak beberapa tahun lalu telah mengalihkan lahannya menjadi lahan sawah.
Namun tak semua petani melakukan langkah berani itu. Di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, masih ada sekitar 300.000 petani karet yang bertahan.
Untuk itu, mau tak mau penyerapan dalam negeri terhadap produksi petani ini dipandang sebagai solusi yang paling tepat, salah satunya penggunaan karet untuk campuran aspal.
Program ini sudah dijalankan di Kabupaten Musi Banyuasin yang memiliki luas perkebunan karet 337.000 Ha atau menjadi terluas di Sumatera Selatan. Produksi karet kering yang mencapai 152.000 ton dari sekitar 300.000 petani rakyat.
Di Kabupaten ini kini berdiri instalasi pengolahan aspal karet berbasis lateks terpravulkanisasi yang menjadi pertama di Indonesia, yang akan menyerap getah karet produksi petani dalam bentuk lateks yang diproduksi Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB).
Terdapat satu unit mesin centrifuge yang dioperasikan di instalasi ini yang mampu menyerap 5-8 ton lateks dari petani setiap harinya. Sementara kapasitas instalasi mencapai 40 ton per hari.
Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex mengatakan demi mempercepat program penyerapan lateks petani ini, pemkab telah mengeluarkan stimulus menggunakan dana APBD untuk menyediakan mesin centrifuge di UPPB Kecamatan Keluang.
“Nanti tahun ini kami sediakan lagi di dua kecamatan, sehingga progres semakin cepat lagi,” kata dia.
Dodi berharap, apa yang dilakukan pemkab ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah karena inovasi ini bukan hanya membutuhkan suplai tapi juga demand (pasar).
Pemerintah Kabupaten Banyuasin memastikan ke depan seluruh jalan di kabupatennya bakal menggunakan campuran aspal karet.
Pada 2019 dan 2020, penggunaan lateks pada aspal jalan di Muba mencapai panjang 12,369 Km. Sebelumnya, pada 2018 mencapai 465 meter menggunakan teknologi SKAT. Dan pada 2020, mencapai 1,4 Km di Desa Muara Teladan, Kecamatan Sekayu.
Pada 2021, pemerintah pusat telah menganggarkan dana senilai Rp100 miliar untuk penyerapan karet rakyat untuk pembuatan aspal khusus di Musi Banyuasin.
Prioritas terhadap penyerapan karet itu lantaran ini dapat menggerakkan perekonomian rakyat, dan sekaligus mendukung program infrastruktur pemerintah saat ini.
Selain itu, tak kalah penting adalah untuk menjaga daya beli petani karena harga lateks jauh lebih tinggi jika dibandingkan menjual bokar yang hanya menjadi komoditas ekspor.
Negara mendukung penggunaan aspal karet ini karena secara teknis membuat jalan jauh lebih tahan lama, terutama di daerah yang sebagai besar wilayahnya yakni rawa seperti daerah di Sumatera dan Kalimantan.
Sejauh ini di Musi Banyuasin terdapat 88 UPPB di Musi Banyuasin yang menyasar 16.200 kepala keluarga.
UPPB ini menyerap produk petani dalam bentuk bokar dengan harga sekitar Rp9.000—Rp10.000 per kg, sementara jika sudah berubah menjadi lateks harga berlipat menjadi Rp20.000 per kg.
Hanya saja untuk menjadi lateks, belum semua UPPB memiliki mesin centrifuge (alat pemisah getah dan air) karena harganya berkisar Rp1 miliar. Biasanya mesin ini hanya dimiliki perusahaan/industri, bukan UPPB.
Untuk itu, pada 2021, Muba menargetkan penambahan dua mesin centrifuge lagi, menggunakan dana APBD yakni di Kecamatan Sekayu dan Babat Toman.
Namun, setidaknya terdapat lima unit yang beroperasi hingga 2022 sehingga hasil getah dari 88 UPPB dapat terserap maksimal untuk mendukung target mendirikan kawasan industri berbasis karet yang nantinya dapat membuat bahan jadi seperti sarung tangan, katup LPG dan alat kontrasepsi (kondom).
Percepat hilirisasi
Pengamat Ekonomi Sumsel Prof Bernadette Robiani mengatakan penurunan harga komoditas ini menjadi tantangan bagi Sumatera Selatan karena daerah ini belum bisa lepas dari ketergantungan pada ekspor karet, sawit dan batu bara.
Ketiga komoditas ekspor tersebut mengalami penurunan harga yang cukup signifikan dalam sejak lima tahun terakhir, dan dibarengi dengan penurunan permintaan pasar dunia.
Di saat pandemi ini, ketiga sektor itu semakin tertekan sehingga berdampak secara langsung pada capaian pertumbuhan ekonomi. Ekspor karet, batu bara dan bubur kayu pada triwulan III 2020 terkontraksi -26,56 persen.
Akibatnya pertumbuhan ekonomi Sumsel pada triwulan III 2020 menjadi -1,4 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Meski pertumbuhan ekonomi ini lebih baik dari angka nasional yang mencatat -3,49 persen dan wilayah Sumatera -2,22 persen, tapi angka minus tentunya menjadi warning tersendiri. Apalagi ekonomi Sumsel ini sudah terkontraksi sejak triwulan II 2020 yakni -1,53 persen lantaran a pengaruh penyebaran virus corona.
Pertumbuhan ekonomi di daerah ini menunjukkan perbaikan di tengah pandemi COVID-19 lantaran ditopang oleh sektor pertanian yang tergolong tangguh selama pandemi. Jika tidak ada sektor ini, dipastikan ekonomi Sumsel akan terkontraksi lebih dalam seperti daerah-daerah lain di Sumatera.
Bernadette Robiani mengatakan Provinsi Sumatera Selatan harus mempercepat hilirisasi komoditas demi terjaganya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Menurutnya, momen penurunan harga karet yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi kesempatan untuk mengejar hilirisasi.
“Jika pun akan melakukan hilirisasi dengan tujuan akan diserap di dalam negeri sendiri, tantangannya yakni riset dan inovasi,” kata dia.
Saat ini perekonomian Sumatera Selatan masih bergantung pada sektor primer, di mana masih mengekspor kelapa sawit, karet dan batu bara yang belum memiliki nilai tambah.
Oleh karena itu, Sumsel harus melihat kondisi permintaan pasar yang melemah dan ketidakstabilan harga komoditas andalan itu sebagai peluang untuk mempercepat hilirisasi.
Menurutnya, peluang untuk hilirisasi akan terbuka lebar dengan adanya rencana dimulainya kembali aktivitas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api Api (KEK TAA).
“KEK TAA akan menciptakan nilai tambah dan multiplier effect bagi perekonomian Sumatera Selatan,” kata dia.
Sementara itu Kepala Perwakilan BI Sumsel Harry Widodo mengatakan perlu adanya perbaikan dari sisi hulu untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah yang berbasis hilirisasi industri.
Ia mencontohkan, untuk komoditas karet, hilirisasi dapat diwujudkan melalui pembangunan industri ban baru, industri ban vulkanisir dan industri apparel (sarung tangan) hingga aspal karet. Dari sisi suplai dipastikan Sumsel dapat memenuhinya karena memiliki areal seluas 1.307.011 hektare dengan produksi per tahun hampir 1 juta ton atau berkontribusi besar atas produksi nasional sebesar 3,7 juta ton per tahun.
“Namun memang tantangannya ada pada infrastruktur di mana kapasitas pelabuhan eksisting yang terbatas sehingga berdampak pada biaya penanganan yang tinggi,” kata dia.
Langkah Pemprov Sumsel untuk merealisasikan pembangunan pelabuhan laut Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin yang nantinya menjadi pelecut lahirnya Kawasan Ekonomi Khusus dinilai sangatlah tepat.
Namun, pertanyaannya akankah proyek yang telah digagas sejak tahun 1990-an ini bakal terealisasi dalam waktu dekat. Sembari menunggu, tentunya petani tidak bisa terus menerus dalam dilema. Mereka membutuhkan solusi atas kesulitan yang dihadapi, dan sepertinya sektor perkebunan hortikultura yang menjadi pilihan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020
‘lockdown’ pandemi COVID-19.
Permintaan yang tinggi akan karet asal Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia karena dipicu kembali menggeliatnya industri otomotif di China dan India. Karet dibutuhkan untuk pembuatan ban mobil.
Harga karet sempat menyentuh Rp22.000 per kilogram (pengeringan 100 persen) pada akhir Oktober 2020, artinya di tingkat petani bisa berkisar Rp10.000–Rp11.000/kg.
Padahal pada April 2020, harga karet sempat menyentuh titik terendah dalam beberapa tahun terakhir yakni Rp12.000/kg (pengeringan 100 persen) atau di tingkat petani hanya berkisar Rp4.000/kg.
Meski pada awal November sudah berangsur turun di kisaran Rp18.885/kg tapi sejatinya harga ini masih sangat menjanjikan jika dibandingkan empat atau tiga tahun lalu yang bertahan di kisaran harga Rp6.000/kg pada tingkat petani.
Kenaikan harga ini tentunya membuat petani karet Sumatera Selatan girang, namun sayangnya tak seluruh petani bisa bergembira. Ternyata ada yang sudah telanjur menebang pohon karetnya lantaran tak tahan menghadapi anjloknya harga dalam tiga tahun terakhir.
Surono, petani karet dan sayur mayur di Desa Sigam Kayal Sari, Kecamatan Gelumbang, Kabupaten Muaraenim, salah satunya.
Ia memutuskan menebang semua pohon karet di atas lahan 1 hektare miliknya pada 2018 lantaran harga karet terus merangsek turun. Sebelum memutuskan membabat habis pohon karetnya itu, Surono sempat sama sekali tak menghiraukan lahannya tersebut setidaknya selama satu tahun.
Pria paruh baya ini sengaja tidak menyadap getah karetnya, apalagi melakukan perawatan seperti pemupukan karena pendapatan dari satu hektare lahan itu hanya sekitar Rp800.000/bulan. Padahal sebelumnya bisa menghasilkan Rp4,5—Rp5 juta per bulan.
“Lalu saya lihat banyak petani di desa kami yang menebang pohon karetnya untuk diganti dengan tanaman sayuran. Akhirnya, saya pikir-pikir ya ada baiknya seperti itu,” kata dia.
Surono akhir mengorbankan satu hektare kebun karetnya itu, untuk kemudian ditanami sayur mayur seperti oyong, cabai dan jagung. Ternyata, menanam sayuran cukup menjanjikan karena dengan modal Rp5 juta sudah bisa panen dalam waktu yang tak lama tergantung pada jenis tanamannya.
Dari panen sayuran itu, Surono mendapatkan keuntungan bersih Rp3,5 juta setiap tiga pekan. Karena itu, ia dapat menyambung hidup di tengah jatuhnya harga karet sejak beberapa tahun lalu.
Tak berbeda jauh, T Puji Santoso (45), petani asal Desa Sinar Napalan, Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, juga menempuh langkah serupa.
Hanya saja, ia hanya mengorbankan satu hektare dari dua hektare lahan karet miliknya untuk ditanami sayur-mayur.
“Saya masih punya harapan (harga bakal naik), jadi satu hektare saja yang saya babat. Satu hektare lagi masih saya biarkan saja,” kata dia.
Petani bersuka cita
Di tengah kenaikan harga karet ini, Puji sangat bersuka cita. Saat ini per Oktober 2020, harga karet di tingkat petani menyentuh Rp7.000 per kg, sementara sebelumnya hanya Rp4.000 per kg.
Menurutnya kenaikan harga ini menjadi berkah tersendiri terutama di tengah pandemi COVID-19, walau sebenarnya untuk bisa dikatakan untung itu jika harga berkisar Rp10.000/kg di tingkat petani.
Puji hingga kini tetap optimistis bahwa suatu saat nanti, perkebunan karet akan memberikan kesejahteraan baginya seperti satu dekade lalu saat terjadi booming harga komoditas di tahun 2005 dan 2011, yang mana harga di tingkat petani menyentuh Rp15.000—Rp17.000/kg.
Namun, sembari menunggu, mau tak mau Puji tetap harus memutar otak untuk tetap bertahan hidup. Apalagi, ia sejak setahun silam menjadikan lahan karet seluas satu hektare miliknya untuk ditanami sayur-mayur.
Keputusannya itu rupanya cukup membantu perekonomian keluarganya, apalagi sejak ditanami beragam sayuran, seperti jagung, cabai, oyong, pepaya dan lainnya.
Bahkan di tengah pandemi ini, Puji dan sejumlah petani lain di desanya giat menanam jahe karena harganya mengalami peningkatan cukup signifikan dalam dua bulan terakhir, dari Rp10.000/kg menjadi Rp20.000/kg.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, hanya jahe dan karet yang mengalami kenaikan harga, sementara untuk komoditas lain seperti cabai, kopi, sawit, lada, kakao dan jenis sayuran lainnya relatif tidak berbeda dengan tahun lalu.
“Cabai harganya berubah-ubah tergantung cuaca, biasa itu. Kalo kopi, sama seperti tahun lalu stabil Rp17.000/kg, hanya karet saja bergerak naik dari Rp4.500/kg (masa pengeringan 1 minggu) menjadi Rp6.500/kg,” kata petani yang tergabung dalam kelompok tani Sumber Rezeki ini.
Kenaikan harga karet ini dinilai bersifat sementara, karena ada pengurangan pasokan dari salah satu negara pengekspor karet alam yakni Thailand, lantaran terjadi banjir di daerah sentra produksi.
Sebagian lagi menyakini bahwa harga karet tetap akan bertahan di harga rendah karena lemahnya permintaan dunia akibat pengaruh menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia sejak 2012-2013.
Tak salah kiranya jika petani karet mulai melirik peluang di sektor pertanian lain. Bahkan, petani karet di daerah lain Sumatera Selatan seperti di Kabupaten Banyuasin sejak beberapa tahun lalu telah mengalihkan lahannya menjadi lahan sawah.
Namun tak semua petani melakukan langkah berani itu. Di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, masih ada sekitar 300.000 petani karet yang bertahan.
Untuk itu, mau tak mau penyerapan dalam negeri terhadap produksi petani ini dipandang sebagai solusi yang paling tepat, salah satunya penggunaan karet untuk campuran aspal.
Program ini sudah dijalankan di Kabupaten Musi Banyuasin yang memiliki luas perkebunan karet 337.000 Ha atau menjadi terluas di Sumatera Selatan. Produksi karet kering yang mencapai 152.000 ton dari sekitar 300.000 petani rakyat.
Di Kabupaten ini kini berdiri instalasi pengolahan aspal karet berbasis lateks terpravulkanisasi yang menjadi pertama di Indonesia, yang akan menyerap getah karet produksi petani dalam bentuk lateks yang diproduksi Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB).
Terdapat satu unit mesin centrifuge yang dioperasikan di instalasi ini yang mampu menyerap 5-8 ton lateks dari petani setiap harinya. Sementara kapasitas instalasi mencapai 40 ton per hari.
Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex mengatakan demi mempercepat program penyerapan lateks petani ini, pemkab telah mengeluarkan stimulus menggunakan dana APBD untuk menyediakan mesin centrifuge di UPPB Kecamatan Keluang.
“Nanti tahun ini kami sediakan lagi di dua kecamatan, sehingga progres semakin cepat lagi,” kata dia.
Dodi berharap, apa yang dilakukan pemkab ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah karena inovasi ini bukan hanya membutuhkan suplai tapi juga demand (pasar).
Pemerintah Kabupaten Banyuasin memastikan ke depan seluruh jalan di kabupatennya bakal menggunakan campuran aspal karet.
Pada 2019 dan 2020, penggunaan lateks pada aspal jalan di Muba mencapai panjang 12,369 Km. Sebelumnya, pada 2018 mencapai 465 meter menggunakan teknologi SKAT. Dan pada 2020, mencapai 1,4 Km di Desa Muara Teladan, Kecamatan Sekayu.
Pada 2021, pemerintah pusat telah menganggarkan dana senilai Rp100 miliar untuk penyerapan karet rakyat untuk pembuatan aspal khusus di Musi Banyuasin.
Prioritas terhadap penyerapan karet itu lantaran ini dapat menggerakkan perekonomian rakyat, dan sekaligus mendukung program infrastruktur pemerintah saat ini.
Selain itu, tak kalah penting adalah untuk menjaga daya beli petani karena harga lateks jauh lebih tinggi jika dibandingkan menjual bokar yang hanya menjadi komoditas ekspor.
Negara mendukung penggunaan aspal karet ini karena secara teknis membuat jalan jauh lebih tahan lama, terutama di daerah yang sebagai besar wilayahnya yakni rawa seperti daerah di Sumatera dan Kalimantan.
Sejauh ini di Musi Banyuasin terdapat 88 UPPB di Musi Banyuasin yang menyasar 16.200 kepala keluarga.
UPPB ini menyerap produk petani dalam bentuk bokar dengan harga sekitar Rp9.000—Rp10.000 per kg, sementara jika sudah berubah menjadi lateks harga berlipat menjadi Rp20.000 per kg.
Hanya saja untuk menjadi lateks, belum semua UPPB memiliki mesin centrifuge (alat pemisah getah dan air) karena harganya berkisar Rp1 miliar. Biasanya mesin ini hanya dimiliki perusahaan/industri, bukan UPPB.
Untuk itu, pada 2021, Muba menargetkan penambahan dua mesin centrifuge lagi, menggunakan dana APBD yakni di Kecamatan Sekayu dan Babat Toman.
Namun, setidaknya terdapat lima unit yang beroperasi hingga 2022 sehingga hasil getah dari 88 UPPB dapat terserap maksimal untuk mendukung target mendirikan kawasan industri berbasis karet yang nantinya dapat membuat bahan jadi seperti sarung tangan, katup LPG dan alat kontrasepsi (kondom).
Percepat hilirisasi
Pengamat Ekonomi Sumsel Prof Bernadette Robiani mengatakan penurunan harga komoditas ini menjadi tantangan bagi Sumatera Selatan karena daerah ini belum bisa lepas dari ketergantungan pada ekspor karet, sawit dan batu bara.
Ketiga komoditas ekspor tersebut mengalami penurunan harga yang cukup signifikan dalam sejak lima tahun terakhir, dan dibarengi dengan penurunan permintaan pasar dunia.
Di saat pandemi ini, ketiga sektor itu semakin tertekan sehingga berdampak secara langsung pada capaian pertumbuhan ekonomi. Ekspor karet, batu bara dan bubur kayu pada triwulan III 2020 terkontraksi -26,56 persen.
Akibatnya pertumbuhan ekonomi Sumsel pada triwulan III 2020 menjadi -1,4 persen jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu (yoy). Meski pertumbuhan ekonomi ini lebih baik dari angka nasional yang mencatat -3,49 persen dan wilayah Sumatera -2,22 persen, tapi angka minus tentunya menjadi warning tersendiri. Apalagi ekonomi Sumsel ini sudah terkontraksi sejak triwulan II 2020 yakni -1,53 persen lantaran a pengaruh penyebaran virus corona.
Pertumbuhan ekonomi di daerah ini menunjukkan perbaikan di tengah pandemi COVID-19 lantaran ditopang oleh sektor pertanian yang tergolong tangguh selama pandemi. Jika tidak ada sektor ini, dipastikan ekonomi Sumsel akan terkontraksi lebih dalam seperti daerah-daerah lain di Sumatera.
Bernadette Robiani mengatakan Provinsi Sumatera Selatan harus mempercepat hilirisasi komoditas demi terjaganya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Menurutnya, momen penurunan harga karet yang sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir seharusnya menjadi kesempatan untuk mengejar hilirisasi.
“Jika pun akan melakukan hilirisasi dengan tujuan akan diserap di dalam negeri sendiri, tantangannya yakni riset dan inovasi,” kata dia.
Saat ini perekonomian Sumatera Selatan masih bergantung pada sektor primer, di mana masih mengekspor kelapa sawit, karet dan batu bara yang belum memiliki nilai tambah.
Oleh karena itu, Sumsel harus melihat kondisi permintaan pasar yang melemah dan ketidakstabilan harga komoditas andalan itu sebagai peluang untuk mempercepat hilirisasi.
Menurutnya, peluang untuk hilirisasi akan terbuka lebar dengan adanya rencana dimulainya kembali aktivitas pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api Api (KEK TAA).
“KEK TAA akan menciptakan nilai tambah dan multiplier effect bagi perekonomian Sumatera Selatan,” kata dia.
Sementara itu Kepala Perwakilan BI Sumsel Harry Widodo mengatakan perlu adanya perbaikan dari sisi hulu untuk peningkatan produktivitas dan peningkatan nilai tambah yang berbasis hilirisasi industri.
Ia mencontohkan, untuk komoditas karet, hilirisasi dapat diwujudkan melalui pembangunan industri ban baru, industri ban vulkanisir dan industri apparel (sarung tangan) hingga aspal karet. Dari sisi suplai dipastikan Sumsel dapat memenuhinya karena memiliki areal seluas 1.307.011 hektare dengan produksi per tahun hampir 1 juta ton atau berkontribusi besar atas produksi nasional sebesar 3,7 juta ton per tahun.
“Namun memang tantangannya ada pada infrastruktur di mana kapasitas pelabuhan eksisting yang terbatas sehingga berdampak pada biaya penanganan yang tinggi,” kata dia.
Langkah Pemprov Sumsel untuk merealisasikan pembangunan pelabuhan laut Tanjung Api-Api di Kabupaten Banyuasin yang nantinya menjadi pelecut lahirnya Kawasan Ekonomi Khusus dinilai sangatlah tepat.
Namun, pertanyaannya akankah proyek yang telah digagas sejak tahun 1990-an ini bakal terealisasi dalam waktu dekat. Sembari menunggu, tentunya petani tidak bisa terus menerus dalam dilema. Mereka membutuhkan solusi atas kesulitan yang dihadapi, dan sepertinya sektor perkebunan hortikultura yang menjadi pilihan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020