Dokter spesialis penyakit dalam Sayuri Suwandi tidak menganjurkan pasien COVID-19 yang tak bergejala untuk melakukan isolasi mandiri di rumah tanpa berkonsultasi kepada dokter untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.
Meski merasa tidak mengalami gejala apapun, atau hanya muncul gejala ringan, memeriksakan diri kepada dokter merupakan hal penting.
"Banyak kejadian bahwa pasien isolasi mandiri sendiri, dia berasa bahwa dia OTG (orang tanpa gejala), dia berasa tidak ada gejala sama sekali, gejalanya ringan, tahu-tahu drop," kata Sayuri dalam instagram live di akun @kawalcovid19.id, dikutip Kamis.
Ketika pasien baru dilarikan ke rumah sakit ketika kondisinya sudah menurun, otomatis pengobatannya pun semakin sulit. Oleh karena itu, Sayuri mengatakan pasien yang sudah terkonfirmasi positif COVID-19 harus berkonsultasi ke dokter sebagai langkah pertama. Carilah dokter terdekat agar bisa ditangani secara cepat.
Bila belum sempat berkonsultasi dengan dokter spesialis paru, cari dokter yang bisa menangani secepat mungkin, termasuk dokter umum.
"Kalau misalnya adanya dokter paru atau penyakit dalam silahkan boleh. Yang penting dia memang update ilmu terhadap COVID-19."
Dokter akan mengevaluasi kondisi pasien, kemudian menentukan apakah yang bersangkutan bisa melakukan isolasi mandiri, diisolasi di fasilitas seperti Wisma Atlet atau harus dirawat di rumah sakit.
Dokter juga akan memutuskan apakan pasien harus diperiksa lebih lanjut atau diizinkan isolasi mandiri tanpa pemeriksaan lanjutan. Tetaplah memakai masker di dalam rumah, tidur terpisah. Atau pastikan jarak minimal 1,8 meter dengan orang lain bila terpaksa tidur di tempat yang berdekatan.
"Dan kalau memang memungkinkan tidur itu jangan kepala ketemu kepala, tapi kepala sama kaki. Jadi, mengurangi paparan. Itu adalah cara yang sebenarnya tidak dianjurkan juga, tapi kalau memang kondisinya benar-benar tidak memungkinkan, ya satu-satunya cara yang kita usahakan seperti itu."
Namun Anda bisa tidur berdekatan dengan anggota keluarga di rumah bila sama-sama positif COVID-19. Selain itu, sebisa mungkin tidak memasang pendingin udara. Lebih baik membuka jendela agar ada sirkulasi udara. Bila pendingin udara dipakai di ruangan kecil, udara yang berada di rumah berputar-putar tidak berganti dengan udara segar, berpotensi menularkan virus ke penjuru rumah.
Cara isolasi mandiri
Bila pasien melakukan isolasi mandiri, pastikan untuk memegang kontak tenaga kesehatan yang bisa dihubungi sewaktu-waktu ada keadaan darurat.
Bila muncul keluhan, hubungi dokter yang sudah mengetahui kondisi agar tenaga kesehatan bisa tetap mengawasi meski tidak berada di tempat isolasi. Jangan lupa untuk menyaring informasi sehingga tidak kebingungan saat menjalani isolasi mandiri.
"Saya biasa menganjurkan pasien pegang satu nomor dokter yang kamu percaya. Jadi, kalau misalnya ada apa-apa, kamu kontak sama dokter itu supaya jangan sampai kamu dapat informasi yang simpang siur.”
Pasien COVID-19 yang tidak punya komorbid harus menyediakan alat-alat mendasar seperti termometer untuk mengukur suhu minimal dua kali sehari, pada pagi dan sore atau pagi dan malam. Pengukuran suhu juga bisa dilakukan tiga kali pada pagi, siang dan malam.
Catat suhu tubuh secara rutin untuk melihat kurva grafik suhu tubuh. Selanjutnya adalah oksimeter, alat pengukur kadar saturasi oksigen. Alat ini bisa memantau apakah pasien memiliki kadar saturasi oksigen rendah tapi tidak merasa sesak.
"Kalau dia punya oksimeter, dia bisa lihat nih. Kalau misalnya saturasi oksigennya saya sudah di bawah 95, ini usdah warning nih. Pasti sudah ada something wrong. Karena kan kalau normal harusnya di atas 95," katanya. Bila saturasi oksigen di bawah 95, segera kontak dokter atau langsung bertolak ke rumah sakit.
Bila tidak punya oksimeter, gejala penurunan oksigen bisa dirasakan dari kesulitan bernapas, seperti dada yang sakit dan terasa tertekan, bibir yang mulai kebiruan dan ujung jari terlihat agak ungu. Saat itu terjadi, segera cari pertolongan medis.
Alat kesehatan lain yang harus disiapkan tergantung dari komorbid pasien. Bila punya riwayat hipertensi, siapkan alat untuk mengukur tekanan darah. Mereka yang punya riwayat diabetes sebaiknya menyiapkan glucometer untuk mengevaluasi gula darah.
"Kalau misalnya gulanya tiba- tiba naik melonjak ga bisa turun-turun, hati-hati. Harus segera konsultasi dokter atau ke rumah sakit.”
Aktivitas di rumah
Pasien positif COVID-19 harus membatasi agar tidak kontak dengan orang lain di rumahnya. Bila tidak bisa beraktivitas secara mandiri dan butuh bantuan orang lain, pastikan mereka memakai sarung tangan untuk mengurangi kontak agar tidak tertular.
Orang terdekat bisa membantu banyak hal, termasuk mencuci baju. Tapi ada hal yang harus diingat. Baju pasien bisa dicuci seperti biasa, tapi orang yang mencuci harus memakai sarung tangan. Segera buang sarung tangan dan cuci tangan setelah proses selesai.
"Dan yang paling penting kalau cuci baju tolong jangan dikibas-kibas. Kita kan biasanya kalau mau cuci baju baju tuh dikibas-kibas terus dimasukin ke ember. Jangan, itu virusnya terbang kemana- mana semua."
Prinsip yang sama juga diterapkan untuk membuang sampah dan membersihkan kamar pasien. Bila memang masih bisa, sebaiknya kerjakan sendiri agar tidak ada risiko menulari orang lain. Buang sampah pun harus hati-hati karena limbahnya bisa jadi sarana penularan.
Sampah seperti tisu yang bisa menularkan virus harus dibuang dalam kurun 12-24 jam, masukkan ke dalam kantong khusus yang aman dan diikat agar isinya tidak luber dan membuat benda lain terkontaminasi.
Oleh karena itu, pastikan untuk berkomunikasi dengan satgas di lingkungan rumah sehingga mereka bisa mengatur soal pembuangan limbah. Jangan sampai sampah yang diambil oleh tukang sampah jadi mencemari lingkungan dan berujung kepada penyebaran virus yang lebih luas.
Sebelum isolasi mandiri, dokter akan memantau kondisi pasien COVID-19. Bila tidak perlu minuman obat, dokter akan menyarankan untuk mengonsumsi banyak vitamin demi memperbaiki sistem imunitas tubuh. Setiap vitamin punya kegunaan masing-masing.
Mereknya boleh apa saja asal komposisinya lengkap untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Jika masih ada kebutuhan untuk membeli obat atau vitamin, sebaiknya minta tolong orang lain atau belanja daring dan hindari bepergian. Jika terpaksa keluar rumah, pastikan selalu menerapkan protokol kesehatan.
Pastikan hasil tes akurat
Beragam tes COVID-19 berupa tes rapid antigen atau tes usap jadi persyaratan untuk aktivitas seperti bepergian ke luar kota sampai syarat masuk kerja. Jika tes usap antigen menunjukkan hasil positif meski tak ada gejala, dokter menganjurkan untuk segera melakukan pemeriksaan PCR demi mengonfirmasi hasil yang lebih akurat.
Sementara itu, bila muncul gejala dan hasil tes usap antigen positif, biasanya orang tersebut memang dianggap terinfeksi COVID-19.
"Yang jadi masalah adalah dia bergejala kemudian swab negative, nah itu yang jadi masalah karena itu yang lolos. Biasanya saya akan menganjurkan pasien kalau misalnya ada gejala walaupun swab antigen negatif, tetap harus dilanjutkan untuk PCR."
Sayuri juga menjelaskan mengenai hasil tes usap PCR negatif, tapi selanjutnya ada gejala-gejala yang dirasakan, seperti kehilangan indra perasa dan penciuman. Menurut dokter, kehilangan penciuman bisa disebabkan oleh beberapa faktor, tapi bila itu terjadi secara mendadak di tengah pandemi, wajar bila COVID-19 yang langsung dipikirkan.
Jika gejala dirasakan namun hasil PCR negatif, dia menyarankan untuk melakukan tes kembali untuk mengantisipasi bila ada kesalahan pada pemeriksaan pertama yang mempengaruhi hasil.
"Jadi dokter menganjurkan pasien untuk kalo misalnya tiba- tiba kehilangan penciuman, kemudian apalagi kalo dia ada riwayat kontak, kita tetap menganjurkan untuk PCR ulang. Karena rata- rata kalau sudah seperti itu bergejala, pasti positif.”
Ketika sudah terkonfirmasi positif, segera lakukan contact tracing. Hubungi siapa yang melakukan kontak dengan Anda selama 48 jam sebelum melakukan tes, beritahu agar mereka bisa melakukan karantina karena ada kemungkinan tertular virus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021
Meski merasa tidak mengalami gejala apapun, atau hanya muncul gejala ringan, memeriksakan diri kepada dokter merupakan hal penting.
"Banyak kejadian bahwa pasien isolasi mandiri sendiri, dia berasa bahwa dia OTG (orang tanpa gejala), dia berasa tidak ada gejala sama sekali, gejalanya ringan, tahu-tahu drop," kata Sayuri dalam instagram live di akun @kawalcovid19.id, dikutip Kamis.
Ketika pasien baru dilarikan ke rumah sakit ketika kondisinya sudah menurun, otomatis pengobatannya pun semakin sulit. Oleh karena itu, Sayuri mengatakan pasien yang sudah terkonfirmasi positif COVID-19 harus berkonsultasi ke dokter sebagai langkah pertama. Carilah dokter terdekat agar bisa ditangani secara cepat.
Bila belum sempat berkonsultasi dengan dokter spesialis paru, cari dokter yang bisa menangani secepat mungkin, termasuk dokter umum.
"Kalau misalnya adanya dokter paru atau penyakit dalam silahkan boleh. Yang penting dia memang update ilmu terhadap COVID-19."
Dokter akan mengevaluasi kondisi pasien, kemudian menentukan apakah yang bersangkutan bisa melakukan isolasi mandiri, diisolasi di fasilitas seperti Wisma Atlet atau harus dirawat di rumah sakit.
Dokter juga akan memutuskan apakan pasien harus diperiksa lebih lanjut atau diizinkan isolasi mandiri tanpa pemeriksaan lanjutan. Tetaplah memakai masker di dalam rumah, tidur terpisah. Atau pastikan jarak minimal 1,8 meter dengan orang lain bila terpaksa tidur di tempat yang berdekatan.
"Dan kalau memang memungkinkan tidur itu jangan kepala ketemu kepala, tapi kepala sama kaki. Jadi, mengurangi paparan. Itu adalah cara yang sebenarnya tidak dianjurkan juga, tapi kalau memang kondisinya benar-benar tidak memungkinkan, ya satu-satunya cara yang kita usahakan seperti itu."
Namun Anda bisa tidur berdekatan dengan anggota keluarga di rumah bila sama-sama positif COVID-19. Selain itu, sebisa mungkin tidak memasang pendingin udara. Lebih baik membuka jendela agar ada sirkulasi udara. Bila pendingin udara dipakai di ruangan kecil, udara yang berada di rumah berputar-putar tidak berganti dengan udara segar, berpotensi menularkan virus ke penjuru rumah.
Cara isolasi mandiri
Bila pasien melakukan isolasi mandiri, pastikan untuk memegang kontak tenaga kesehatan yang bisa dihubungi sewaktu-waktu ada keadaan darurat.
Bila muncul keluhan, hubungi dokter yang sudah mengetahui kondisi agar tenaga kesehatan bisa tetap mengawasi meski tidak berada di tempat isolasi. Jangan lupa untuk menyaring informasi sehingga tidak kebingungan saat menjalani isolasi mandiri.
"Saya biasa menganjurkan pasien pegang satu nomor dokter yang kamu percaya. Jadi, kalau misalnya ada apa-apa, kamu kontak sama dokter itu supaya jangan sampai kamu dapat informasi yang simpang siur.”
Pasien COVID-19 yang tidak punya komorbid harus menyediakan alat-alat mendasar seperti termometer untuk mengukur suhu minimal dua kali sehari, pada pagi dan sore atau pagi dan malam. Pengukuran suhu juga bisa dilakukan tiga kali pada pagi, siang dan malam.
Catat suhu tubuh secara rutin untuk melihat kurva grafik suhu tubuh. Selanjutnya adalah oksimeter, alat pengukur kadar saturasi oksigen. Alat ini bisa memantau apakah pasien memiliki kadar saturasi oksigen rendah tapi tidak merasa sesak.
"Kalau dia punya oksimeter, dia bisa lihat nih. Kalau misalnya saturasi oksigennya saya sudah di bawah 95, ini usdah warning nih. Pasti sudah ada something wrong. Karena kan kalau normal harusnya di atas 95," katanya. Bila saturasi oksigen di bawah 95, segera kontak dokter atau langsung bertolak ke rumah sakit.
Bila tidak punya oksimeter, gejala penurunan oksigen bisa dirasakan dari kesulitan bernapas, seperti dada yang sakit dan terasa tertekan, bibir yang mulai kebiruan dan ujung jari terlihat agak ungu. Saat itu terjadi, segera cari pertolongan medis.
Alat kesehatan lain yang harus disiapkan tergantung dari komorbid pasien. Bila punya riwayat hipertensi, siapkan alat untuk mengukur tekanan darah. Mereka yang punya riwayat diabetes sebaiknya menyiapkan glucometer untuk mengevaluasi gula darah.
"Kalau misalnya gulanya tiba- tiba naik melonjak ga bisa turun-turun, hati-hati. Harus segera konsultasi dokter atau ke rumah sakit.”
Aktivitas di rumah
Pasien positif COVID-19 harus membatasi agar tidak kontak dengan orang lain di rumahnya. Bila tidak bisa beraktivitas secara mandiri dan butuh bantuan orang lain, pastikan mereka memakai sarung tangan untuk mengurangi kontak agar tidak tertular.
Orang terdekat bisa membantu banyak hal, termasuk mencuci baju. Tapi ada hal yang harus diingat. Baju pasien bisa dicuci seperti biasa, tapi orang yang mencuci harus memakai sarung tangan. Segera buang sarung tangan dan cuci tangan setelah proses selesai.
"Dan yang paling penting kalau cuci baju tolong jangan dikibas-kibas. Kita kan biasanya kalau mau cuci baju baju tuh dikibas-kibas terus dimasukin ke ember. Jangan, itu virusnya terbang kemana- mana semua."
Prinsip yang sama juga diterapkan untuk membuang sampah dan membersihkan kamar pasien. Bila memang masih bisa, sebaiknya kerjakan sendiri agar tidak ada risiko menulari orang lain. Buang sampah pun harus hati-hati karena limbahnya bisa jadi sarana penularan.
Sampah seperti tisu yang bisa menularkan virus harus dibuang dalam kurun 12-24 jam, masukkan ke dalam kantong khusus yang aman dan diikat agar isinya tidak luber dan membuat benda lain terkontaminasi.
Oleh karena itu, pastikan untuk berkomunikasi dengan satgas di lingkungan rumah sehingga mereka bisa mengatur soal pembuangan limbah. Jangan sampai sampah yang diambil oleh tukang sampah jadi mencemari lingkungan dan berujung kepada penyebaran virus yang lebih luas.
Sebelum isolasi mandiri, dokter akan memantau kondisi pasien COVID-19. Bila tidak perlu minuman obat, dokter akan menyarankan untuk mengonsumsi banyak vitamin demi memperbaiki sistem imunitas tubuh. Setiap vitamin punya kegunaan masing-masing.
Mereknya boleh apa saja asal komposisinya lengkap untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Jika masih ada kebutuhan untuk membeli obat atau vitamin, sebaiknya minta tolong orang lain atau belanja daring dan hindari bepergian. Jika terpaksa keluar rumah, pastikan selalu menerapkan protokol kesehatan.
Pastikan hasil tes akurat
Beragam tes COVID-19 berupa tes rapid antigen atau tes usap jadi persyaratan untuk aktivitas seperti bepergian ke luar kota sampai syarat masuk kerja. Jika tes usap antigen menunjukkan hasil positif meski tak ada gejala, dokter menganjurkan untuk segera melakukan pemeriksaan PCR demi mengonfirmasi hasil yang lebih akurat.
Sementara itu, bila muncul gejala dan hasil tes usap antigen positif, biasanya orang tersebut memang dianggap terinfeksi COVID-19.
"Yang jadi masalah adalah dia bergejala kemudian swab negative, nah itu yang jadi masalah karena itu yang lolos. Biasanya saya akan menganjurkan pasien kalau misalnya ada gejala walaupun swab antigen negatif, tetap harus dilanjutkan untuk PCR."
Sayuri juga menjelaskan mengenai hasil tes usap PCR negatif, tapi selanjutnya ada gejala-gejala yang dirasakan, seperti kehilangan indra perasa dan penciuman. Menurut dokter, kehilangan penciuman bisa disebabkan oleh beberapa faktor, tapi bila itu terjadi secara mendadak di tengah pandemi, wajar bila COVID-19 yang langsung dipikirkan.
Jika gejala dirasakan namun hasil PCR negatif, dia menyarankan untuk melakukan tes kembali untuk mengantisipasi bila ada kesalahan pada pemeriksaan pertama yang mempengaruhi hasil.
"Jadi dokter menganjurkan pasien untuk kalo misalnya tiba- tiba kehilangan penciuman, kemudian apalagi kalo dia ada riwayat kontak, kita tetap menganjurkan untuk PCR ulang. Karena rata- rata kalau sudah seperti itu bergejala, pasti positif.”
Ketika sudah terkonfirmasi positif, segera lakukan contact tracing. Hubungi siapa yang melakukan kontak dengan Anda selama 48 jam sebelum melakukan tes, beritahu agar mereka bisa melakukan karantina karena ada kemungkinan tertular virus.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021