Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian Dan Keadilan Gender (Alpekaje) menyatakan, perempuan bisa berkontribusi dan sangat strategis perannya sebagai agen perdamaian.

"Keterlibatan perempuan saat ini masih minim dalam upaya perdamaian sehingga perlu didorong terus," kata Ketua Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian dan Keadilan Gender (Alpekaje), Norberta Yati Lantok, di Pontianak.

Maka dari itu, menurut dia, pihaknya bersama JPK (Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) Kalimantan Barat menggelar webinar dengan tema: Pontianak Rumah Bersama "Perempuan Sebagai Agen Perdamaian" yang digelar Senin (22/2).

Pertemuan diawali dengan cerita dari Ketua Aliansi Perempuan Kalimantan untuk Perdamaian Dan Keadilan Gender (Alpekaje) tentang keterlibatan perempuan dalam ikhtiar-ikhtiar perdamaian sebuah konflik.

Menurut dia, saat ini ada banyak tantangan bagi seorang perempuan terutama dalam masalah ketidakadilan gender.

"Kita perlu membangun kesadaran dalam diri kita, mengubah diri menggunakan sumberdaya, kekuatan, keterampilan dalam struktur dan proses inklusif, demi mewujudkan kesetaraan dan HAM," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Lembaga Gemawan, Laili Khairnur, menilai ada banyak contoh perempuan yang mampu menjadi agen perdamaian.

“Sifat feminim itu bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, tetapi dalam realitanya lebih banyak dimiliki perempuan. Itulah yang kemudian bisa dijadikan potensi perempuan sebagai agen perdamaian,” katanya.

Kegiatan ini diikuti oleh puluhan peserta dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari mahasiswa, perwakilan organisasi perempuan, hingga wartawan. Tak hanya perempuan, peserta juga datang dari kalangan laki-laki.

Dosen IAIN Pontianak, Ria Taqwa menilai, sebelum mengatasi konflik dan mewujudkan perdamaian, maka seorang perempuan harus mampu mengenal dirinya. Bahwa, secara naluriah perempuan lebih cenderung dekat pada nilai kemanusiaan dan perdamaian.

"Substansinya adalah pada diri kita mau berdamai atau tidak. Diri kita ini mau menyelesaikan konflik atau tidak. Setelah itu selesai, barulah kita baru bisa menyelesaikan konflik di luar," katanya.

Sementara itu, Mita Anggraini yang merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Tanjungpura Pontianak, juga ikut bercerita tentang pengalamannya dalam mengikuti lokakarya "Diplomasi Peran Serta Perempuan dalam Pemeliharaan Perdamaian dan Keamanan" yang digelar oleh Kementerian Luar Negeri, yang menurutnya soal kepemimpinan masih ada anggapan perempuan tidak mampu, stigma buruk terhadap kepemimpinan perempuan diakuinya masih ditemukan.

"Perempuan harus membuktikan diri untuk mampu menempati posisi strategis. Dengan posisi yang strategis maka kita bisa mengakomodir kepentingan perempuan," kata Mita.

Baca juga: Legislator ajak perempuan berani berperan di dunia politik
Baca juga: Perempuan penyejuk dalam infrastruktur politik
Baca juga: Perempuan itu tidak kalah dengan laki laki dalam berpolitik
 

Pewarta: Andilala dan Evi Julianti

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021