Dari tepian Sungai Kapuas, Kota Pontianak, dentuman meriam karbit saling bersahutan, menyongsong kumandang takbir Hari Idul Fitri 1442 Hijriah.

Bunyi dentuman meriam itu sesungguhnya sudah terdengar sejak awal Ramadhan, di Kelurahan Bansir Laut, di tenggara Kota Pontianak, terutama saat malam usai ibadah shalat tarawih. Bunyinya pun semakin bersahutan pada Rabu (12/5) lepas kumandang Azan Maghrib, tanda dimulainya suka cita menyambut Idul Fitri.

Meriam karbit diyakini ada sejak tahun pertama kelahiran Kota Pontianak, yakni pada 1771. Sejarahnya dimulai ketika pendiri Pontianak Sultan Syarief Abdurrahman Alqadrie hendak membangun kota. Dia harus mengusir makhluk halus yang selalu mengganggu dengan membunyikan meriam karbit.

Sejak itu, tradisi membunyikan meriam karbit berlanjut hingga ratusan tahun kemudian dan bahkan hingga kini. Jumlah kelompok permainan meriam karbit pun terus bertambah dan kini telah mencapai sekitar 40.

Mereka tersebar di sejumlah gang di tepian Sungai Kapuas, baik yang berada di pusat Kota Pontianak yakni Kecamatan Pontianak Kota dan Pontianak Tenggara, maupun di sekitar Keraton Kadriah, tempat awal berdiri pusat pemerintahan Kesultanan Pontianak, di Kecamatan Pontianak Timur.

Selain dimainkan para pemukim di pinggiran Sungai Kapuas, permainan meriam karbit juga digelar dalam bentuk festival pada tiap awal Ramadhan hingga tibanya Idul Fitri. Sejak pandemi COVID-19 pada 2020, festival itu dihentikan.

Pemerintah Kota Pontianak memutuskan tak menggelar festival karena khawatir akan menjadi jalan penularan COVID-19. Karena dalam setiap gelaran festival, ratusan, bahkan ribuan orang berkumpul di tepian Kapuas. Mereka akan memenuhi di gertak-gertak pinggir sungai dan di gang-gang penghubung menuju ke tempat festival.

Tahun inipun demikian. Pemerintah Kota Pontianak belum mengizinkan digelarnya festival karena ternyata pandemi belum berakhir.

Menghadapi kenyataan itu, masyarakat masih bisa bersyukur, karena Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono mengizinkan permainan meriam karbit pada Ramadhan hingga Idul Fitri 1442 Hijriah. Boleh bermain, asalkan dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan COVID-19 secara ketat.

"Silakan bermain (meriam karbit) asalkan dengan protokol kesehatan yang ketat," kata Edi Kamtono pada medio April 2021.

Maka, bersuka citalah masyarakat di pinggiran Sungai Kapuas. Mereka pun menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat meriam. Ketika telah selesai, dentuman meriam kembali saling bersahutan di kawasan pinggiran Sungai Kapuas.


Gotong royong 

Di Gang Bansir II tak jauh dari tepian sungai, para laki-laki, mulai dari remaja, dewasa, hingga paruh baya, berbondong-bondong membuat meriam karbit dari kayu bengkirai.

Kayu bengkirai yang semula dua bagian itu disatukan agar membentuk meriam. Sebagian menarik setengah bagian kayu dan sebagian mendorongnya agar menyatu dengan bagian yang telah tergeletak di tanah. Anak-anak bertubuh mungil bersorak-sorai mendukung para lelaki tersebut agar kuat menyatukan kedua bagian kayu.

Kayu dengan tingkat kekuatan kelas satu dan dua yang nyaris setara dengan kayu jati itu akan disatukan dengan paku. Bagian yang membelah dua bagian akan ditutup dengan kain dan setelahnya diperkuat lagi dengan lilitan rotan halus di setiap bagian dari ujung ke ujung meriam.

Meriam karbit yang telah dibuat akan dihias dengan cat dan lampu. Di sekitar area permainan meriam juga akan disediakan pentas khusus untuk pengunjung.

"Persiapan pembuatan meriam karbit ini kurang lebih satu bulan dari awal Ramadhan, tapi sebelum Ramadhan juga sudah ada persiapan, meskipun tidak seintens ketika Ramadhan," kata Muhammad Erlangga, salah satu Remaja Melayu Bansir.

Pemuda yang akrab disapa Angga tersebut menyebut proses pembuatan meriam karbit yang juga merupakan ikon Kota Pontianak itu hasil dari kerja gotong-royong masyarakat asli Gang Bansir II dan Gang Bansir III. Biasanya mereka membuat lima hingga enam meriam setiap tahunnya.

Pembuatan meriam karbit di dua gang daerah Bansir Laut telah dilakukan turun-temurun. Setiap pembuatan selalu diajarkan dari generasi ke generasi. Angga sendiri telah terbiasa membantu proses pembuatan meriam karbit atas ilmu dari sang paman.

"Jadi kami diajarkan supaya tidak putus budaya yang sudah ada sejak zaman terbentuknya Kota Pontianak ini. Sejak kecil ibaratnya kami dibimbing oleh generasi yang istilahnya senior dari kami," katanya.

Proses terbentuknya meriam karbit tidak hanya berkat gotong-royong yang dilakukan para lelaki masyarakat Bansir, tetapi juga masyarakat dari Gang Bansir II dan Gang Bansir III, berupa sumbangan demi memeriahkan malam takbiran sebelum Hari Idul Fitri.

Pada malam-malam Ramadhan, sesekali meriam karbit juga dihidupkan untuk diuji coba agar dentumannya meriah ketika hari puncak tiba, yakni di malam takbiran.


Pelipur lara 

Sejak awal pandemi COVID-19 dan tersebar luas pada Maret 2020, kegiatan yang menciptakan kerumunan ditiadakan, termasuk Festival Meriam Karbit yang diselenggarakan pada malam takbiran menjelang Idul Fitri. Hal ini menyebabkan masyarakat kedua Gang Bansir hanya membuat tiga meriam karbit.

Jumlah meriam mengalami penurunan juga karena dipengaruhi sukarnya mencari kayu dan sokongan dana dari masyarakat dari kedua gang yang bergotong-royong. Sehingga meriam karbit yang dibuat tahun ini berasal dari kayu bengkirai yang telah digunakan pada tahun sebelumnya.

"Kalau dulu proposal dana lebih mudah, pengunjung yang berasal dari penjuru Pontianak juga lebih ramai. Sekarang dana lebih sulit dan pengunjung dibatasi, mungkin hanya warga sekitar, namun tetap meriah dan ramai meskipun tidak seperti sebelumnya saat ada festival," tutur Angga.

Segala prosesi dan hiasan terhadap meriam karbit tetap ditampilkan, seperti ketika festival dijalankan. Hanya saja penyalaan meriam karbit tidak seperti sebelum pandemi COVID-19.

Dengan diizinkannya permainan meriam karbit saat ini, bagi Angga adalah pelipur lara di tengah pandemi COVID-19. Karena kecemasan akan pandemi, bisa terobati dengan suka cita bermain meriam.

"Harapannya tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya, penonton lebih ramai untuk memeriahkan penyalaan meriam karbit dan budaya juga tidak hilang atau terkikis meski ada COVID-19," kata Angga.

Sementara di sisi lain, Pemerintah Kota Pontianak menyadari permainan meriam karbit harus tetap dilestarikan karena telah menyatu dengan kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang bermukim di tepian Sungai Kapuas.



Saat ini ada 40 kelompok permainan meriam karbit yang selalu aktif bermain saat Ramadhan, dan mengikuti setiap festival yang digelar pemerintah kota.



Komunitas meriam karbit menerima keputusan tak boleh digelarnya festival. Mereka memahami bahwa dalam menghadapi pandemi COVID-19 harus dilakukan secara bersama-sama.



Permainan meriam karbit telah menjadi warisan budaya tak benda di Kota Pontinak, karena itu harus tetap dilestarikan. Namun dengan kondisi pandemi COVID-19, kerumunan masyarakat pencinta permainan meriam karbit harus dihindari. Maka dari itu, mari bersabar hingga pandemi berakhir.

Pewarta: Nurul Hayat dan Rahma Fadilah

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021