Presiden Joko Widodo pada Rabu (23/3) kembali melakukan kunjungan kerjanya ke Kota Kupang NTT untuk yang kesekian kalinya semenjak menjabat sebagai Presiden RI.

Kecintaannya kepada NTT membuat dirinya kurang lebih sebanyak 15 kali datang ke NTT untuk membangun daerah itu, mulai dari pendidikan, kesehatan, serta kesejahteraan.

Usai meresmikan taman wisata dan kuliner di Kelapa Lima, di Kota Kupang Presiden langsung bertolak di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) untuk meninjau percepatan penurunan stunting di Desa Kasetnana, Kecamatan Mollo Selatan.

Stunting atau “kekerdilan” yang dalam istilah nonteknis berarti anak-anak terlalu pendek untuk usia mereka merupakan masalah besar di NTT.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kekerdilan sebagai gangguan tumbuh kembang anak disebabkan gizi buruk, infeksi yang berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. Akibatnya, anak dapat rentan terkena penyakit di usia tua dan tumbuh kembang yang tidak optimal.

Sebagaimana tercermin dalam Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, ditemukan sebanyak 15 kabupaten/kota di NTT masuk ke dalam kategori merah atau memiliki angka prevalensi kekerdilan lebih dari 30 persen.

Sejumlah kabupaten itu, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, dan Rote Ndao.

Selain itu, Kabupaten Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata, dan Malaka. Bahkan, Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara tercatat angka prevalensi di atas 46 persen.

Sebanyak lima di antara 15 kabupaten di NTT itu, masuk 10 besar daerah dengan angka prevalensi kekerdilan tertinggi di Indonesia dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan kekerdilan. Kelima kabupaten tersebut, Timor Tengah Selatan peringkat pertama, Timor Tengah Utara peringkat kedua, Alor peringkat kelima, Sumba Barat Daya peringkat keenam, dan Manggarai Timur peringkat kedelapan

BKKBN menyebutkan tujuh kabupaten/kota kategori kuning dengan angka kekerdilan antara 20-30 persen, di antaranya Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang, serta Flores Timur.

“Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau atau berprevalensi 'stunting' antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi 'stunting' di bawah 10 persen,” kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo.

Perhatian Presiden Jokowi kepada masalah stunting sangat besar, dan khusus di NTT. Hasto Wardoyo mengatakan bahwa bagi Presiden Jokowi, NTT selalu ada di hati dan BKKBN memastikan amanah dari Presiden untuk akselerasi penurunan stunting tetap dalam jalur yang tepat.
Presiden Joko Widodo (kiri), berbincang-bincang dengan Gubernur NTT Viktor B Laiskodat (tengah) dan Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi saat meninjau taman wisata baru dan kuliner di Pantai Kelapa Lima, di Kota Kupang, NTT, Kamis (24/3/2022). ANTARA FOTO/Kornelis Kaha

Peninjauan secara langsung program percepatan penurunan stunting di TTS oleh Presiden diharapkan bukan sekedar suatu kegiatan yang simbolis belaka, melainkan juga menjadi motivasi yang kuat bagi para pemangku kepentingan di NTT untuk terus-menerus mengupayakan percepatan penurunan stunting secara serius.

Perhatian yang besar kepada masalah stunting seyogyanya tidak menyebabkan kebingungan atau persepsi yang justru menyesatkan masyarakat. Penjelasan yang sederhana dan mudah dipahami serta komunikatif dengan masyarakat sangat diperlukan.

Ada kesalahpahaman umum di masyarakat bahwa mengatasi stunting dan kondisi lain seperti keterlambatan berpikir (retardasi) yang sama-sama disebabkan oleh gizi buruk secara otomatis menjadi obat mujarab masalah pembangunan terkait dengan nutrisi.

Namun, dalam banyak kasus, stunting bukanlah masalah dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Stunting adalah suatu indikasi kuat adanya masalah besar lain yang menyebabkannya yang juga perlu dipecahkan.

PP Muslimat NU dalam pertemuannya di Kupang beberapa waktu lalu, menilai bahwa banyaknya kasus kekerdilan di NTT karena belum sadarnya ibu terkait pemberian susu pengganti ASI yang salah sehingga perkembangan anak atau bayi tidak seimbang.

Ketua Bidang Kesehatan PP Muslimat NU dr. Erna Yulia Soefihara mengungkap, hasil penelitian bekerja sama dengan Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) mendapati kurang lebih 23 persen ibu masih menggunakan susu kental manis sebagai pengganti ASI bagi bayinya. Ini berdampak buruk pada kesehatan bayi dan anak. 

Pemahaman stunting rendah

Kebanyakan program gizi di negara berkembang memfokuskan pada penghapusan atau penurunan stunting sebagai tujuan utama mereka dan mengevaluasi keberhasilan berdasarkan pada turunnya angka stunting.

Walaupun program tersebut cukup baik, namun dampak terbatas konsentrasi program pada penurunan angka stunting sehingga berpotensi melupakan manfaat lain yang diberikan oleh program gizi dan kesehatan kepada anak-anak di komunitas yang kurang beruntung.

Apakah dengan penurunan angka stunting otomatis menyebabkan peningkatan keberhasilan pada seluruh aspek dari program gizi dan kesehatan?

Diperlukan suatu pemahaman yang lebih komprehensif dari program gizi dan kesehatan yang tidak mengerucut kepada penurunan angka stunting. Hal itu dapat menyebabkan terjadinya salah tafsir di masyarakat, bahwa ketika angka stunting menurun atau bahkan dapat dihapuskan di suatu daerah maka di masa mendatang stunting tidak akan terjadi lagi.

Oleh karena itu, masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa stunting yang sudah terlanjur terjadi baru akan menghilang pada generasi berikutnya atau bahkan beberapa generasi setelah mereka menjalani kehidupan yang sesuai dengan anjuran para ahli gizi.

BKKBN telah kini membentuk 200.000 tim pendamping keluarga yang terdiri atas bidan, PKK, dan kader KB. Nantinya, tim itu akan mengawal keluarga mulai dari sebelum ibu hamil hingga sesudah melahirkan atau dalam 1.000 hari pertama kehidupan anak (HPK).

Pemeriksaan calon pengantin tiga bulan sebelum menikah juga dilakukan guna mengantisipasi potensi lahirnya bayi yang menderita kekerdilan. Pemeriksaan akses sanitasi, jamban, dan peningkatan literasi juga digencarkan lewat kolaborasi antarkementerian/lembaga terkait.

Di sisi lain, dengan adanya Rencana Aksi Nasional Percepatan Penurunan Stunting Indonesia (RAN PASTI), penanganan kekerdilan juga akan melibatkan bantuan dari perguruan tinggi, melalui program kampus merdeka yang dinilai efektif dapat meningkatkan edukasi masyarakat terkait dengan kekerdilan.

Asupan gizi kurang

Sumber dari masalah stunting sesungguhnya jauh lebih kompleks dari sekedar peningkatan asupan makanan bergizi pada periode awal pertumbuhan anak.

Setidaknya terdapat tiga faktor pendorong angka stunting yang tinggi di NTT. Pertama, masalah yang lebih besar dari stunting sebagaimana terjadi di sebagian besar Kabupaten/Kota di provinsi NTT adalah lingkungan yang serba berkekurangan.

Contohnya adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dimana berdasarkan data BPS 2021 mempunyai prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia yaitu encapai 48,3 persen atau ada 48 balita stunting diantara 100 balita, memiliki faktor pendorong yang kuat yakni persentase penduduk miskin sebesar 26,64 persen.

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat memastikan korelasi dari kemiskinan dan angka stunting tersebut. Namun setidaknya dapat diduga kuat bahwa faktor kemiskinan berkontribusi kepada angka stunting.

Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor B Laiskodat juga dalam beberapa kali pertemuan menyampaikan bahwa masalah stunting di NTT ini sangatlah kompleks, salah satunya adalah masalah kemiskinan di provinsi itu.

Ia kemudian memerintahkan semua jajaran dan seluruh kepala daerah se-NTT untuk menggunakan data akurat yang dimiliki Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam memetakan keluarga yang memiliki anak stunting dan keluarga yang berpotensi stunting.

Orang nomor satu di NTT itu merasa malu karena nama NTT hanya dikenal masyarakat luar sebagai “juaranya” kemiskinan dan angka stunting saja.

Ia memerintahkan agar data tentang keluarga yang by name by addres milik BKKBN sangat memudahkan Pemprov NTT untuk mengintervensi keluarga yang berpotensi stunting.

Dirinya tidak ingin ada kepala daerah yang hanya “duduk” di kantor saja tetapi harus turun langsung ke desa-desa untuk memonitor langsung soal stunting di daerahnya masing-masing.

Lingkungan yang kurang karena kemiskinan dapat menyebabkan, antara lain, anak-anak menerima terlalu sedikit makanan atau makanan tanpa nutrisi yang diperlukan, atau mudah terserang penyakit.

Secara teori, tidak ada orang tua yang menghendaki anak-anaknya mengalami stunting. Namun seringkali ditemukan bahwa banyak orang tua tidak memberikan makanan yang bergizi kepada anak-anaknya karena berada dalam kehidupan miskin ekstrem.
Kedua, kemiskinan sebagai faktor terbesar juga mempengaruhi perilaku masyarakat. Dalam konteks penyebab stunting, perilaku tersebut adalah praktik pemberian makan yang buruk, gizi ibu yang buruk, dan sanitasi yang buruk.

Ketiga hal tersebut merupakan turunan dari kondisi kemiskinan yang menyebabkan terjadinya keterbatasan kemampuan sebuah keluarga dalam mempraktikkan pemberian makanan bernutrisi kepada anak-anaknya dan ibu hamil serta pemeliharaan sanitasi yang baik dan air bersih.

Ketiga, pemahaman dan kebiasaan (habitus) dari masyarakat boleh jadi tidak terlalu menyadari dan menganggap stunting sebagai sesuatu yang wajar atau mustahil berubah.

Terlebih apabila angka prevalensi stunting sangat tinggi sehingga terasa anak stunting dianggap biasa dan tidak dilihat sebagai masalah. Penerimaan masyarakat terhadap kondisi stunting sebagai suatu hal yang wajar dapat menghambat upaya penurunan angka stunting.

Situasi tersebut tentu memerlukan penjelasan dan pendidikan baik kepada masyarakat, khususnya para wanita dewasa untuk dapat memahami bahwa stunting adalah suatu masalah sehingga kebiasaan-kebiasaan yang buruk sebagaimana poin kedua dapat diubah.

Sebagai suatu narasi menyadarkan publik, fokus program percepatan penurunan angka stunting sangat penting untuk membangun mengingatkan semua pihak bahwa stunting adalah suatu masalah serius.

Para pemangku kepentingan, pembuat kebijakan, masyarakat madani dan publik perlu memiliki persepsi yang sama tentang konsekuensi berbahaya dari kekurangan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan yang menjadi penyebab stunting. Lebih dari itu, pekerjaan rumah yang lebih berat juga selalu mengintai NTT yakni lingkungan yang serba berkekurangan.

Masyarakat NTT patut sangat bersyukur dengan perhatian yang sangat besar dari Presiden Jokowi yang turun langsung ke TTS guna meninjau program penurunan stunting.

Namun demikian, untuk memastikan program percepatan penurunan stunting sukses, sambil terus memantau upaya penurunan tingkat stunting, ada baiknya program-program perbaikan lingkungan dan pemberdayaan keluarga yang juga ditempuh baik dalam kerangka pengentasan kemiskinan maupun peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.

 

Pewarta: Kornelis Kaha

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022