Dokter spesialis anak Universitas Indonesia dr. Anton Dharma Saputra Sp.A mengatakan dengan melakukan imunisasi, masyarakat bisa memutus rantai penularan penyakit berbahaya dan menciptakan herd immunity atau kekebalan kelompok.
"Dengan melakukan imunisasi bagi kita dan anak, kita bisa melindungi orang lain karena ada herd immunity dimana kita memutuskan penularan suatu penyakit dengan cara meningkatkan cakupan imunisasi," ucap Anton dalam diskusi kesehatan di Jakarta, Sabtu.
Namun realitanya kata Anton, menurut data WHO, masih ada satu dari lima anak di dunia belum mendapatkan vaksin dan setiap 20 detik anak di dunia meninggal karena penyakit yang seharusnya bisa di cegah dengan imunisasi.
Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi mulai dari kanker hati, TBC paru, tetanus, difteri, polio dengan kelumpuhan hingga kematian, campak, pertussis atau batuk rejan, rubela dan radang selaput otak.
Dokter yang praktek di RS PELNI ini mengatakan di Indonesia sendiri secara keseluruhan ada 506 kasus anak dan dewasa yang terkena penyakit tetanus dan sebesar lima persen atau 25 kasus penyakit ini terjadi pada bayi baru lahir, menurut WHO tahun 2017.
“Namun angka mortalitas tetanus menurun jauh sejak dilakukan vaksinasi tetanus toksoid pada ibu hamil,” ungkapnya.
Selain itu, pertusis atau batuk rejan secara global juga masih menjadi ancaman bagi anak. Data WHO mencatat tahun 2015 di luar negeri ada 24 juta kasus pertusis dimana 142 ribu diantaranya meninggal. Sementara penyakit kulit kuning akibat virus hepatitis B masih ada sekitar 7,1 persen atau 18 juta kasus di dunia.
Hepatitis B ditularkan dari ibu kepada anak pada saat melahirkan. Bayi yang ibunya mengidap hepatitis B sekitar 60-90 persennya bisa menyebabkan hepartitis kronik menahun hingga kanker hati.
Anton menjelaskan cara kerja imunisasi adalah memberikan tubuh vaksinasi dengan memasukkan bakteri maupun virus hidup yang dilemahkan ke dalam tubuh. Tujuannya agar anak mengenal bakteri tersebut sehingga tubuh membentuk system imun atau antibodi.
“Antibodi ini yang nantinya mengenali kuman atau virus dan melindungi tubuh suatu saat terpapar,” ucap Anton.
Pada buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) terbaru tahun 2023, ada penambahan imunisasi wajib dari pemerintah yakni di usia dua bulan imuninsasi PCV pertama untuk cegah pneumonia, usia tiga bulan tambahan PCV kedua dan imunisasi campak rubella pada usai sembilan bulan, dan rotavirus.
Penyakit lain yang juga bisa dicegah dengan imunisasi adalah polio. Penyakit yang bisa menyebabkan kelumpuhan ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi polio tetes dan suntik.
Anton mengatakan, penyakit polio 72 persen tidak bergejala, namun tiap kali anak dengan polio buang air besar sembarangan, mereka bisa menjadi agen penularan dengan 24 persen gejalanya hanya selesma atau common cold biasa dan tidak bergejala lain.
Sedangkan satu persen lainnya dapat mengalami kelumpuhan yang sifatnya permanen baik di lengan atau tungkai. Dan dua sampai 10 persen diantara yang lumpuh akan meninggal karena menyerang ke otot pernapasan. Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan polio.
“Pencegahannya diberikan vaksin tetes sebanyak 4 dosis, 2 dosis vaksin polio yang suntik, di 4 dan 9 bulan diberikan. Cuci tangan yang benar saat menggunakan toilet, pastikan makanan dimasak dengan baik dan airnya harus bersih,” kata dokter anggota Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ini.
Program imunisasi ini tidak hanya diberikan saat bayi namun terus berlanjut hingga anak menginjak usia sekolah dasar dengan program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang digelar bulan Agustus untuk imunisasi MR dan November untuk imunisasi difteri.
Penggunaan antibiotik yang tidak bijak bisa menimbulkan resistensi atau kekebalan terhadap antimikroba sehingga kemampuan antibiotik dalam mengobati infeksi dan penyakit menjadi menurun.
Bila begini, pengobatan menjadi lebih sulit untuk dilakukan dan membutuhkan biaya kesehatan yang lebih tinggi, kata guru besar farmakologi FKUI, Prof. DR. dr Rianto Setiabudy.
"Oleh karena itu, dokter perlu mendidik pasiennya. Jelaskan mengapa ia memberi atau tidak antibiotik, sehingga pasien berusaha untuk melindungi diri dari resistensi itu," ujar Rianto dalam satu seminar di Jakarta, Rabu.
Dalam forum yang sama, Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), dr. Hari Paraton, Sp.OG(K), menegaskan tak semua penyakit perlu ditangani dengan memberi antibiotik.
"Luka kecil-kecil tidak perlu antibiotik, operasi payudara yang ada benjolannya, tidak perlu pakai antibiotik," kata Hari.
Menurut Hari, penggunaan antibiotik semata hanya untuk mengobati penyakit yang disebabkan infeksi kuman dan bakteri, seperti typus dan disentri amuba.
"Kalau penyakit karena infeksi kuman, bakteri, harus pakai antiobiotik seperti tipes, disentri amuba. Tetapi di dunia ini, 70 persen penyakit kan karena virus, biarkan saja menderita panas dingin selama lima hari, paracetamol saja cukup, tidak perlu pakai antibiotik," tutur dia.
Hari mengatakan, dalam tubuh manusia ada miliaran kuman yang tersebar pada beberapa bagian tubuh.
Baca berita selengkapnya: Efektivitas Antibotik Menurun Jika Tak Bijak Menggunakannya
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023