Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menjelaskan wacana Calon Presiden RI terpilih Prabowo Subianto yang akan menambah jumlah kementerian dari jumlah semula 34 menjadi 40 kursi harus mengubah regulasi.
"Harus diubah regulasinya, suka-suka pemenang saja bagaimana postur kabinet ke depan," kata Adi saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu pagi.
Kondisi ini memang berbanding terbalik dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru merampingkan kementerian demi efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski begitu, dia menilai Jokowi dan Prabowo memiliki stressing masing-masing terkait dengan kementerian.
"Kalau untuk kemajuan bangsa, anggaran harus digelontorkan, kecuali untuk kepentingan tak berfaedah, beda lagi ceritanya," ujarnya.
Adapun jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
"Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34," bunyi pasal tersebut.
Bagian penjelasan UU No. 39/2008 ini menyebut bahwa undang-undang ini juga bermaksud untuk melakukan reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34.
"Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan," demikian bunyi penjelasan UU itu.
Sebelumnya, Prabowo berencana menambah jumlah kementerian dari yang semula 34 menjadi 40.
Calon Wakil Presiden RI terpilih Gibran Rakabuming Raka juga telah menanggapi kabar penambahan jumlah kementerian menjadi 40 kursi ini. Menurut dia,komposisi kabinet saat ini masih dibicarakan dengan berbagai pihak.
Wali Kota Surakarta itu tak menampik kemungkinan bertambahnya kursi menteri di kabinet Prabowo-Gibran. Bahkan, dia mengakui salah satu kementerian yang sedang digagas adalah kementerian khusus untuk mengurus program makan siang gratis.
Program makan siang gratis merupakan program yang menjadi andalan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo-Gibran selama masa kampanye Pilpres 2024.
Gibran pun mengakui program tersebut tidak sederhana sehingga perlu lembaga khusus untuk menanganinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
"Harus diubah regulasinya, suka-suka pemenang saja bagaimana postur kabinet ke depan," kata Adi saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Rabu pagi.
Kondisi ini memang berbanding terbalik dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang justru merampingkan kementerian demi efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski begitu, dia menilai Jokowi dan Prabowo memiliki stressing masing-masing terkait dengan kementerian.
"Kalau untuk kemajuan bangsa, anggaran harus digelontorkan, kecuali untuk kepentingan tak berfaedah, beda lagi ceritanya," ujarnya.
Adapun jumlah kementerian telah diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
"Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling banyak 34," bunyi pasal tersebut.
Bagian penjelasan UU No. 39/2008 ini menyebut bahwa undang-undang ini juga bermaksud untuk melakukan reformasi birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34.
"Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan," demikian bunyi penjelasan UU itu.
Sebelumnya, Prabowo berencana menambah jumlah kementerian dari yang semula 34 menjadi 40.
Calon Wakil Presiden RI terpilih Gibran Rakabuming Raka juga telah menanggapi kabar penambahan jumlah kementerian menjadi 40 kursi ini. Menurut dia,komposisi kabinet saat ini masih dibicarakan dengan berbagai pihak.
Wali Kota Surakarta itu tak menampik kemungkinan bertambahnya kursi menteri di kabinet Prabowo-Gibran. Bahkan, dia mengakui salah satu kementerian yang sedang digagas adalah kementerian khusus untuk mengurus program makan siang gratis.
Program makan siang gratis merupakan program yang menjadi andalan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2 Prabowo-Gibran selama masa kampanye Pilpres 2024.
Gibran pun mengakui program tersebut tidak sederhana sehingga perlu lembaga khusus untuk menanganinya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024