Kepala Balai Besar Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum (TNBKDS) Kapuas Hulu Sadtata Noor Adirahmanta menegaskan siap menertibkan aktivitas tambang emas ilegal yang merambah kawasan Taman Nasional di Perhuluan (Hulu) Sungai Kapuas, Kecamatan Putussibau Selatan Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat.
"Kami akan tertibkan bersama banyak pihak dan memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat untuk mempertahankan kearifan lokal mendulang emas dengan cara tradisional," kata Sadtata di Putussibau Kapuas Hulu, Rabu.
Sadtata mengatakan aktivitas tambang emas ilegal tersebut mengancam ekosistem keseimbangan alam, yang dapat merusak dan mencemari lingkungan, sebab tambang emas dilakukan tidak lagi secara tradisional melain menggunakan mesin dan membuat lubang-lubang serta membongkar batu dan dilakukan secara berpindah-pindah.
Berdasarkan hasil pantauan petugas TNBKDS Kapuas Hulu, 6 April 2024 belum lama ini lokasi tambang emas ilegal yang masuk kawasan Taman Nasional terdapat di dua desa yaitu Desa Nanga Bungan dengan luas 0,36 hektare dan Desa Tanjung Lokang dengan luasan 0,2 hektare.
Untuk Desa Nanga Bungan aktivitas pertambangan liar itu berada di Sungai Atahum dengan luasan ke daratan 0,3 hektare dengan cara menggali dan menghancurkan batu, di Sungai Bokaran dengan luasan 0,06 hektare dengan cara menggali (parit).
Kemudian di Sungai Sivo, Sungai Hangai, Sungai Asiae, Sungai Hororumut tambang emas dilakukan dengan menyedot dasar sungai menggunakan mesin.
Sedangkan, di Desa Tanjung Lokang terdapat di Sungai Bungan dengan cara menyedot sungai dan menggali (parit) dan aktivitas tambang emas secara liar itu hingga saat ini masih marak di Hulu Sungai Kapuas.
"Masyarakat di kawasan taman nasional itu sudah terkontaminasi oleh pihak luar yang mengambil emas dengan menggunakan mesin dan merusak alam," kata Sadtata.
Di sisi lain masyarakat Hulu Kapuas sejak dulu secara turun temurun mengambil dan mengelola hasil alam salah satunya emas dengan cara tradisional.
Sadtata mengatakan pihaknya sedang berupaya melakukan komunikasi dengan masyarakat untuk memberikan pemahaman terkait dampak atas aktivitas pertambangan emas secara liar tersebut.
"Pihak luar yang datang mengambil emas di Hulu Kapuas akan pergi jika emas sudah habis dan yang tertinggal kerusakan alam yang akan dinikmati masyarakat setempat, situasi itu harus dipahami masyarakat," katanya.
Ia mengaku tidak melarang masyarakat Hulu Kapuas mengambil emas, tetapi mesti tetap menggunakan cara-cara tradisional, jika pun ada pihak luar yang datang semestinya hanya membeli emas hasil dari masyarakat setempat, bukan justru ikut bekerja dengan cara-cara yang merusak alam.
"Tuhan sudah memberikan kita banyak sekali kekayaan alam dan tidak dilarang untuk dinikmati untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi yang terjadi saat ini masyarakat sudah terkontaminasi pihak luar yang ingin meraup hasil emas yang banyak tanpa mau peduli dengan kerusakan lingkungan sekitarnya, yang ada sekarang itu hanyalah keserakahan dan keseimbangan alam sudah rusak," kata Sadtata.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
"Kami akan tertibkan bersama banyak pihak dan memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat untuk mempertahankan kearifan lokal mendulang emas dengan cara tradisional," kata Sadtata di Putussibau Kapuas Hulu, Rabu.
Sadtata mengatakan aktivitas tambang emas ilegal tersebut mengancam ekosistem keseimbangan alam, yang dapat merusak dan mencemari lingkungan, sebab tambang emas dilakukan tidak lagi secara tradisional melain menggunakan mesin dan membuat lubang-lubang serta membongkar batu dan dilakukan secara berpindah-pindah.
Berdasarkan hasil pantauan petugas TNBKDS Kapuas Hulu, 6 April 2024 belum lama ini lokasi tambang emas ilegal yang masuk kawasan Taman Nasional terdapat di dua desa yaitu Desa Nanga Bungan dengan luas 0,36 hektare dan Desa Tanjung Lokang dengan luasan 0,2 hektare.
Untuk Desa Nanga Bungan aktivitas pertambangan liar itu berada di Sungai Atahum dengan luasan ke daratan 0,3 hektare dengan cara menggali dan menghancurkan batu, di Sungai Bokaran dengan luasan 0,06 hektare dengan cara menggali (parit).
Kemudian di Sungai Sivo, Sungai Hangai, Sungai Asiae, Sungai Hororumut tambang emas dilakukan dengan menyedot dasar sungai menggunakan mesin.
Sedangkan, di Desa Tanjung Lokang terdapat di Sungai Bungan dengan cara menyedot sungai dan menggali (parit) dan aktivitas tambang emas secara liar itu hingga saat ini masih marak di Hulu Sungai Kapuas.
"Masyarakat di kawasan taman nasional itu sudah terkontaminasi oleh pihak luar yang mengambil emas dengan menggunakan mesin dan merusak alam," kata Sadtata.
Di sisi lain masyarakat Hulu Kapuas sejak dulu secara turun temurun mengambil dan mengelola hasil alam salah satunya emas dengan cara tradisional.
Sadtata mengatakan pihaknya sedang berupaya melakukan komunikasi dengan masyarakat untuk memberikan pemahaman terkait dampak atas aktivitas pertambangan emas secara liar tersebut.
"Pihak luar yang datang mengambil emas di Hulu Kapuas akan pergi jika emas sudah habis dan yang tertinggal kerusakan alam yang akan dinikmati masyarakat setempat, situasi itu harus dipahami masyarakat," katanya.
Ia mengaku tidak melarang masyarakat Hulu Kapuas mengambil emas, tetapi mesti tetap menggunakan cara-cara tradisional, jika pun ada pihak luar yang datang semestinya hanya membeli emas hasil dari masyarakat setempat, bukan justru ikut bekerja dengan cara-cara yang merusak alam.
"Tuhan sudah memberikan kita banyak sekali kekayaan alam dan tidak dilarang untuk dinikmati untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi yang terjadi saat ini masyarakat sudah terkontaminasi pihak luar yang ingin meraup hasil emas yang banyak tanpa mau peduli dengan kerusakan lingkungan sekitarnya, yang ada sekarang itu hanyalah keserakahan dan keseimbangan alam sudah rusak," kata Sadtata.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024