Direktur Registrasi dan Identifikasi Korps Lalu Lintas Polri Brigadir Jenderal Polisi Yusri Yunus mengatakan perlunya regulasi ketat dari pihak leasing atau perusahaan pembiayaan kepada orang yang membeli kendaraan bermotor secara kredit.
Menurut Yusri, mudahnya proses pembelian kendaraan bermotor secara kredit dapat dimanfaatkan oleh pelaku penadahan atau penggelapan.
"Dengan uang sekian ratus ribu saja sudah bisa membawa motor ke rumah. Makanya perlu ada satu regulasi yang pasti agar tidak terlalu gampang sekali mendapatkan kendaraan," kata Yusri di Kantor Slog Polri, Jakarta Timur, Kamis.
Ia mengatakan Korlantas telah berkoordinasi dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) tentang permasalahan tersebut.
Dalam pertemuan itu, Korlantas mendapatkan data bahwa sekitar 70 persen kendaraan bermotor baru dibeli konsumen dengan cara kredit karena kemudahan persyaratan.
Banyaknya pembeli yang memanfaatkan kredit pun harus menjadi perhatian agar tidak disalahgunakan.
Oleh karena itu, Korlantas bersama APPI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyusun kebijakan untuk mencegah modus tersebut kembali terjadi.
"Ini tidak akan bisa berhenti. Mereka akan bermain dengan modus yang sama. Yang perlu kita lakukan satu langkah ke depan dengan koordinasi yang baik untuk bisa menghindari kejahatan seperti ini," ucapnya.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus fidusia atau penggelapan kendaraan bermotor jaringan internasional dan menangkap tujuh orang tersangka.
Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Djuhandhani Rahardjo Puro menjelaskan modus operandi yang digunakan pelaku bermula dari penadah yang melakukan pemesanan kendaraan bermotor kepada perantara.
Selanjutnya perantara mencari debitur untuk melakukan kredit motor di dealer-dealer di seluruh Pulau Jawa menggunakan identitas debitur dengan imbalan uang Rp1,5 juta hingga Rp2 juta.
Setelah kendaraan diterima oleh debitur, kendaraan langsung dipindahtangankan ke perantara untuk kemudian diberikan ke penadah untuk ditampung.
Apabila motor yang ditampung sudah berjumlah 100 unit, penadah berkoordinasi dengan eksportir untuk mengekspor kendaraan tersebut ke beberapa negara, yaitu Vietnam, Rusia, Hong Kong, Taiwan, dan Nigeria.
Djuhandhani mengatakan pelaku meraup keuntungan besar karena hanya mengeluarkan Rp5 juta hingga Rp8 juta untuk membeli satu unit sepeda motor secara kredit, lalu menjualnya dengan harga normal sesuai harga pasaran ke negara tujuan.
"Kerugian leasing ini adalah keuntungan mereka. Selain itu, ada pula keuntungan mereka di luar negeri. Ini menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan," katanya.
Barang bukti yang berhasil diamankan dalam kasus fidusia itu, antara lain sepeda motor sebanyak 675 unit dan dokumen pendukung adanya transaksi pengiriman sebanyak sekitar 20 ribu sepeda motor dalam rentang waktu Februari 2021 hingga Januari 2024.
Dampak kerugian ekonomi dalam kasus ini berjumlah sekitar Rp876 miliar.
Para tersangka dijerat tindak pidana fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 atau Pasal 36 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Pasal 378 dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau Pasal 480 KUHP dan/atau Pasal 481 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal selama tujuh tahun penjara.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Menurut Yusri, mudahnya proses pembelian kendaraan bermotor secara kredit dapat dimanfaatkan oleh pelaku penadahan atau penggelapan.
"Dengan uang sekian ratus ribu saja sudah bisa membawa motor ke rumah. Makanya perlu ada satu regulasi yang pasti agar tidak terlalu gampang sekali mendapatkan kendaraan," kata Yusri di Kantor Slog Polri, Jakarta Timur, Kamis.
Ia mengatakan Korlantas telah berkoordinasi dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) tentang permasalahan tersebut.
Dalam pertemuan itu, Korlantas mendapatkan data bahwa sekitar 70 persen kendaraan bermotor baru dibeli konsumen dengan cara kredit karena kemudahan persyaratan.
Banyaknya pembeli yang memanfaatkan kredit pun harus menjadi perhatian agar tidak disalahgunakan.
Oleh karena itu, Korlantas bersama APPI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyusun kebijakan untuk mencegah modus tersebut kembali terjadi.
"Ini tidak akan bisa berhenti. Mereka akan bermain dengan modus yang sama. Yang perlu kita lakukan satu langkah ke depan dengan koordinasi yang baik untuk bisa menghindari kejahatan seperti ini," ucapnya.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri mengungkap kasus fidusia atau penggelapan kendaraan bermotor jaringan internasional dan menangkap tujuh orang tersangka.
Direktur Tipidum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Polisi Djuhandhani Rahardjo Puro menjelaskan modus operandi yang digunakan pelaku bermula dari penadah yang melakukan pemesanan kendaraan bermotor kepada perantara.
Selanjutnya perantara mencari debitur untuk melakukan kredit motor di dealer-dealer di seluruh Pulau Jawa menggunakan identitas debitur dengan imbalan uang Rp1,5 juta hingga Rp2 juta.
Setelah kendaraan diterima oleh debitur, kendaraan langsung dipindahtangankan ke perantara untuk kemudian diberikan ke penadah untuk ditampung.
Apabila motor yang ditampung sudah berjumlah 100 unit, penadah berkoordinasi dengan eksportir untuk mengekspor kendaraan tersebut ke beberapa negara, yaitu Vietnam, Rusia, Hong Kong, Taiwan, dan Nigeria.
Djuhandhani mengatakan pelaku meraup keuntungan besar karena hanya mengeluarkan Rp5 juta hingga Rp8 juta untuk membeli satu unit sepeda motor secara kredit, lalu menjualnya dengan harga normal sesuai harga pasaran ke negara tujuan.
"Kerugian leasing ini adalah keuntungan mereka. Selain itu, ada pula keuntungan mereka di luar negeri. Ini menjadi sebuah bisnis yang menggiurkan," katanya.
Barang bukti yang berhasil diamankan dalam kasus fidusia itu, antara lain sepeda motor sebanyak 675 unit dan dokumen pendukung adanya transaksi pengiriman sebanyak sekitar 20 ribu sepeda motor dalam rentang waktu Februari 2021 hingga Januari 2024.
Dampak kerugian ekonomi dalam kasus ini berjumlah sekitar Rp876 miliar.
Para tersangka dijerat tindak pidana fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 atau Pasal 36 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Pasal 378 dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau Pasal 480 KUHP dan/atau Pasal 481 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal selama tujuh tahun penjara.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024