Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris mengingatkan pentingnya membentengi dunia pendidikan dari pengaruh ideologi intoleran, tindak kekerasan, dan perundangan.
Peringatan itu disampaikan Irfan dalam acara penyelenggaraan Sekolah Damai di Bali, Kamis (6/11). Sehari kemudian, peringatan itu menemukan momentumnya untuk betul-betul mendapat perhatian, yakni ketika terjadi ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (7/11) siang.
Meskipun hasil penyelidikan Polri belum mendapatkan kepastian mengenai motif dari kasus ledakan yang menyebabkan 96 orang menjadi korban itu, dugaan awal, pelakunya adalah salah seorang siswa SMA 72 itu yang kerap mendapatkan perundungan di sekolah.
Dalam menyikapi tindakan intoleran dan kekerasan, anak remaja memang perlu mendapat perhatian serius. Remaja merupakan kelompok usia yang rentan terpengaruh oleh ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Dalam psikologi perkembangan, remaja adalah fase perkembangan kejiwaan yang kritis karena mereka sedang dalam proses pencarian jati diri. Pada usia remaja, seseorang berada dalam persimpangan antara anak-anak dengan dewasa awal. Tubuhnya tinggi besar seperti orang dewasa, tapi jiwanya masih belum sepenuhnya lepas dari fase sebagai anak-anak.
Pada fase ini, seseorang cenderung mengalami krisis identitas atas dirinya, lebih-lebih mereka yang mengalami tekanan hidup, termasuk yang menjadi korban perundungan. Remaja yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari teman-teman sebayanya, berpotensi mengalami rasa putus asa. Remaja yang putus asa akan masuk pada keadaan jiwa yang merasa tidak memiliki makna dalam hidup.
Jika dugaan bahwa pelaku peledakan di SMA 72 Jakarta itu adalah siswa yang mengalami perundungan, maka peristiwa di lingkungan sekolah di ibu kota ini menjadi penanda agar lembaga pendidikan betul-betul lebih peduli pada perkembangan jiwa dan hubungan sosial anak didiknya.
Hal itu sebagaimana diingatkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengenai pentingnya guru memiliki kemampuan konseling untuk mencegah anak didik terpapar terorisme digital.
Boleh jadi, mengaitkan terduga pelaku peledakan di SMA 72 Jakarta dengan gerakan terorisme itu sebagai kecurigaan yang berlebihan. Meskipun demikian, lembaga pendidikan tetap harus waspada karena pilihan pada tindakan peledakan itu kemungkinan hanya berbeda pada motif yang melatarbelakangi.
Jika kelompok terorisme melakukan peledakan dengan niat untuk membunuh orang lain yang mereka anggap "kafir" dan pada akhirnya tidak percaya pada konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka dalam kasus anak SMA 72 Jakarta ini, kemungkinan terlepas dari pengaruh terkait motif agama.
Dugaan bermotif balas dendam atas perlakuan perundungan oleh temannya yang membuat terduga pelaku putus asa, inspirasinya bisa jadi memang berasal dari konten digital yang disebar oleh kelompok-kelompok penganut paham radikal dan terorisme.
Meskipun motifnya dendam pribadi, tindakan peledakan hingga menyebabkan puluhan siswa lain menjadi korban ini, akibatnya setara dengan tindakan kaum terorisme, meskipun secara hukum, bisa jadi tindakan tersebut bukan termasuk dalam kategori tindakan terorisme. Apalagi, jika pelakunya masuk dalam kategori anak-anak.
Kemungkinan ini juga diingatkan oleh Mendikdasmen Abdul Mu'ti atas kejadian ledakan di SMA 72 Jakarta ini. Karena itu, Mu'ti menekankan pentingnya memberi ruang bagi siswa untuk mengekspresikan pandangan dan pikirannya agar siswa dapat mengeksplor gagasan secara kreatif, bukan dengan cara fatalistik dan membahayakan bagi banyak orang.
Ruang ekspresi yang dimaksud Mu'ti adalah bagaimana seorang remaja tidak terperangkap dalam relasi sosial yang tertekan, baik oleh lingkungan sekolah maupun dengan lingkungan rumah dan tempat tinggal.
Seorang remaja yang jiwanya masih penuh dengan ketidakstabilan dalam rangka pencairan jati diri, sangat memerlukan ruang ekspresi sosial yang nyaman dan aman. Ruang ekspresi yang tersumbat akan melahirkan banyak generasi muda yang rapuh, sebagaimana populer di media sosial dengan istilah generasi stroberi. Buah yang tampakan luarnya ranum dengan warna memikat, tapi dalamnya mudah busuk.
Sekolah dan orang tua memegang peranan penting untuk menghadirkan ruang ekspresi yang nyaman dan aman bagi remaja. Dengan demikian, siswa tidak mudah menjadi korban, apalagi menjadi pelaku perundungan terhadap teman-temannya di sekolah.
Guru di sekolah, bukan hanya mewaspadai siswa yang menjadi korban perundungan, melainkan juga memberi perhatian kepada mereka yang berpotensi menjadi pelaku. Mereka perlu didampingi dan diingatkan untuk bersikap baik kepada temannya, saling mendukung satu sama lain, sehingga sekolah bukan hanya menjadi tempat untuk proses transfer ilmu pengetahuan, melainkan juga menjadi tempat bertumbuhnya jiwa dan mental secara positif.
Menciptakan sekolah yang ramah anak ini harus menjadi perhatian dan komitmen semua pihak di sekolah, dari kepala sekolah, guru, siswa, hingga satuan pengamanan (satpam), petugas kebersihan, dan penjaga kantin di sekolah. Semua orang yang saat proses belajar mengajar berlangsung berada di lingkungan sekolah, harus diberi pemahaman untuk menciptakan suasana nyaman bagi siswa.
Sekolah juga berperan untuk menularkan sikap ramah pada anak ini kepada para orang tua siswa. Karena itu, komunikasi intensif antara sekolah dengan orang tua merupakan bagian dari menghadirkan pendidikan yang memanusiakan anak.
Kolaborasi yang baik antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat akan menjadi fondasi kuat untuk menyiapkan generasi muda yang tangguh dan siap mengisi Indonesia Emas 2045.
Editor : Admin Antarakalbar
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2025