Di era akal imitasi (AI), memahami hak cipta menjadi vital bagi perguruan tinggi dan mahasiswa. Sebab, AI bukan hanya membantu seseorang untuk berkarya dan berinovasi, tetapi juga membuka peluang risiko pelanggaran tak disengaja. Sebagai asisten pintar yang mempercepat ide, AI dilatih dari data orang lain, maka ada etika dan hukum harus dijaga.
Diperlukan kewaspadaan terkait hak kekayaan intelektual. Sebab itu, Kanwil Kementerian Hukum Kalbar mengedukasi perguruan tinggi mengenai perlindungan pemanfaatan kekayaan intelektual, Senin (1/12) di Gedung Convention Center UPB.
Kepala Kanwil Kementerian Hukum Kalbar, Jonny Pesta Simamora mengatakan, dalam proses pembelajaran di kampus tentu tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi, termasuk AI. Dosen dan mahasiswa harus memahami perlindungan dan hak cipta, sumber dan lisensi, hak paten, bahkan penggunaan kutipan.
"Maka, ini kami dorong agar penggunaan teknologi di perguruan tinggi mengikuti kaidah-kaidah pengakuan kekayaan intelektual," ujarnya.
Beragam riset dan karya orisinal dihasilkan dari perguruan tinggi. Maka, pemahaman tentang hak cipta, terutama di era akal imitasi sangat penting. Pemahaman ini, lanjut Jonny bukan hanya melindungi karya intelektual dosen, peneliti, dan mahasiswa dari plagiarisme atau penggunaan tak sah, tetapi juga pelanggaran hak cipta bisa merusak kredibilitas dan nama baik kampus.
"Jangan sampai sudah mendaftarkan hak cipta untuk karyanya, tapi ternyata itu hasil dari teknologi informasi dimana dia hanya membuat prompt (perintah, red) saja. Tentu ini menjadi tidak baik untuk perkembangan proses akademis itu sendiri," ulasnya.
Ia mengapresiasi mahasiswa dari Universitas Panca Bhakti, IAIN Pontianak, Universitas Tanjungpura, Universitas OSO, UNU Kalbar, Polnep, Tonggak Equator, dan IB yang terlibat aktif dalam kegiatan ini. Beragam pertanyaan mengalir dalam sesi diskusi.
Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Achmad Iqbal Taufik, mengatakan karya yang sepenuhnya atau murni menggunakan AI maka tidak dilindungi. "Karena dalam undang-undang hak cipta itu, yang diakui pencipta itu adalah orang atau badan hukum," ungkapnya.
Iqbal menjelaskan, jika karya itu memanfaatkan AI hanya sebagai alat bantu maka bisa dilindungi hak ciptanya. Artinya, kontribusi seseorang dalam karya tersebut harus secara signifikan. "Maka, ketika dapat dibuktikan keterlibatan kita sebagai manusia secara signifikan membuat karya tersebut dengan bantuan AI, kita secara hukum akan bisa ditulis hak ciptanya," paparnya.
Namun, tak sampai disitu saja. Pada saat pembuktian, harus bisa membuktikan dari awal sampai akhir seperti apa mekanisme atau proses dari karya yang dihasilkan. "Karena pembuktian karena pembuktian hak cipta itu adalah pembuktian terbalik," jelasnya. (mrd)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2025
Diperlukan kewaspadaan terkait hak kekayaan intelektual. Sebab itu, Kanwil Kementerian Hukum Kalbar mengedukasi perguruan tinggi mengenai perlindungan pemanfaatan kekayaan intelektual, Senin (1/12) di Gedung Convention Center UPB.
Kepala Kanwil Kementerian Hukum Kalbar, Jonny Pesta Simamora mengatakan, dalam proses pembelajaran di kampus tentu tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi, termasuk AI. Dosen dan mahasiswa harus memahami perlindungan dan hak cipta, sumber dan lisensi, hak paten, bahkan penggunaan kutipan.
"Maka, ini kami dorong agar penggunaan teknologi di perguruan tinggi mengikuti kaidah-kaidah pengakuan kekayaan intelektual," ujarnya.
Beragam riset dan karya orisinal dihasilkan dari perguruan tinggi. Maka, pemahaman tentang hak cipta, terutama di era akal imitasi sangat penting. Pemahaman ini, lanjut Jonny bukan hanya melindungi karya intelektual dosen, peneliti, dan mahasiswa dari plagiarisme atau penggunaan tak sah, tetapi juga pelanggaran hak cipta bisa merusak kredibilitas dan nama baik kampus.
"Jangan sampai sudah mendaftarkan hak cipta untuk karyanya, tapi ternyata itu hasil dari teknologi informasi dimana dia hanya membuat prompt (perintah, red) saja. Tentu ini menjadi tidak baik untuk perkembangan proses akademis itu sendiri," ulasnya.
Ia mengapresiasi mahasiswa dari Universitas Panca Bhakti, IAIN Pontianak, Universitas Tanjungpura, Universitas OSO, UNU Kalbar, Polnep, Tonggak Equator, dan IB yang terlibat aktif dalam kegiatan ini. Beragam pertanyaan mengalir dalam sesi diskusi.
Analis Hukum Ahli Muda Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Achmad Iqbal Taufik, mengatakan karya yang sepenuhnya atau murni menggunakan AI maka tidak dilindungi. "Karena dalam undang-undang hak cipta itu, yang diakui pencipta itu adalah orang atau badan hukum," ungkapnya.
Iqbal menjelaskan, jika karya itu memanfaatkan AI hanya sebagai alat bantu maka bisa dilindungi hak ciptanya. Artinya, kontribusi seseorang dalam karya tersebut harus secara signifikan. "Maka, ketika dapat dibuktikan keterlibatan kita sebagai manusia secara signifikan membuat karya tersebut dengan bantuan AI, kita secara hukum akan bisa ditulis hak ciptanya," paparnya.
Namun, tak sampai disitu saja. Pada saat pembuktian, harus bisa membuktikan dari awal sampai akhir seperti apa mekanisme atau proses dari karya yang dihasilkan. "Karena pembuktian karena pembuktian hak cipta itu adalah pembuktian terbalik," jelasnya. (mrd)
Editor : Admin Antarakalbar
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2025