Jakarta (ANTARA) - Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan skrining massal seperti yang dilakukan negara-negara di Sabuk Talasemia merupakan opsi terbaik guna memutus rantai penyakit tersebut dan mencapai nol kasus.
Dokter dari UKK (Unit Kerja Khusus) Hematologi Onkologi Anak PP IDAI Pustika Amalia, di Jakarta, Selasa, mengatakan langkah tersebut karena orang dengan talasemia minor tidak menunjukkan gejala. Padahal, katanya, penyakit itu dapat diturunkan dari orang tua yang memiliki kondisi tersebut.
Menurut Pustika, Indonesia harus belajar dari negara-negara lainnya yang berada dalam Sabuk Talasemia itu, contohnya Iran, Siprus, Palestina, Saudi Arabia, dan Turki, yang menggalakkan berbagai upaya untuk mencegah peningkatan kasus talasemia.
Dia mencontohkan Siprus memberikan skrining talasemia sejak tahun 1980-an, dan Turki memberikan sejak 2005.
"Siprus itu benar-benar serius. Dia melakukan tahun 1972 dan 20 tahun kemudian angka kelahiran talasemi di negaranya sampai nol. Kemudian berikutnya adalah Italia. Jadi Italia pun juga merupakan negara yang berisiko tinggi terjadinya talasemi. Dia juga hampir mendekati nol," katanya.
Dia menambahkan di Inggris Raya skrining digalakkan pada transmigran.
Dengan upaya skrining massal seperti ini, lanjutnya, negara dapat menghemat biaya terapi dan mengalokasikannya untuk pendidikan.
Sebagai contoh lain, katanya, Iran memberikan edukasi terlebih dahulu melalui tim konseling ke murid-murid SMP, SMA, dan anggota militer yang masih muda, kemudian melakukan evaluasi melalui surveilans, registrasi pasien, dan data prenatal.
"Iran ini sampai mengizinkan untuk dilakukan aborsi jika si janin yang dikandung oleh ibu itu ketahuan talasemia mayor, tapi kehamilannya itu di bawah 16 minggu. Jadi sampai mereka membuat fatwa, karena begitu banyaknya talasemia mayor di Iran," kata Pustika.
Adapun di Indonesia, katanya, skrining diberikan mulai anak balita. Namun hal itu juga kerap terhambat, karena orang tuanya yang tidak memberikan izin untuk anaknya diperiksa. Padahal, katanya, skrining talasemia sejak dini penting.
Hal tersebut berdasarkan data 2022 Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan sebanyak 21 persen penduduk Indonesia di bawah 18 tahun menikah muda. Selain itu, katanya, seks bebas di kalangan anak muda begitu marak.
Kedua, hal itu menjadi urgensi dalam melakukan edukasi dan skrining massal sedini mungkin. Jika dilakukan saat orang hendak menikah atau sudah punya pasangan, katanya, maka lebih sulit upaya mencegah anak lahir dengan risiko talasemia.
Dalam kesempatan itu dia juga memaparkan estimasi biaya yang dihemat apabila melakukan skrining massal. Dia mencontohkan untuk pemeriksaan tahap pertama membutuhkan biaya Rp 119 ribu per orang, dan terdapat sekitar 19 juta siswa SMP dan SMA, sehingga total biaya mencapai sekitar Rp 2,3 triliun.
Dia menyebutkan ada 3-10 persen populasi yang memiliki talasemia beta. Mengambil estimasi 7 persen dari angka itu, ada sekitar 1,4 juta anak SMP dan SMA yang perlu dianalisis. Biaya untuk uji tahap 2 yakni Rp 550 ribu per orang, sehingga total tahap kedua adalah Rp 762 miliar.
Dengan demikian estimasi total biaya skrining talasemia tahap 1 dan 2 adalah Rp 3,06 triliun. "Tentunya harga ini mungkin akan bisa lebih turun lagi, kalau kita melakukannya secara massal." kata Pustika.
"Sementara kalau transfusi suportif seperti saat ini, dia butuh Rp400 juta per orang. Itu kalau kita skrining, biaya Rp400 juta itu bisa buat 730 skrining," katanya.
Biaya suportif itu, katanya, dikeluarkan terus hingga akhir hidup penyandang talasemia. Sementara itu, transplantasi membutuhkan biaya sekitar Rp2-3 miliar.
