Pontianak (ANTARA) - Sebelum matahari muncul di balik punggung bukit, di antara kabut pagi yang turun perlahan di Desa Agak, Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak, Pepen seorang pemuda adat sudah berjalan menuju kebun arennya, dengan berbekalkan sebuah parang kecil dan wadah bambu yang diikatkan di pinggang.Dengan cekatan ia memanjat batang pohon setinggi belasan meter untuk menampung nira segar yang menetes dari mayang pohon Enau.
Dari satu pohon ke pohon lainnya, Pepen mengumpulkan air nira, hingga bambu yang di bawanya penuh dengan sadapan air nira.
Nira yang dikumpulkan kemudian di bawa ke pondok pengolahan, di tampung dalam wajan besi besar dan dimasak berjam-jam. Asap kayu membumbung tinggi, sementara aroma manis mulai memenuhi udara. Setelah mengental, cairan nira dituangkan ke cetakan batok kelapa dan dibiarkan mengeras menjadi batang-batang gula aren berwarna cokelat keemasan.
"Pengolahan gula aren yang saya lakukan ini adalah titipan orang tua saya. Sejak saya kecil, ayah sudah melakukannya. Bahkan sebelum saya lahir pun tradisi ini sudah ada," katanya sambil menyalakan api di tungku sederhana yang dibuat dari batu dan tanah liat.
Setiap batang gula aren dijual seharga Rp40.000. Dalam sehari, Pepen dan keluarganya bisa menghasilkan 5 hingga 7 batang, atau sekitar Rp250.000 hingga Rp350.000. "Kalau punya banyak pohon aren, tentu hasilnya lebih besar. Inilah yang membantu kami bertahan, tanpa harus tergantung pada perusahaan sawit," tuturnya.

Meski sederhana, aktivitas mengolah gula aren memberi napas bagi ekonomi warga Kampung Moncok. Bagi mereka, gula aren bukan sekadar produk dagang, tapi bukti kemandirian masyarakat adat yang memilih menjaga hutan daripada menjual tanah kepada perusahaan sawit yang ada di kampung mereka.
Menurut Mahadi, selaku Timanggong atau kepala wilayah adat, keberlanjutan tradisi ini juga menjadi penyeimbang ekologi. "Mereka yang masih mengelola gula aren adalah orang-orang yang peduli menjaga kehidupan adat dan lingkungan. Hutan tetap lestari, tanah tetap milik sendiri," ujarnya.
Di Kampung Moncok, aktivitas masyarakat adat Dayak Kanayatn masih berjalan seperti puluhan tahun silam menanak gula aren, warisan yang tak lekang oleh waktu.
Kampung Moncok adalah bagian dari komunitas Binua Samih II, wilayah adat yang bergabung dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Landak sejak 1999. Secara geografis, kampung ini berada di dataran tinggi yang dikelilingi perbukitan hijau. Meski terhindar dari ancaman banjir, mereka tidak sepenuhnya aman dari tekanan perluasan perkebunan kelapa sawit yang perlahan mengubah bentang alam dan ruang hidup warga adat.
Perubahan tata ruang membuat sebagian besar lahan berladang dan berburu beralih fungsi. Namun di tengah keterdesakan itu, masyarakat Kampung Moncok memilih bertahan lewat tradisi mengolah gula aren secara tradisional pekerjaan yang tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga simbol kedaulatan mereka atas tanah leluhur.
Meski keberadaan perusahaan sawit seperti PT Satria Multi Sukses (SMS) dan PT Citra Niaga Perkara (CNP) telah membuka lapangan kerja, tetapi juga membawa masalah sosial baru. "Air sungai tercemar, ikan mati, bahkan sering terjadi perkelahian antarpekerja. Sedangkan mereka yang tetap mengelola aren, hidupnya tenang dan mandiri," kata Mahadi.

Menjaga Hutan, Menjaga Identitas
Upaya mempertahankan budidaya gula aren ini juga mendapat dukungan dari Pemerintah Desa Agak. Menurut Riska, warga adat yang kini bekerja di pemerintahan desa, pihaknya terus melakukan inventarisasi kegiatan masyarakat sebagai dasar dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes).
"Pada 2024 kami telah memberikan pelatihan kepada para pengelola gula aren di beberapa kampung agar mereka bisa meningkatkan kapasitas dan menambah wawasan," katanya.
Bagi masyarakat adat Kampung Moncok, pohon aren bukan sekadar sumber nira, tetapi juga simbol kehidupan. Ia menandai keberlanjutan, kemandirian, dan hubungan spiritual manusia dengan alam.
Di tengah arus modernisasi dan desakan industri sawit, asap dari tungku pembuat gula aren di Kampung Moncok tetap membumbung menjadi penanda bahwa di pelosok Kalimantan Barat ini, masih ada komunitas yang teguh menjaga warisan, bekerja dengan tangan, dan hidup selaras dengan alam.
Bagi masyarakat adat Moncok, mempertahankan gula aren bukan sekadar menjaga tradisi, tetapi juga bentuk kedaulatan atas tanah dan identitas mereka. Mahadi, yang menjabat sebagai Timanggong atau kepala wilayah adat, menegaskan bahwa mereka yang tetap mengelola gula aren adalah penjaga sejati keberlangsungan adat dan lingkungan.
"Mereka yang masih mengelola gula aren berarti masih berdaulat atas tanahnya. Karena yang tak lagi mengelola, banyak yang kehilangan lahan—bahkan harus membeli kembali tanah untuk tempat tinggal," kata Mahadi.
Ia menambahkan, pengelolaan gula aren telah terbukti menjadi benteng ekologis yang mencegah deforestasi dan penyerahan lahan kepada perusahaan besar. "Selama ada pohon aren, hutan kami masih berdiri. Itulah penyeimbang alam yang kami jaga," katanya.
Namun, Mahadi juga menyoroti munculnya konflik sosial akibat kehadiran dua perusahaan sawit besar di wilayah itu, yakni PT Satria Multi Sukses (SMS) dan PT Citra Niaga Perkara (CNP).
"Selain memberi pekerjaan, perusahaan sawit juga membawa masalah baru: perkelahian antarpekerja, pencemaran sungai, ikan mati, sampai konflik tanah adat. Itu yang kami hadapi beberapa tahun terakhir," tuturnya.
Kini, di tengah perubahan bentang alam dan tekanan ekonomi, masyarakat adat Dayak Kanayatn di Kampung Moncok terus berjuang menjaga ruang hidup mereka. Bagi mereka, gula aren bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi simbol ketahanan dan jati diri komunitas adat.
Seperti kata Pepen, sambil menatap batang pohon aren peninggalan ayahnya, "Selama pohon ini masih tumbuh, kami akan terus membuat gula aren. Karena di sinilah kehidupan kami berasal," katanya.

Dukungan Pemerintah Desa dan Kolaborasi Lokal
Upaya masyarakat Desa Agak dalam mempertahankan tradisi mengolah ula aren mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Landak, dengan mengembangkan gula aren sebagai komoditas unggulan ekonomi masyarakat lokal.
Pengembangan gula aren dilakukan melalui perencanaan pengembangan sentra industri kecil dan menengah serta pembangunan agrotechnopark gula aren yang mengolah produk hilir dari tanaman aren dan menghasilkan berbagai produk bernilai tambah seperti kolang kaling, tepung aren, nira aren, nata pinnata, minuman ringan, cuka, alkohol, bahkan bioethanol sebagai bahan bakar nabati.
Strategi pengembangan ini meliputi pembangunan sarana pengolahan standar, pengadaan sarana pendukung seperti listrik dan air bersih, serta perluasan jaringan pemasaran dan pembentukan kemitraan antara petani dan pelaku usaha. Gula aren dipilih sebagai produk prioritas karena daya adaptasi tanaman aren yang baik pada kondisi lahan marginal dan potensi nilai tambah yang tinggi.
"Kami dari pemerintah Landak juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat melalui program industri rumahan terkait gula aren, yang diharapkan dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan di Kabupaten Landak," kata Bupati Landak, Karolin Margret Natasa di Ngabang.
Rencana Pemerintah Kabupaten Landak untuk pengembangan sentra gula aren berfokus pada pembangunan kawasan agrotechnopark sebagai pusat industri kecil dan menengah (IKM) dengan fokus pada produk gula aren. Lokasi rencana sentra IKM berada di Desa Kumpang Tengah, Kecamatan Sebangki, dengan lahan seluas sekitar 8 hektare yang terbagi antara lahan terbangun dan lahan budidaya tanaman nira.
Strategi pengembangan meliputi pembangunan fasilitas penunjang seperti pusat pengembangan IPTEK untuk inovasi produk gula aren, gudang pengumpul hasil panen, packing house untuk pengemasan, showroom produk, dan ruang workshop untuk edukasi masyarakat dan pengunjung.
Produk gula aren diprioritaskan karena memiliki nilai tambah yang tinggi dan daya adaptasi tanaman yang baik pada lahan marginal. Pemerintah juga mengincar pengembangan produk turunan dari gula aren seperti kolang kaling, tepung aren, minuman ringan, cuka, alkohol, dan bioethanol sebagai bahan bakar nabati.
Selain pengembangan fisik, rencana ini juga mengantisipasi hambatan seperti keterbatasan modal kerja, akses pendanaan, masih dominannya produksi tradisional, pemasaran yang bergantung pada tengkulak, serta rendahnya kualitas sumber daya manusia dan teknologi produksi.
"Pemerintah Kabupaten Landak berharap pengembangan sentra ini dapat membuka lapangan kerja baru, menurunkan angka pengangguran, dan mengurangi kemiskinan di daerah tersebut," tuturnya.
