Seorang tua mengenakan kaca mata dengan rambut memutih, terlihat penuh semangat saat bicara mengenai budaya dan kesenian, atau sejarah orang Tionghoa di Kalimantan Barat. Ia pengawal budaya Tionghoa.
Namanya Lie Sau Fat, namun kondisi era Orde Baru membuatnya harus mengubah nama menjadi Xaferius Fuad Asali. Ia mengganti namanya pada 22 Januari 1968. Asali adalah nama Marga. Dia terlahir dari pasangan Lie Shin Yew dan Tjhia Khuin Fung.
Berdasarkan tahun Imlek, Asali lahir pada tanggal 18, bulan 6, tahun 1932. Sedangkan berdasarkan tahun Masehi, ia lahir 5 Agustus 1933. Dia anak kelima dari 10 bersaudara. Lahir dan besar di Koelor, sebuah kampung di Kota Singkawang.
Orang tuanya seorang lo-thay atau penguasa Tionghoa tingkat kecamatan. Menurut kepercayaan orang tua dari kebudayaan Tiongkok purba, tidak boleh dalam satu keluarga, keturunan ketiga sebagai lo-thay. "Jadi saya akhirnya sekolah Belanda," kata Asali saat ditemui di rumahnya di Pontianak.
Asali hobi membaca sejak kecil. Ia mengumpulkan banyak informasi mengenai seni dan budaya Tionghoa. Meski dia sendiri tidak pernah menetap di tanah leluhurnya di China daratan.
Seperti umumnya anak-anak, Asali senang bermain. Namun sejak kecil sudah dididik dengan ilmu dan pengetahuan memadai. Asali sekolah di Ai Chiun School atau Sekolah Bahasa Mandarin di Pemangkat.
Kemudian Nan Hoa School di Koelor, baru ke pendidikan Belanda Vervolg Hollands Chinese School di Singkawang. Sehingga ia menguasai bahasa dan tulisan Mandarin serta bahasa Belanda.
Tak heran saat tentara Jepang mendarat di Pemangkat, dia menjadi penerjemah tentara Jepang yang akan menangkap ayahnya. Ayahnya dianggap sebagai pejabat yang akan melawan Jepang.
Saat itu dia baru berusia 11 tahun, kelas tiga. Sewaktu Jepang datang ke ayahnya, Asali bertindak sebagai penerjemah. Dua orang tentara Jepang datang mengenakan baju putih, sepatu tinggi hingga lutut dan celana warna coklat. Orang Jepang itu memakai topi dengan penutup pada bagian telinga. "Saya ingat itu, tetapi tak ingat nama dua orang tersebut," katanya.
Asali melanjutkan ceritanya, tentara Jepang bertindak sopan dan tidak memaksa. Sehingga Asali tidak takut. Berbagai pertanyaan kepada ayahnya dia terjemahkan. Rumah Asali sekitar tiga kilometer dari jalan raya.
Dua tentara Jepang diantar seorang lo-thay menuju rumahnya. Sebelum dua tentara Jepang masuk, kakaknya bergegas ke rumah orang tuanya. Sebab, dia tahu ayahnya akan didatangi Jepang. Sehingga adik-adiknya semua disuruh ke kebun dahulu. Khawatir nanti mereka salah omong kepada Jepang.
Setelah Jepang masuk ke Pemangkat, ibu Asali sembahyang di kuil. Dia minta petunjuk. Mereka tetap tinggal di Pemangkat atau kembali ke Singkawang setelah Jepang masuk. Dari sembahyang yang dilakukan, ibunya mendapat petunjuk segera ke Singkawang. Pesan itu dituruti. Akhirnya, orang tua lelaki Asali tak jadi ditangkap, karena sudah pindah ke Singkawang.
Menurut Asali, orang Tionghoa banyak yang ditangkap semasa Jepang, karena mereka merupakan anggota gerakan untuk melawan Jepang. Pusat gerakan itu ada di Singapura. Mereka melawan Jepang karena Jepang juga menginvasi China daratan. Tak heran bila banyak orang Tionghoa yang meninggal pada tragedi Mandor, 1942-1943.
Meski cukup paham ajaran Khong Hu Cu, namun sesungguhnya Asali bukanlah dari keluarga penganut ajaran tersebut. Dari buyutnya yang perantauan Tiongkok hingga ayahnya yang meninggal tahun 1972 masih menganut Taoisme.
Asali baru memeluk agama Katolik pada 1976. Ibunya berpesan agar Asali tidak pindah agama Katolik selama ibunya masih hidup. Ibunya meninggal tahun 1973, setahun setelah ayahnya meninggal.
"Saya memeluk Katolik pada 1976. Kalau istri saya memang dari keluarga Katolik," kata Asali yang bertemu istrinya, Theresia Laiyanti setelah pindah ke Pontianak tahun 1951.
Dari pernikahannya dengan Theresia Laiyanti, lahir lima anak yang satu di antaranya perempuan. Mereka bernama Lie Kie Khiat atau Karel. Lie Kie Gean atau David. Lie Soo San atau Fabiola. Lie Kie Tsok atau Oktavius dan Wiro Kiping Asali. Empat anaknya sama-sama berganti nama Indonesia pada tahun 1968.
Sedangkan yang bungsu, Wiro Kiping Asali sejak lahir tahun 1970, sudah bernama Indonesia. "Tapi saya buatkan nama Tionghoa-nya, Lie Kie Pin," kata Asali lagi.
Sekarang hanya Karel yang tinggal satu rumah dengannya. Anaknya bernama David tinggal di San Francisco, Amerika Serikat. Anaknya yang perempuan di Yogyakarta dan seorang lagi di Bandung.
Asali orang yang selalu membaca. Dia dua kali operasi katarak. Kemampuannya membaca tulisan kanji membuatnya mengetahui berbagai permasalahan dan kondisi aktual. Khususnya mengenai budaya dan sejarah Tionghoa. Banyak literatur dalam bahasa kanji di rumahnya yang berbentuk rumah toko di jalan Antasari, Pontianak.
Rumah itu dibangun pada tahun 1970, dalam kondisi saat itu yang masih sederhana. Atap terbuat dari rumbia. Rumahnya dibangun sendiri dan dikembangkan hingga seperti sekarang. Dalam keseharian Asali berbisnis pestisida. Bisnis itu kini dijalankan anak sulungnya dan ia hanya mengawasi saja.
Falsafah hidup
Meski setiap hari masih kerja di kantornya, dia selalu menyempatkan membaca dan menulis. Namun untuk urusan menulis dia dibantu anak tertuanya, Karel (41). Karel mendokumentasikan dan mengetik berbagai naskah yang diucapkan atau dirangkai dari keterangan Asali. Karel menerjemahkan dan menyiapkan bahan tulisan untuk dimuat koran lokal. Bahan tulisan tersebut seputar seni dan budaya Tionghoa.
"Saya terpaksa harus melakukannya, karena papa senang sekali menulis dan membaca. Ada istilah yang tidak biasa dan tidak dimengerti yang ditulis papa, jika menggunakan Bahasa Indonesia, dan itu harus saya perbaiki agar orang menjadi paham," kata Karel.
Menurut Karel, pendidikan yang dijalani Asali membuat ia justru kurang fasih berbahasa Indonesia jika membuat suatu tulisan. Ayahnya lama sekolah Mandarin dan Belanda, dan baru setelah pindah ke Pontianak dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Melayu.
Karena itu, Karel bertugas menghaluskan bahasa tulisan ayahnya agar dipahami masyarakat umum.
Asali banyak mengumpulkan bahan-bahan tulisan atau literatur baik dari cerita orang tuanya dari mulut ke mulut, arsip-arsip tua, maupun kiriman buku dari banyak pihak ke alamat tempat tinggalnya. Tak heran bila setiap hari, tumpukan naskah, berkas, ketikan dan buku-buku selalu ada di meja tengah rumahnya.
"Ini tulisan saya yang dimuat di Equator tahun 2010. Masih saya simpan hasil ketikannya. Silakan baca," kata Asali. Equator merupakan koran lokal di Kalimantan Barat.
Meski usia telah beranjak senja, Asali kelihatan sehat. Ia selalu memegang teguh dan falsafah hidup dari para leluhur. Ada falsafah berbunyi "Chi Chu Tse Man" yang artinya, mengetahui yang cukup itu yang bisa memuaskan diri.
Atau kata bijak berbunyi, "Yi Sua Phu Yuk Huk" yang artinya, untuk sendiri tidak mau jangan beri ke orang lain. "Kutipan itu merupakan sabda dari Khong Hu Cu," katanya.
Tua dan kaya pengalaman, menjadikannya sesepuh di komunitas warga Tionghoa di Kalbar. Ia sumber inspirasi orang muda, tanpa memandang etnis atau kesukuan. Terutama mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang seni dan budaya Tionghoa.
Ia acap kali didatangi jurnalis yang ingin mengangkat tema seni dan budaya Tionghoa.
Saat perayaan Tahun Baru Imlek, Asali kedatangan banyak tamu. Mereka bersilaturahim dan membawa buah-buahan yang merupakan simbol kebaikan saat Imlek. Seperti jeruk bali dan jeruk mandarin, belimbing, plum, apel dan lainnya. Buah-buahan itu juga untuk sembahyang. "Pokoknya yang tidak berduri," katanya.
Asali merayakan Imlek sebagai tradisi. Perayaan Imlek pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada 2000. Waktu itu dikenal sebagai tahun Imlek 2551, yang diambil dari tahun kelahiran Nabi Khong Hu Cu atau Kongcu tahun 551 Sebelum Masehi.
Perayaan Tahun Baru Imlek hanya diadakan di Indonesia. Sementara di Tiongkok atau RRC, diperingati sebagai Festival Musim Semi. Karena pemerintah Tiongkok telah menetapkan di sana hanya berlaku penanggalan Masehi.
Pemerintah era Gus Dur, menetapkan adanya perayaan Tahun Baru Imlek berdasarkan tahun kelahiran Nabi Khong Hu Cu dan tahun Masehi ketika perayaan pertama Imlek diadakan, yakni pada tahun 2000. Sehingga tahun pertama perayaan Imlek di Indonesia itu jatuh pada 2551.
"Tahun Imlek 2551 hanya berlaku di Indonesia. Di luar Indonesia pakai Ren Shin Nian. Makanya orang asing bingung ada tahun Imlek 2551 dan hingga kini Imlek 2563," katanya.
Asali juga menyimpan catatan pernyataan Gus Dur ketika itu. Dalam catatannya tertulis "Inpres No 14 Tahun 1967 dianggap rasis." Kemudian kutipan pernyataan Gus Dur, "Bapak Gus Dur: Selama 32 tahun, semua yang berbau seni dan budaya China dilarang."
Sebelumnya, orang Tionghoa yang penganut Khong Hu Cu -- karena ada Inpres No 14 Tahun 1967 -- melakukan sembahyang secara sembunyi sejak 1967-1999. Asali mengakui, orang Tionghoa di Indonesia sampai kini menganggap Gus Dur sangat berjasa bagi mereka.
Penghargaan
Bertepatan peringatan ke-55 Hari Ulang Tahun Pemerintah Provinsi Kalbar, Xaferius Fuad Asali mendapatkan penghargaan bidang Kebudayaan dari Pemerintah Provinsi.
Asali mendapatkan penghargaan bersama dua budayawan lainnya, yakni John Bamba dari etnis Dayak dan Mardan Adijaya Kusuma Ibrahim dari Keraton Amantubillah Mempawah yang mewakili etnis Melayu.
Ia mengatakan "surprise" dengan adanya niat Pemprov memberikan penghargaan Bidang Kebudayaan kepada dirinya. Ia mengingatkan agar generasi muda mengambil yang baik-baik dari budaya yang ada itu untuk dikembangkan. "Budaya yang baik dan sopan harus dikembangkan, sedangkan yang jelek jangan diambil," katanya.
Asali memang patut mendapatkan penghargaan. Selain banyak tulisan dan pemikirannya yang menginspirasi, ia juga menulis buku mengenai Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat yang diluncurkan pada 3 Agustus 2008.
Acara peluncuran buku 159 halaman itu dihadiri banyak orang. Mereka memuji ketekunan dan kesetiaan akan seni dan budaya kakek dari 11 cucu tersebut. Buku menceritakan awal kedatangan orang Tionghoa di Kalbar yang disebutnya, "West Borneo".
Buku itu juga berisi pengetahuan mengenai perayaan Tahun Baru Imlek, naga dalam legenda, seni budaya permainan Barongsai dan Cap Go Meh atau hari ke-15 dalam kalender Imlek. Juga tradisi mandi U-Shi di Sungai Kapuas, legenda Bak Cang, tradisi sembahyang kubur, prosesi pemakaman Tionghoa, legenda Festival Kue Bulan, adat perkawinan tradisional Tionghoa, proses Adopsi di kalangan Tionghoa dan keunikan Marga dalam keluarga Tionghoa.
Pada tahun 2011, Asali datang ke China saat peringatan 100 tahun revolusi RRC di bawah kepemimpinan Dr Sun Yat Sen, disebut Revolusi Xin Hai pada Oktober tahun 1911. Ia melihat dari dekat tanah leluhur tempat kelahiran buyutnya, Liem Kiem.
Di usia senja, Asali rajin olahraga jalan kaki setiap sore sepulang dari memantau perusahaan yang dikelola anaknya. Ia juga selalu menjaga pola makan dengan mengurangi makanan berlemak dan minuman beralkohol. "Sekarang sudah tua, jadi harus selalu menjaga kesehatan," katanya.
Lelaki tua itu, tidak ingin apa yang ia kumpulkan dan catat mengenai seni dan budaya Tionghoa menjadi hilang ditelan zaman. Karenanya kini semua informasi atau bahan-bahan tulisan "warisan" leluhur itu, disimpan rapi dalam file khusus di rumahnya.
Banyak orang yang mencari tahu mengenai seni dan budaya Tionghoa, pasti mengunjungi dan bertemu dengan si pengawal budaya, XF Asali.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Namanya Lie Sau Fat, namun kondisi era Orde Baru membuatnya harus mengubah nama menjadi Xaferius Fuad Asali. Ia mengganti namanya pada 22 Januari 1968. Asali adalah nama Marga. Dia terlahir dari pasangan Lie Shin Yew dan Tjhia Khuin Fung.
Berdasarkan tahun Imlek, Asali lahir pada tanggal 18, bulan 6, tahun 1932. Sedangkan berdasarkan tahun Masehi, ia lahir 5 Agustus 1933. Dia anak kelima dari 10 bersaudara. Lahir dan besar di Koelor, sebuah kampung di Kota Singkawang.
Orang tuanya seorang lo-thay atau penguasa Tionghoa tingkat kecamatan. Menurut kepercayaan orang tua dari kebudayaan Tiongkok purba, tidak boleh dalam satu keluarga, keturunan ketiga sebagai lo-thay. "Jadi saya akhirnya sekolah Belanda," kata Asali saat ditemui di rumahnya di Pontianak.
Asali hobi membaca sejak kecil. Ia mengumpulkan banyak informasi mengenai seni dan budaya Tionghoa. Meski dia sendiri tidak pernah menetap di tanah leluhurnya di China daratan.
Seperti umumnya anak-anak, Asali senang bermain. Namun sejak kecil sudah dididik dengan ilmu dan pengetahuan memadai. Asali sekolah di Ai Chiun School atau Sekolah Bahasa Mandarin di Pemangkat.
Kemudian Nan Hoa School di Koelor, baru ke pendidikan Belanda Vervolg Hollands Chinese School di Singkawang. Sehingga ia menguasai bahasa dan tulisan Mandarin serta bahasa Belanda.
Tak heran saat tentara Jepang mendarat di Pemangkat, dia menjadi penerjemah tentara Jepang yang akan menangkap ayahnya. Ayahnya dianggap sebagai pejabat yang akan melawan Jepang.
Saat itu dia baru berusia 11 tahun, kelas tiga. Sewaktu Jepang datang ke ayahnya, Asali bertindak sebagai penerjemah. Dua orang tentara Jepang datang mengenakan baju putih, sepatu tinggi hingga lutut dan celana warna coklat. Orang Jepang itu memakai topi dengan penutup pada bagian telinga. "Saya ingat itu, tetapi tak ingat nama dua orang tersebut," katanya.
Asali melanjutkan ceritanya, tentara Jepang bertindak sopan dan tidak memaksa. Sehingga Asali tidak takut. Berbagai pertanyaan kepada ayahnya dia terjemahkan. Rumah Asali sekitar tiga kilometer dari jalan raya.
Dua tentara Jepang diantar seorang lo-thay menuju rumahnya. Sebelum dua tentara Jepang masuk, kakaknya bergegas ke rumah orang tuanya. Sebab, dia tahu ayahnya akan didatangi Jepang. Sehingga adik-adiknya semua disuruh ke kebun dahulu. Khawatir nanti mereka salah omong kepada Jepang.
Setelah Jepang masuk ke Pemangkat, ibu Asali sembahyang di kuil. Dia minta petunjuk. Mereka tetap tinggal di Pemangkat atau kembali ke Singkawang setelah Jepang masuk. Dari sembahyang yang dilakukan, ibunya mendapat petunjuk segera ke Singkawang. Pesan itu dituruti. Akhirnya, orang tua lelaki Asali tak jadi ditangkap, karena sudah pindah ke Singkawang.
Menurut Asali, orang Tionghoa banyak yang ditangkap semasa Jepang, karena mereka merupakan anggota gerakan untuk melawan Jepang. Pusat gerakan itu ada di Singapura. Mereka melawan Jepang karena Jepang juga menginvasi China daratan. Tak heran bila banyak orang Tionghoa yang meninggal pada tragedi Mandor, 1942-1943.
Meski cukup paham ajaran Khong Hu Cu, namun sesungguhnya Asali bukanlah dari keluarga penganut ajaran tersebut. Dari buyutnya yang perantauan Tiongkok hingga ayahnya yang meninggal tahun 1972 masih menganut Taoisme.
Asali baru memeluk agama Katolik pada 1976. Ibunya berpesan agar Asali tidak pindah agama Katolik selama ibunya masih hidup. Ibunya meninggal tahun 1973, setahun setelah ayahnya meninggal.
"Saya memeluk Katolik pada 1976. Kalau istri saya memang dari keluarga Katolik," kata Asali yang bertemu istrinya, Theresia Laiyanti setelah pindah ke Pontianak tahun 1951.
Dari pernikahannya dengan Theresia Laiyanti, lahir lima anak yang satu di antaranya perempuan. Mereka bernama Lie Kie Khiat atau Karel. Lie Kie Gean atau David. Lie Soo San atau Fabiola. Lie Kie Tsok atau Oktavius dan Wiro Kiping Asali. Empat anaknya sama-sama berganti nama Indonesia pada tahun 1968.
Sedangkan yang bungsu, Wiro Kiping Asali sejak lahir tahun 1970, sudah bernama Indonesia. "Tapi saya buatkan nama Tionghoa-nya, Lie Kie Pin," kata Asali lagi.
Sekarang hanya Karel yang tinggal satu rumah dengannya. Anaknya bernama David tinggal di San Francisco, Amerika Serikat. Anaknya yang perempuan di Yogyakarta dan seorang lagi di Bandung.
Asali orang yang selalu membaca. Dia dua kali operasi katarak. Kemampuannya membaca tulisan kanji membuatnya mengetahui berbagai permasalahan dan kondisi aktual. Khususnya mengenai budaya dan sejarah Tionghoa. Banyak literatur dalam bahasa kanji di rumahnya yang berbentuk rumah toko di jalan Antasari, Pontianak.
Rumah itu dibangun pada tahun 1970, dalam kondisi saat itu yang masih sederhana. Atap terbuat dari rumbia. Rumahnya dibangun sendiri dan dikembangkan hingga seperti sekarang. Dalam keseharian Asali berbisnis pestisida. Bisnis itu kini dijalankan anak sulungnya dan ia hanya mengawasi saja.
Falsafah hidup
Meski setiap hari masih kerja di kantornya, dia selalu menyempatkan membaca dan menulis. Namun untuk urusan menulis dia dibantu anak tertuanya, Karel (41). Karel mendokumentasikan dan mengetik berbagai naskah yang diucapkan atau dirangkai dari keterangan Asali. Karel menerjemahkan dan menyiapkan bahan tulisan untuk dimuat koran lokal. Bahan tulisan tersebut seputar seni dan budaya Tionghoa.
"Saya terpaksa harus melakukannya, karena papa senang sekali menulis dan membaca. Ada istilah yang tidak biasa dan tidak dimengerti yang ditulis papa, jika menggunakan Bahasa Indonesia, dan itu harus saya perbaiki agar orang menjadi paham," kata Karel.
Menurut Karel, pendidikan yang dijalani Asali membuat ia justru kurang fasih berbahasa Indonesia jika membuat suatu tulisan. Ayahnya lama sekolah Mandarin dan Belanda, dan baru setelah pindah ke Pontianak dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Melayu.
Karena itu, Karel bertugas menghaluskan bahasa tulisan ayahnya agar dipahami masyarakat umum.
Asali banyak mengumpulkan bahan-bahan tulisan atau literatur baik dari cerita orang tuanya dari mulut ke mulut, arsip-arsip tua, maupun kiriman buku dari banyak pihak ke alamat tempat tinggalnya. Tak heran bila setiap hari, tumpukan naskah, berkas, ketikan dan buku-buku selalu ada di meja tengah rumahnya.
"Ini tulisan saya yang dimuat di Equator tahun 2010. Masih saya simpan hasil ketikannya. Silakan baca," kata Asali. Equator merupakan koran lokal di Kalimantan Barat.
Meski usia telah beranjak senja, Asali kelihatan sehat. Ia selalu memegang teguh dan falsafah hidup dari para leluhur. Ada falsafah berbunyi "Chi Chu Tse Man" yang artinya, mengetahui yang cukup itu yang bisa memuaskan diri.
Atau kata bijak berbunyi, "Yi Sua Phu Yuk Huk" yang artinya, untuk sendiri tidak mau jangan beri ke orang lain. "Kutipan itu merupakan sabda dari Khong Hu Cu," katanya.
Tua dan kaya pengalaman, menjadikannya sesepuh di komunitas warga Tionghoa di Kalbar. Ia sumber inspirasi orang muda, tanpa memandang etnis atau kesukuan. Terutama mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang seni dan budaya Tionghoa.
Ia acap kali didatangi jurnalis yang ingin mengangkat tema seni dan budaya Tionghoa.
Saat perayaan Tahun Baru Imlek, Asali kedatangan banyak tamu. Mereka bersilaturahim dan membawa buah-buahan yang merupakan simbol kebaikan saat Imlek. Seperti jeruk bali dan jeruk mandarin, belimbing, plum, apel dan lainnya. Buah-buahan itu juga untuk sembahyang. "Pokoknya yang tidak berduri," katanya.
Asali merayakan Imlek sebagai tradisi. Perayaan Imlek pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada 2000. Waktu itu dikenal sebagai tahun Imlek 2551, yang diambil dari tahun kelahiran Nabi Khong Hu Cu atau Kongcu tahun 551 Sebelum Masehi.
Perayaan Tahun Baru Imlek hanya diadakan di Indonesia. Sementara di Tiongkok atau RRC, diperingati sebagai Festival Musim Semi. Karena pemerintah Tiongkok telah menetapkan di sana hanya berlaku penanggalan Masehi.
Pemerintah era Gus Dur, menetapkan adanya perayaan Tahun Baru Imlek berdasarkan tahun kelahiran Nabi Khong Hu Cu dan tahun Masehi ketika perayaan pertama Imlek diadakan, yakni pada tahun 2000. Sehingga tahun pertama perayaan Imlek di Indonesia itu jatuh pada 2551.
"Tahun Imlek 2551 hanya berlaku di Indonesia. Di luar Indonesia pakai Ren Shin Nian. Makanya orang asing bingung ada tahun Imlek 2551 dan hingga kini Imlek 2563," katanya.
Asali juga menyimpan catatan pernyataan Gus Dur ketika itu. Dalam catatannya tertulis "Inpres No 14 Tahun 1967 dianggap rasis." Kemudian kutipan pernyataan Gus Dur, "Bapak Gus Dur: Selama 32 tahun, semua yang berbau seni dan budaya China dilarang."
Sebelumnya, orang Tionghoa yang penganut Khong Hu Cu -- karena ada Inpres No 14 Tahun 1967 -- melakukan sembahyang secara sembunyi sejak 1967-1999. Asali mengakui, orang Tionghoa di Indonesia sampai kini menganggap Gus Dur sangat berjasa bagi mereka.
Penghargaan
Bertepatan peringatan ke-55 Hari Ulang Tahun Pemerintah Provinsi Kalbar, Xaferius Fuad Asali mendapatkan penghargaan bidang Kebudayaan dari Pemerintah Provinsi.
Asali mendapatkan penghargaan bersama dua budayawan lainnya, yakni John Bamba dari etnis Dayak dan Mardan Adijaya Kusuma Ibrahim dari Keraton Amantubillah Mempawah yang mewakili etnis Melayu.
Ia mengatakan "surprise" dengan adanya niat Pemprov memberikan penghargaan Bidang Kebudayaan kepada dirinya. Ia mengingatkan agar generasi muda mengambil yang baik-baik dari budaya yang ada itu untuk dikembangkan. "Budaya yang baik dan sopan harus dikembangkan, sedangkan yang jelek jangan diambil," katanya.
Asali memang patut mendapatkan penghargaan. Selain banyak tulisan dan pemikirannya yang menginspirasi, ia juga menulis buku mengenai Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat yang diluncurkan pada 3 Agustus 2008.
Acara peluncuran buku 159 halaman itu dihadiri banyak orang. Mereka memuji ketekunan dan kesetiaan akan seni dan budaya kakek dari 11 cucu tersebut. Buku menceritakan awal kedatangan orang Tionghoa di Kalbar yang disebutnya, "West Borneo".
Buku itu juga berisi pengetahuan mengenai perayaan Tahun Baru Imlek, naga dalam legenda, seni budaya permainan Barongsai dan Cap Go Meh atau hari ke-15 dalam kalender Imlek. Juga tradisi mandi U-Shi di Sungai Kapuas, legenda Bak Cang, tradisi sembahyang kubur, prosesi pemakaman Tionghoa, legenda Festival Kue Bulan, adat perkawinan tradisional Tionghoa, proses Adopsi di kalangan Tionghoa dan keunikan Marga dalam keluarga Tionghoa.
Pada tahun 2011, Asali datang ke China saat peringatan 100 tahun revolusi RRC di bawah kepemimpinan Dr Sun Yat Sen, disebut Revolusi Xin Hai pada Oktober tahun 1911. Ia melihat dari dekat tanah leluhur tempat kelahiran buyutnya, Liem Kiem.
Di usia senja, Asali rajin olahraga jalan kaki setiap sore sepulang dari memantau perusahaan yang dikelola anaknya. Ia juga selalu menjaga pola makan dengan mengurangi makanan berlemak dan minuman beralkohol. "Sekarang sudah tua, jadi harus selalu menjaga kesehatan," katanya.
Lelaki tua itu, tidak ingin apa yang ia kumpulkan dan catat mengenai seni dan budaya Tionghoa menjadi hilang ditelan zaman. Karenanya kini semua informasi atau bahan-bahan tulisan "warisan" leluhur itu, disimpan rapi dalam file khusus di rumahnya.
Banyak orang yang mencari tahu mengenai seni dan budaya Tionghoa, pasti mengunjungi dan bertemu dengan si pengawal budaya, XF Asali.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012