Jakarta, 2/4 (ANTARA) - Rencana transaksi/penjualan saham Bank Danamon oleh Temasek Holdings ke DBS berpotensi dan diduga  melanggar peraturan Bank Indonesia (BI), khususnya tentang  "single presence policy" (SPP).

"Ini terjadi karena DBS telah memiliki bank yang telah beroperasi sebelumnya di Indonesia, yakni DBS Indonesia," kata Anggota Komisi XI DPR RI, Maruarar Sirait, saat dihubungi, di Jakarta, Senin.

Dia menjelaskan, jika Temasek Holdings tetap nekat menjual sahamnya di Bank Danamon ke DBS, maka Komisi XI DPR RI akan segera memanggil BI sebagai regulator untuk menjelaskan hal itu.

Oleh karena, katanya, penjualan saham bank itu sepatutnya harus sepengetahuan BI.

Sementara itu, Kepala Biro Humas BI Difi A Johansyah, justru berpandangan, penjualan saham Temasek Holdings di Bank Danamon ke pihak asing kembali dikhawatirkan hanya bermain jangka pendek saja untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin.     

"Jangan asing memiliki bank untuk didagangkan lagi atau main jangka pendek saja," katanya.

Sebelumnya, disebut-sebut Temasek Holdings akan melepas sahamnya di Bank Danamon ke DBS sudah berhembus sejak akhir Januari 2011.

Namun, tak kunjung tiba. Maklum, internal BUMN Singapura tak satu suara. Sebagian pihak ingin menggabungkannya agar makin efisien karena sama-sama beroperasi di Indonesia dan milik Temasek. Sebagian tak menginginkan konsolidasi karena Danamon masih menguntungkan.

Sebelum muncul nama DBS, pelepasan saham Danamon juga dikaitkan dengan tawaran Bank of China, Standard Chartered dan beberapa institusi keuangan lainnya, seperti Jardine Matheson. Namun, manajemen DBS berkali-kali membantahnya.
     
Mereka mengatakan, skenario yang menyebutkan DBS akan mengakuisisi atau menggabungkan diri dengan bank lain hanya spekulatif.

Jika DBS menjadi pemilik mayoritas Danamon, mereka akan terkena aturan BI mengenai SPP karena DBS memiliki 99 persen saham DBS Indonesia.

(E008)

Pewarta:

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012