Jakarta (ANTARA Kalbar) - Komisi Pemberantasan Korupsi diimbau untuk fokus menuntaskan kasus besar yang mengancam stabilitas keuangan negara ketimbang sibuk mengurusi persoalan suap skala kecil.
Sementara untuk menyiasati minimnya jumlah penyidik dan penuntut, KPK sebaiknya fokus pada aspek pencegahan sehingga korupsi di Indonesia dan telah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bisa dikikis hingga titik minimal di masa depan, kata mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Umam di Jakarta, Selasa.
Pada diskusi bertajuk "Pejabat Teri Pajak Ditangkap, Pejabat dan Penyuap Kakap Dibiarkan", ia mengatakan minimnya tenaga penyidik dan penuntut KPK dipastikan tidak akan mampu menangani kasus-kasus korupsi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Diskusi itu menampilkan sejumlah pembicaranya, yakni pakar hukum pidana Yenti Garnasih, pakar politik UI Iberamsyah, mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Umam, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi, di Jakarta, Selasa.
Menurut Chairul, KPK sebaiknya hanya fokus pada tindakan pencegahan. Bahkan jika perlu, komposisinya dibuat 80 persen sumber daya manusia dan anggaran KPK digunakan untuk pencegahan, serta 20 persen sisanya untuk penindakan.
"Kalau menangkap koruptor, memang sepertinya KPK kelihatan gagah. Tapi jika cara kerja KPK tetap sibuk dengan penindakan seperti sekarang. Saya yakin 10 tahun lagi korupsi di Indonesia bukannya berkurang, malah akan semakin bertambah parah," ujar Chairul.
Dia menambahkan, kendati KPK menangkap banyak koruptor, kasus korupsi justru semakin bertambah. Dalam empat tahun terakhir, tidak kurang dari 9.600 kasus korupsi dengan lebih dari 20.000 pelaku dibawa ke pengadilan.
Namun faktanya hal itu tidak membuat orang takut melakukan korupsi. "Jadi, sebaiknya KPK fokus hanya pada kasus-kasus besar," ujarnya.
Yenti menyoroti kinerja KPK yang dinilainya semakin tidak fokus, bahkan cenderung ambigu. Di satu sisi para pimpinan KPK sering mengeluh hanya punya tenaga penyidik dan penuntut yang sedikit. Di sisi lain, KPK justru sibuk menangani kasus-kasus kecil yang bisa disebut "kelas teri".
"Buat apa KPK sibuk menangani kasus Tommy, pegawai di KPP Sidoardjo yang hanya merugikan keuangan negara Rp280 juta. Pada saat yang sama, kasus Hambalang yang kerugiannya mencapai Rp1 triliun lebih tidak juga ada kemajuan. Kalau memang serius mau memberantas korupsi, lakukanlah dengan sungguh-sungguh," ujar Yenti.
Yenti juga minta KPK melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menyidik kasus-kasus korupsi pegawai pajak sebab hampir bisa dipastikan para pegawai yang hanya golongan III itu pasti tidak sendiri. Mereka hanya menjadi operator dari atasan mereka yang punya wewenang lebih besar.
Menurut dia, dengan melibatkan PATK, bisa ditelusuri arus dana yang mereka korupsi. "Ini jelas sindikat dan yang namanya sindikat, pasti tidak sendiri. KPK juga harus menjerat mereka dengan UU Pencucian Uang. Saya sering gemas melihat cara kerja KPK yang tidak fokus dan lamban ini," ujarnya.
Sementara itu, Iberamsyah berpendapat, para koruptor sejatinya lebih jahat dibandingkan teroris.
Menurut dia, korban teroris hanya orang-orang yang ada di lokasi meledaknya bom, sedangkan koruptor telah mengambil hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, dan hak-hak dasar lainnya.
"Korupsi yang dilakukan para pegawai pajak rendahan itu pasti melibatkan atasan mereka. Tapi selama ini kasusnya sering hanya berhenti pada para pegawai rendahan itu," kata Iberamsyah.
(D011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Sementara untuk menyiasati minimnya jumlah penyidik dan penuntut, KPK sebaiknya fokus pada aspek pencegahan sehingga korupsi di Indonesia dan telah menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bisa dikikis hingga titik minimal di masa depan, kata mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Umam di Jakarta, Selasa.
Pada diskusi bertajuk "Pejabat Teri Pajak Ditangkap, Pejabat dan Penyuap Kakap Dibiarkan", ia mengatakan minimnya tenaga penyidik dan penuntut KPK dipastikan tidak akan mampu menangani kasus-kasus korupsi yang tersebar di seluruh Indonesia.
Diskusi itu menampilkan sejumlah pembicaranya, yakni pakar hukum pidana Yenti Garnasih, pakar politik UI Iberamsyah, mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Umam, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi, di Jakarta, Selasa.
Menurut Chairul, KPK sebaiknya hanya fokus pada tindakan pencegahan. Bahkan jika perlu, komposisinya dibuat 80 persen sumber daya manusia dan anggaran KPK digunakan untuk pencegahan, serta 20 persen sisanya untuk penindakan.
"Kalau menangkap koruptor, memang sepertinya KPK kelihatan gagah. Tapi jika cara kerja KPK tetap sibuk dengan penindakan seperti sekarang. Saya yakin 10 tahun lagi korupsi di Indonesia bukannya berkurang, malah akan semakin bertambah parah," ujar Chairul.
Dia menambahkan, kendati KPK menangkap banyak koruptor, kasus korupsi justru semakin bertambah. Dalam empat tahun terakhir, tidak kurang dari 9.600 kasus korupsi dengan lebih dari 20.000 pelaku dibawa ke pengadilan.
Namun faktanya hal itu tidak membuat orang takut melakukan korupsi. "Jadi, sebaiknya KPK fokus hanya pada kasus-kasus besar," ujarnya.
Yenti menyoroti kinerja KPK yang dinilainya semakin tidak fokus, bahkan cenderung ambigu. Di satu sisi para pimpinan KPK sering mengeluh hanya punya tenaga penyidik dan penuntut yang sedikit. Di sisi lain, KPK justru sibuk menangani kasus-kasus kecil yang bisa disebut "kelas teri".
"Buat apa KPK sibuk menangani kasus Tommy, pegawai di KPP Sidoardjo yang hanya merugikan keuangan negara Rp280 juta. Pada saat yang sama, kasus Hambalang yang kerugiannya mencapai Rp1 triliun lebih tidak juga ada kemajuan. Kalau memang serius mau memberantas korupsi, lakukanlah dengan sungguh-sungguh," ujar Yenti.
Yenti juga minta KPK melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menyidik kasus-kasus korupsi pegawai pajak sebab hampir bisa dipastikan para pegawai yang hanya golongan III itu pasti tidak sendiri. Mereka hanya menjadi operator dari atasan mereka yang punya wewenang lebih besar.
Menurut dia, dengan melibatkan PATK, bisa ditelusuri arus dana yang mereka korupsi. "Ini jelas sindikat dan yang namanya sindikat, pasti tidak sendiri. KPK juga harus menjerat mereka dengan UU Pencucian Uang. Saya sering gemas melihat cara kerja KPK yang tidak fokus dan lamban ini," ujarnya.
Sementara itu, Iberamsyah berpendapat, para koruptor sejatinya lebih jahat dibandingkan teroris.
Menurut dia, korban teroris hanya orang-orang yang ada di lokasi meledaknya bom, sedangkan koruptor telah mengambil hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, dan hak-hak dasar lainnya.
"Korupsi yang dilakukan para pegawai pajak rendahan itu pasti melibatkan atasan mereka. Tapi selama ini kasusnya sering hanya berhenti pada para pegawai rendahan itu," kata Iberamsyah.
(D011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012