Mataram (ANTARA Kalbar) - Unit pendidikan Bank Dunia mendukung implementasi sekolah aman bencana yang diterapkan di tiga provinsi di Indonesia yakni Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat, terutama menginisiasi penguatan dalam penerapannya.
"Untuk mendukung penerapan sekolah/madrasah aman, khusus dalam inisiatif 'retrofitting' di daerah, unit DRM World Bank melalui GFDRR dan BEC-TF akan memberikan bantuan teknis dalam mengimplementasikan pedoman penerapan sekolah aman bencana itu," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Sekretariat Nasional (Seknas) Sekolah Aman Zamzam Muzaki, di Mataram, Rabu.
Seknas Sekolah Aman dibentuk pada 25 Agustus 2011, di kantor Pengurus Pusat Ikatan Alumni-Institut Teknologi Bandung, oleh berbagai pemangku kepentingan baik dari kementerian/lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga donor yang peduli terhadap terwujudnya sekolah aman.
Seknas Sekolah Aman sebagai lembaga yang mengawal dan mendorong kebijakan serta implementasi sekolah aman di seluruh Indonesia, merupakan wahana untuk mewujudkan sekolah/madrasah aman dari bencana, baik dalam hal struktural maupun non-struktural, dan terintegrasi dengan praktik-praktik baik pendidikan ramah anak yang sudah dilaksanakan di Indonesia.
Zamzam mengatakan, dana yang dikelola unit pendidikan Bank Dunia untuk bantuan teknis penguatan implementasi sekolah aman bencana itu, bersumber dari Pemerintah Belanda dan Uni Eropa.
Bantuan teknis itu diawali dengan penyelenggaraan Lokakarya Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana.
Lokakarya pertama dan kedua telah dilaksanakan di Kota Padang untuk provinsi Sumatera Barat pada 25 Mei 2012, dan di Kota Bandung untuk provinsi Jawa Barat pada 4 Juli 2012. Untuk Provinsi NTB dijadwalkan 19 Juli 2012, di Sheraton Hotel Senggigi, Kabupaten Lombok Barat.
Lokakarya itu bertujuan meningkatkan pemahaman tentang penerapan sekolah aman melalui penjelasan tentang pedoman penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana, dan berbagi ide dan praktik terutama dalam implementasinya, khususnya untuk penerapan "retrofitting" di sekolah-sekolah yang telah siap melakukan rehabilitasi.
Selain itu, juga bertujuan meningkatkan kesadaran penerapan praktik-praktik yang baik untuk konstruksi bangunan sederhana di sekolah, mengawali pilot program (program rintisan) sekolah/madrasah aman dengan mendiskusikan rencana aksi dengan kabupaten/kota lokasi program.
Sedangkan hasil yang diharapkan dari lokakarya itu, yakni terdiseminasinya informasi mengenai pentingnya penerapan sekolah aman untuk mengurangi risiko bencana melalui mekanisme yang ada.
Rencana aksi penerapan sekolah/madrasah aman oleh kabupaten/kota pilot program, mengacu pada pedoman penerapan sekolah/madrasah aman melalui mekanisme pendanaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan, Dana Rehabilitasi Nasional Sekolah (APBN), dan anggaran pemerintah daerah (APBD).
"Juga diharapkan komitmen pemda dalam penerapan sekolah aman, kesepakatan mengenai pemberian asistensi teknis penerapan pedoman sekolah aman di NTB, dan terjalinnya kerja sama lintas sektor terkait di NTB," ujar Zamzam.
Potensi bencana
Zamzam mengatakan, Indonesia merupakan negara yang rentan bencana seperti gempa bumi, tanah longsor, dan banjir. Berbagai kejadian menunjukkan kerentanan gedung-gedung sekolah terhadap bahaya bencana.
Pada 2004, gempa bumi dan tsunami di Aceh, mengakibatkan sedikitnya 750 unit bangunan sekolah rusak dan disapu oleh gelombang.
Di Yogyakarta dalam gempa bumi tahun 2006, sebanyak 2.900 sekolah hancur, dan di Padang gempa bumi 2009, mengakibatkan 1,606 kelas di 241 sekolah hancur dan 60 siswa meninggal dunia. Demikian pula gempa bumi dan tsunami terakhir di Mentawai, tercatat tujuh sekolah hancur.
Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kemudian menetapkan Rencana Manajemen Bencana Nasional 2010¿2014 dan Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana tahun 2010-2012.
Rencana aksi itu mengidentifikasi daerah dengan risiko tinggi terkena bahaya kebencanaan, dan perlu melakukan mitigasi dampak potensial bencana dalam desain dan konstruksi bangunan.
Terkait hal itu, daerah dengan tingkat kerentangan tinggi terhadap bencana, harus mempertimbangkan risiko dan langkah mitigasi risiko tersebut, mengingat investasi infrastruktur cukup mahal.
Oleh karena itu, dipandang penting untuk memastikan pembangunan sekolah fungsionalitas yang berkelanjutan, dan tingkat kesiapan institusi terkait dalam mitigasi risiko dan manajemen bencana.
"Sekolah aman dari bencana yang diterapkan di tiga provinsi, termasuk NTB, merupakan bagian dari kesiapan mitigasi risiko dan manajemen bencana," ujarnya.
(A058)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Untuk mendukung penerapan sekolah/madrasah aman, khusus dalam inisiatif 'retrofitting' di daerah, unit DRM World Bank melalui GFDRR dan BEC-TF akan memberikan bantuan teknis dalam mengimplementasikan pedoman penerapan sekolah aman bencana itu," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Sekretariat Nasional (Seknas) Sekolah Aman Zamzam Muzaki, di Mataram, Rabu.
Seknas Sekolah Aman dibentuk pada 25 Agustus 2011, di kantor Pengurus Pusat Ikatan Alumni-Institut Teknologi Bandung, oleh berbagai pemangku kepentingan baik dari kementerian/lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga donor yang peduli terhadap terwujudnya sekolah aman.
Seknas Sekolah Aman sebagai lembaga yang mengawal dan mendorong kebijakan serta implementasi sekolah aman di seluruh Indonesia, merupakan wahana untuk mewujudkan sekolah/madrasah aman dari bencana, baik dalam hal struktural maupun non-struktural, dan terintegrasi dengan praktik-praktik baik pendidikan ramah anak yang sudah dilaksanakan di Indonesia.
Zamzam mengatakan, dana yang dikelola unit pendidikan Bank Dunia untuk bantuan teknis penguatan implementasi sekolah aman bencana itu, bersumber dari Pemerintah Belanda dan Uni Eropa.
Bantuan teknis itu diawali dengan penyelenggaraan Lokakarya Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana.
Lokakarya pertama dan kedua telah dilaksanakan di Kota Padang untuk provinsi Sumatera Barat pada 25 Mei 2012, dan di Kota Bandung untuk provinsi Jawa Barat pada 4 Juli 2012. Untuk Provinsi NTB dijadwalkan 19 Juli 2012, di Sheraton Hotel Senggigi, Kabupaten Lombok Barat.
Lokakarya itu bertujuan meningkatkan pemahaman tentang penerapan sekolah aman melalui penjelasan tentang pedoman penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana, dan berbagi ide dan praktik terutama dalam implementasinya, khususnya untuk penerapan "retrofitting" di sekolah-sekolah yang telah siap melakukan rehabilitasi.
Selain itu, juga bertujuan meningkatkan kesadaran penerapan praktik-praktik yang baik untuk konstruksi bangunan sederhana di sekolah, mengawali pilot program (program rintisan) sekolah/madrasah aman dengan mendiskusikan rencana aksi dengan kabupaten/kota lokasi program.
Sedangkan hasil yang diharapkan dari lokakarya itu, yakni terdiseminasinya informasi mengenai pentingnya penerapan sekolah aman untuk mengurangi risiko bencana melalui mekanisme yang ada.
Rencana aksi penerapan sekolah/madrasah aman oleh kabupaten/kota pilot program, mengacu pada pedoman penerapan sekolah/madrasah aman melalui mekanisme pendanaan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan, Dana Rehabilitasi Nasional Sekolah (APBN), dan anggaran pemerintah daerah (APBD).
"Juga diharapkan komitmen pemda dalam penerapan sekolah aman, kesepakatan mengenai pemberian asistensi teknis penerapan pedoman sekolah aman di NTB, dan terjalinnya kerja sama lintas sektor terkait di NTB," ujar Zamzam.
Potensi bencana
Zamzam mengatakan, Indonesia merupakan negara yang rentan bencana seperti gempa bumi, tanah longsor, dan banjir. Berbagai kejadian menunjukkan kerentanan gedung-gedung sekolah terhadap bahaya bencana.
Pada 2004, gempa bumi dan tsunami di Aceh, mengakibatkan sedikitnya 750 unit bangunan sekolah rusak dan disapu oleh gelombang.
Di Yogyakarta dalam gempa bumi tahun 2006, sebanyak 2.900 sekolah hancur, dan di Padang gempa bumi 2009, mengakibatkan 1,606 kelas di 241 sekolah hancur dan 60 siswa meninggal dunia. Demikian pula gempa bumi dan tsunami terakhir di Mentawai, tercatat tujuh sekolah hancur.
Pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kemudian menetapkan Rencana Manajemen Bencana Nasional 2010¿2014 dan Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan Risiko Bencana tahun 2010-2012.
Rencana aksi itu mengidentifikasi daerah dengan risiko tinggi terkena bahaya kebencanaan, dan perlu melakukan mitigasi dampak potensial bencana dalam desain dan konstruksi bangunan.
Terkait hal itu, daerah dengan tingkat kerentangan tinggi terhadap bencana, harus mempertimbangkan risiko dan langkah mitigasi risiko tersebut, mengingat investasi infrastruktur cukup mahal.
Oleh karena itu, dipandang penting untuk memastikan pembangunan sekolah fungsionalitas yang berkelanjutan, dan tingkat kesiapan institusi terkait dalam mitigasi risiko dan manajemen bencana.
"Sekolah aman dari bencana yang diterapkan di tiga provinsi, termasuk NTB, merupakan bagian dari kesiapan mitigasi risiko dan manajemen bencana," ujarnya.
(A058)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012