Jakarta (ANTARA Kalbar) - Presiden Parlemen Perempuan Dunia Nurhayati Ali Assegaf menyatakan pembantaian terhadap umat Muslim Rohingya menunjukkan tidak berjalannya demokrasi di Myanmar dan aksi itu harus segera dihentikan.

"Demokrasi itu melindungi minoritas dan menghargai mayoritas. Pembantaian 6.000 umat sangat jauh dari demokrasi yang selama ini kita menghargai atau memberikan asistansi proses demokrasi di Myanmar," kata Nurhayati yang juga Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI kepada pers di Jakarta, Selasa.

Ia juga mendesak kepada Parlemen Dunia, Inter Parliamentary Union (IPU) untuk segera bersikap dan mengambillangkah tegas terkait pembantaian 6.000 umat muslim Rohingya, Myanmar.

"Saya sebagai Presiden Parlemen Perempuan Dunia berkirim surat kepada Sekjen IPU supaya menyikapi dan mengambil tindakan-tindakan untuk menyelamatkan kaum muslimin di Myanmar. Saya juga meminta Sekjen IPU supaya segera kirim surat kepada pemerintah Myanmar agar melakukan protes keras atas pembunuhan yang terjadi di Mynmar atas kaum muslimin," kata Nurhayati.

Sebagai organisasi parlemen dunia, sudah seharusnya IPU menaruh perhatian terhadap masalah ini.

"Saya meminta dihentikan dan mengutuk keras pembantaian itu, apalagi pembantaian itu terjadi pada bulan suci Ramadhan dan ini sangat memprihatinkan," kata Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Luar Negeri itu.

Dalam kondisi konflik seperti ini, lanjut Nurhayati, yang banyak menjadi korban dan dirugikan adalah perempuan. Oleh karena itu, aksi ini wajib menjadi perhatian dunia internasional.

Kaum Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine (Arakan), Myanmar dibantai oleh kelompok yang diduga dilakukan oleh etnis yang didukung pasukan gabungan keamanan Rakhine.

Jumlah kematian muslim di Arakan diperkirakan mencapai 6.000 jiwa. Selain dibunuh, juga terjadi pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, serta penangkapan Muslim Rohingya di negara bagian Arakan (Rakhine).

(S023)

Pewarta:

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012