Bangkok (ANTARA Kalbar/AFP) - Diskriminasi selama satu dasawarsa telah diderita Muslim Rohingya tanpa status kependudukan, yang tersebar di seluruh dunia dan dilihat sebagai salah satu kaum minoritas yang paling teraniaya di planet ini oleh berbagai bangsa.
Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), sekitar 800 ribu kaum Rohingya di Myanmar, terutama di bagian barat Rakhine, menderita kekerasan komunal yang sengit sejak Juni, yang merenggut 150 nyawa dan menyebabkan ribuan orang mengungsi.
Terbagi dalam tiga kabupaten yaitu Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung, Muslim Rohingya telah lama diperlakukan sebagai orang asing oleh pemerintah dan masyarakat Burma. Sebuah situasi keterasingan yang mendalam dari kaum Buddha Rakhine, kata para aktivis.
Gambaran berupa kamp yang kumuh dan laporan bahwa mereka dalam bahaya dan ingin melarikan diri ke negara lain dengan perahu telah menarik perhatian internasional terhadap penderitaan mereka beberapa tahun terakhir, namun kondisi kehidupan mereka hampir tidak ada perkembangan.
Kerja paksa, pembatasan kebebasan untuk bergerak, kurangnya hak atas tanah, pendidikan dan pelayanan publik adalah daftar keterbatasan mereka, kata Badan Pengungsi PBB (UNHCR) dalam sebuah laporan yang diterbitkan, Desember tahun lalu.
"Muslim Rohingya hampir tidak memiliki hubungan sosial dengan suku Myanmar lainnya, baik bahasa maupun komunitas agama," kata laporan UNHCR.
Berbicara dengan dialek yang mirip dengan Chittagong di sebelah tenggara Bangladesh, Muslim Sunni itu dipandang musuh oleh banyak orang di negara Rakhine, yang melihat mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan menyebut mereka sebagai Bengali.
Ancaman Reformasi
Permusuhan telah meluas di luar negara dan bahkan termasuk tokoh-tokoh penting dalam gerakan demokrasi, yang didukung oleh masyarakat internasional, telah memberi peringatan bahwa kerusuhan dan pemindahan menimbulkan ancaman bagi reformasi Myanmar.
Terdapat juga serangkaian protes anti Muslim baru oleh umat Budha di negeri ini, kadang-kadang dipimpin para biksu, di tengah persepsi ancaman terhadap mayoritas agama Buddha dan tuduhan kekhawatiran ekstrim terhadap Islam yang sangat disangkal kaum Rohingya.
Di negara tetangga, Bangladesh, PBB memperkirakan setidaknya terdapat 230 ribu kaum Rohingya, dan kelompok tersebut dianggap membebani anggaran dan para pengungsi mulai dituduh atas berbagai macam kejahatan yang terjadi di bagian tenggara negara tersebut, mulai dari pencurian kecil-kecilan hingga perdagangan narkoba.
Bangladesh, yang melakukan pengamanan lebih ketat di sepanjang perbatasan sungai sebagai antisipasi terjadinya kekerasan baru, mengundang kritik dari PBB setelah kembali ke Rohingya, terutama perempuan dan anak-anak setelah kerusuhan, Juni.
Dua gelombang besar pengungsi, berjumlah sekitar 250 ribu orang membanjiri perbatasan Bangladesh pada 1978 dan antara tahun 1991-1992. Skala pemulangan besar-besaran terjadi, dengan perntanyaan PBB tentang ukuran sifat sukarela.
Dalam beberapa tahun terakhir, pendatang Rohingya lainnya menempuh perjalanan berbahaya dengan perahu menuju Malaysia atau Thailand, Angkatan Laut dituduh menarik mereka kembali ke laut pada masa lalu.
Menurut laporan UNHCR, ratusan ribu Rohingya kini diperkirakan tinggal di luar Myanmar, termasuk di Pakistan dan sekitar 400 ribu di negara-negara Teluk. PBB mendata sekitar 24 ribu orang saat ini lari ke Malaysia. Kelompok Hak Asasi Manusia mengatakan mungkin terdapat ribuan orang lainnya yang tidak terdaftar di negara tersebut.
Myanmar memiliki banyak kelompok etnis, beberapa di antaranya melakukan pemberontakan sporadis bersenjata sejak negara tersebut merdeka dari Inggris tahun 1948.
Tapi kaum Rohingya tidak diakui secara resmi, sebagian karena Undang-undang tahun 1982 menyatakan bahwa minoritas harus membuktikan bahwa mereka tinggal di Myanmar sebelum 1823, sebelum perang Anglo, perang Burma yang pertama, untuk memperoleh pengakuan kewarganegaraan.
Perwakilan dari Rohingya mengatakan bahwa kaum mereka sudah tinggal di Myanmar jauh sebelum itu, sementara ada dugaan bahwa kewarganegaraan dapat diberikan kepada mereka yang memiliki hubungan dengan negara itu, menilai bukti warisan Myanmar itu bisa menimbulkan tantangan keras bagi minoritas.
(S038)
Rohingya, Tanpa Pengakuan dan Teman di Myanmar
Sabtu, 27 Oktober 2012 15:06 WIB
Kaum Rohingya tidak diakui secara resmi, sebagian karena Undang-undang tahun 1982 menyatakan minoritas harus membuktikan mereka tinggal di Myanmar sebelum 1823.