Bogor (ANTARA Kalbar) - Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menegaskan bahwa jika ingin mewujudkan mimpi swasembada pangan maka harus menempatkan petani sebagai subjek pembangunan pertanian.
"Tidak ada lagi pilihan, dan tak ada lagi alasan selain segera lakukan (kebijakan menempatkan petani sebagai subjek pembangunan) itu," kata Manajer Advokasi dan Jaringan KRKP Said Abdullah di Bogor, Jawa Barat, Senin.
Pihaknya menyimak pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal hiruk pikuk persoalan pangan yang ditandai dengan kenaikan harga kedelai beberapa waktu yang lalu pada saat rakor bidang pangan.
Presiden menyatakan bahwa Indonesia harus semakin mandiri dari segi ketahanan pangan.
Pangan dalam hal ini meliputi beras, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi, di mana pemerintah menargetkan pencapaian swasembada lima komoditas tersebut pada tahun 2014.
Menurut dia, apa yang diinginkan itu adalah sebuah target yang patut diapresiasi, jika benar kehendak memandirikan negeri ini soal pangan dilakukan dengan dengan benar.
"Namun jika melihat kenyataannya, target ini boleh dikatakan sebuah sesumbar belaka," katanya.
Karena itu, kata dia, hanya dengan menjadikan petani sebagai subjek pembangunan semangat dan kinerja di sektor ini bisa dinaikkan.
"Jika tidak, jangan berharap perubahan terjadi, apalagi yang tinggal adalah petani-petani renta," katanya.
Argoekologi
Ia mengemukakan bahwa pertanian tidak bisa dilepaskan dari aspek argoekologi.
"Tak ada yang membantah bahwa pertanian yang optimal adalah yang dikembangkan sesuai dengan agroekosistem setempat," katanya.
Dengan demikian, kata dia, tidak lagi bisa kebijakan pembangunan pertanian disederhanakan dan diseragamkan.
Menurut dia, pendekatan dengan mendayagunakan sumber daya lokal, kearifan tradisional dalam bingkai pertanian berkelanjutan dapat dilakukan supaya produksi bisa terus dilakukan.
Menyempitnya lahan pertanian akibat okupasi sektor tambang, perkebunan, pemukiman, dan infrastruktur-industri, katanya, juga perlu segera dihentikan.
"Penetapan lahan pertanian berkelanjutan bisa menjadi salah satu pilihan. Apalagi undang-undang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dan turunannya ini telah disahkan," katanya.
Namun demikian, kata dia, upaya ini tidak cukup, dan diperlukan tindakan segera untuk menjalankan reformasi agraria untuk menjamin akses petani atas sumber-sumber agraria.
"Hanya dengan penguasaan sumber-sumber agraria yang memadai peningkatan produksi dapat dilakukan," katanya.
Pada akhirnya, kata dia, untuk menjamin tercapainya swasembada pangan tidak cukup dengan paradigma ketahanan pangan seperti yang diungkapkan presiden bahwa indonesia harus semakin mandiri dari sisi ketahanan pangan.
"Perlu perubahan cara pandang akan persoalan ini. Kedaulatan pangan semestinya dikedepankan pemerintah," katanya.
Dengan paradigma ini pada akhirnya persoalan pangan dapat diselesaikan tanpa harus tergantung pada pihak lain seperti sekarang ini.
Hingga saat ini, negeri ini masih terus dan semakin dalam berada dalam jerat politik pangan negara dan pihak lain.
Padahal, katanya, kedaulatan pangan sejatinya memberikan ruang bagi negara dan masyarakat menentukan kebijakan serta pilihan-pilihan pembangunan pertanian pangan secara berdaulat tanpa intervensi dari pihak lain.
"Dengan demikian ketahanan pangan, kemandirian pangan dapat diraih tanpa harus mengorbankan kedaulatan sebagai bangsa," demikian Said Abdullah.
(A035)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Tidak ada lagi pilihan, dan tak ada lagi alasan selain segera lakukan (kebijakan menempatkan petani sebagai subjek pembangunan) itu," kata Manajer Advokasi dan Jaringan KRKP Said Abdullah di Bogor, Jawa Barat, Senin.
Pihaknya menyimak pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal hiruk pikuk persoalan pangan yang ditandai dengan kenaikan harga kedelai beberapa waktu yang lalu pada saat rakor bidang pangan.
Presiden menyatakan bahwa Indonesia harus semakin mandiri dari segi ketahanan pangan.
Pangan dalam hal ini meliputi beras, jagung, gula, kedelai, dan daging sapi, di mana pemerintah menargetkan pencapaian swasembada lima komoditas tersebut pada tahun 2014.
Menurut dia, apa yang diinginkan itu adalah sebuah target yang patut diapresiasi, jika benar kehendak memandirikan negeri ini soal pangan dilakukan dengan dengan benar.
"Namun jika melihat kenyataannya, target ini boleh dikatakan sebuah sesumbar belaka," katanya.
Karena itu, kata dia, hanya dengan menjadikan petani sebagai subjek pembangunan semangat dan kinerja di sektor ini bisa dinaikkan.
"Jika tidak, jangan berharap perubahan terjadi, apalagi yang tinggal adalah petani-petani renta," katanya.
Argoekologi
Ia mengemukakan bahwa pertanian tidak bisa dilepaskan dari aspek argoekologi.
"Tak ada yang membantah bahwa pertanian yang optimal adalah yang dikembangkan sesuai dengan agroekosistem setempat," katanya.
Dengan demikian, kata dia, tidak lagi bisa kebijakan pembangunan pertanian disederhanakan dan diseragamkan.
Menurut dia, pendekatan dengan mendayagunakan sumber daya lokal, kearifan tradisional dalam bingkai pertanian berkelanjutan dapat dilakukan supaya produksi bisa terus dilakukan.
Menyempitnya lahan pertanian akibat okupasi sektor tambang, perkebunan, pemukiman, dan infrastruktur-industri, katanya, juga perlu segera dihentikan.
"Penetapan lahan pertanian berkelanjutan bisa menjadi salah satu pilihan. Apalagi undang-undang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan dan turunannya ini telah disahkan," katanya.
Namun demikian, kata dia, upaya ini tidak cukup, dan diperlukan tindakan segera untuk menjalankan reformasi agraria untuk menjamin akses petani atas sumber-sumber agraria.
"Hanya dengan penguasaan sumber-sumber agraria yang memadai peningkatan produksi dapat dilakukan," katanya.
Pada akhirnya, kata dia, untuk menjamin tercapainya swasembada pangan tidak cukup dengan paradigma ketahanan pangan seperti yang diungkapkan presiden bahwa indonesia harus semakin mandiri dari sisi ketahanan pangan.
"Perlu perubahan cara pandang akan persoalan ini. Kedaulatan pangan semestinya dikedepankan pemerintah," katanya.
Dengan paradigma ini pada akhirnya persoalan pangan dapat diselesaikan tanpa harus tergantung pada pihak lain seperti sekarang ini.
Hingga saat ini, negeri ini masih terus dan semakin dalam berada dalam jerat politik pangan negara dan pihak lain.
Padahal, katanya, kedaulatan pangan sejatinya memberikan ruang bagi negara dan masyarakat menentukan kebijakan serta pilihan-pilihan pembangunan pertanian pangan secara berdaulat tanpa intervensi dari pihak lain.
"Dengan demikian ketahanan pangan, kemandirian pangan dapat diraih tanpa harus mengorbankan kedaulatan sebagai bangsa," demikian Said Abdullah.
(A035)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012