Pontianak (ANTARA Kalbar) - Pemerintah Kota Pontianak melakukan optimasi lahan untuk menanam kembali tanaman lidah buaya atau aloevera dengan luas 30 hektare tahun ini.
Kepala UPTD Agribisnis Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, Sri Mulyati di Pontianak, Jumat mengatakan, saat ini luas areal tanaman lidah buaya yang ada tercatat seluas 46,7 hektare.
Menurut dia, pada tahun 2005 dilakukan penanaman lidah buaya di areal seluas 100 hektare. Lokasi utama di Pontianak Utara. Kondisi tanah dan lingkungannya, tepat dan cocok untuk lidah buaya.
Wali Kota Pontianak (waktu itu) Buchary Abdurrahman bertekad menjadikan lidah buaya sebagai ikon Pontianak, bahkan Kalbar.
Namun, ungkap dia, pasar yang masih terbatas membuat petani ada yang beralih dari tanaman lidah buaya ke lainnya terutama sayur-sayuran.
"Sekitar tahun 2008. Dan itu karena pasar yang masih terbatas," ujar dia.
Pemasaran utama lidah buaya pada masa itu, melalui pengiriman antarpulau ke Jakarta atau Semarang. Sebagian ada pula yang diserap pabrik lokal yang mengolah minuman dari lidah buaya.
"Waktu itu, ongkos pengiriman ke Jakarta atau Semarang masih murah. Tetapi kemudian terus naik hingga akhirnya tidak mampu bersaing dengan daerah dan produk lain," paparnya.
Kini, lanjut dia, lambat laun permintaan terhadap produk dari lidah buaya terus meningkat.
"Lidah buaya sudah menjadi ikon, dan semakin banyak diminati baik lokal maupun luar daerah," ujar dia.
(T011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Kepala UPTD Agribisnis Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, Sri Mulyati di Pontianak, Jumat mengatakan, saat ini luas areal tanaman lidah buaya yang ada tercatat seluas 46,7 hektare.
Menurut dia, pada tahun 2005 dilakukan penanaman lidah buaya di areal seluas 100 hektare. Lokasi utama di Pontianak Utara. Kondisi tanah dan lingkungannya, tepat dan cocok untuk lidah buaya.
Wali Kota Pontianak (waktu itu) Buchary Abdurrahman bertekad menjadikan lidah buaya sebagai ikon Pontianak, bahkan Kalbar.
Namun, ungkap dia, pasar yang masih terbatas membuat petani ada yang beralih dari tanaman lidah buaya ke lainnya terutama sayur-sayuran.
"Sekitar tahun 2008. Dan itu karena pasar yang masih terbatas," ujar dia.
Pemasaran utama lidah buaya pada masa itu, melalui pengiriman antarpulau ke Jakarta atau Semarang. Sebagian ada pula yang diserap pabrik lokal yang mengolah minuman dari lidah buaya.
"Waktu itu, ongkos pengiriman ke Jakarta atau Semarang masih murah. Tetapi kemudian terus naik hingga akhirnya tidak mampu bersaing dengan daerah dan produk lain," paparnya.
Kini, lanjut dia, lambat laun permintaan terhadap produk dari lidah buaya terus meningkat.
"Lidah buaya sudah menjadi ikon, dan semakin banyak diminati baik lokal maupun luar daerah," ujar dia.
(T011)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012