Pontianak (ANTARA Kalbar) - Masyarakat Tionghoa sangat menjaga tradisi dan selalu berbakti kepada leluhur. Sebagai wujud tanda bakti kepada leluhur tersebut, maka dua kali dalam setahun, masyarakat Tionghoa Kalimantan Barat melaksanakan tradisi sembahyang kubur.
Sembahyang kubur pertama yang disebut Ching Ming, biasanya diadakan pada awal bulan April. Sementara sembahyang kubur kedua atau Cung Yuan (Shi Ku), diadakan dari tanggal 1 - 15 pada bulan ke tujuh Imlek, biasanya jatuh pada bulan Agustus.
Jika tiba waktu sembahyang kubur, mereka yang tinggal di lain tempat akan mudik ke Kalimantan Barat untuk memanfaatkan momen itu berziarah ke makam-makam orang tua dan leluhur.
Seperti yang dilakukan Herman (41) warga Jalan Tanjungpura, Kota Pontianak. Herman berziarah ke makam leluhurnya bersama sejumlah saudara dekat dan kakak kandungnya yang datang dari Jakarta, Ango (50).
Kuburan yang diziarahi berada di Kompleks Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Di sana terdapat kuburan kakek, nenek dan ibunya. Sementara kuburan ayahnya, belum diziarahi karena ayahnya belum tiga tahun wafat.
Herman datang ke kuburan leluhur, bersama tujuh keluarganya yang terdiri dari kakak kandung, saudara sepupu dan bibi.
Ia membawa bekal berupa kertas kim cua atau cau kim pu kui yang melambangkan kekayaan. Kertas yang mirip lembaran uang kertas itu lantas dibakar. Kemudian juga ada baju kertas dan sepatu kertas, lilin merah, dan hio atau setanggi. Kemudian buah apel, jeruk dan anggur, kue bingka, kue kuk, roti sri kaya, roti ebi, teh dan susu.
Semua makanan itu adalah kesukaan leluhurnya, Chin Hau Chiung yang meninggal saat usia 70-an tahun dan nenek Jong Nget Khiau saat berusia 75 tahun.
Herman menyiapkan biaya sembahyang kubur senilai Rp500 ribu dengan cara berpatungan bersama saudara-saudaranya. Ada yang menyumbang uang kertas dan ada yang menyumbang makanan seperti buah-buahan dan kue-kue.
Semua makanan itu, setelah disembahyangkan, dibawa pulang karena dianggap membawa berkah bagi keluarga.
"Sembahyang ini untuk menghormati leluhur. Untuk mengenang mereka karena sudah membesarkan dan memelihara kami," kata Herman meski mengaku tidak mengenal sosok kakek dan neneknya yang sudah meninggal sejak lama.
Selain di Pontianak dan Kubu Raya, suasana yang ramai saat sembahyang kubur juga dapat ditemui di Kota Singkawang. Misalnya di Yayasan pemakaman Sa Liung, Jl Sedau, jalan raya Singkawang - Pontianak, sekitar 145 kilometer dari Kota Pontianak.
Di pemakaman tersebut, dimakamkan pula kakek dan nenek, serta ayah dan ibu dari Tjhai Chui Mie, Ketua DPRD Kota Singkawang.
Karena itu, dalam dua kali pelaksanaan sembahyang kubur setiap tahunnya, keluarga besar Tjhai Chui Mie selalu berziarah ke makam tersebut.
Di kuburan, mereka membersihkan sampah dan rumput. Berada di dua kuburan sekitar empat jam dari pukul 05.00 hingga 09.00 WIB. Mereka juga menyiapkan sesajian yang terdiri dari buah-buahan, kue, lilin merah, dan sebotol air.
Doa dan pujian serta ucapan terima kasih kepada kakek-nenek dan ayah-ibu, tak dilupakan. "Sembahyang kubur tanda berbakti kepada leluhur, orang tua. Jangan sampai ketika hidup berbakti, tetapi setelah meninggal tak lagi berbakti," kata Tjhai Chui Mie.
Ini semacam pendidikan, agar mereka yang masih hidup selalu menghormati orang tua. Semasa hidup, apa saja yang diberikan orang tua dan tidak setiap orang diberi kesempatan untuk berbakti, begitu anggapan Tjhai Chui Mie.
"Dahulu orang tua bawa ke kuburan nenek dan kakek, walaupun kita tidak kenal mereka. Di sana diceritakan apa yang mereka buat untuk kita," katanya.
Sembahyang kubur sebenarnya juga dilaksanakan di tempat lainnya, semisal Kabupaten Sambas, Sintang, dan Sekadau. Namun tradisi itu tidak seramai di Kota Pontianak dan Singkawang serta Kabupaten Kubu Raya, karena banyak warga Tionghoa bermukim di tiga wilayah tersebut.
Menurut pengurus pemakaman Budi Agung, Liu Kim Kong, untuk sembahyang kubur itu, ada keluarga yang menyiapkan biaya sekitar Rp1 jutaan namun ada pula yang menyiapkan hingga sebesar Rp4 juta atau bahkan lebih besar lagi.
"Tergantung punya niat. Ada Rp4 juta ada yang hanya Rp100 ribu untuk modal beli kertas. Paling tidak untuk beli hio dan kertas. Harga kertas Rp40 ribu sampai 50 ribu satu pak, tergantung kualitasnya. Dan kertas itu didatangkan dari Sarawak dan Jakarta," katanya.
Ia mengatakan, biasanya peziarah sudah memadati pemakaman sejak pukul 05.00 WIB. Kemudian sembahyang selama 1-2 jam, setelah itu selesai. Alasannya sembahyang saat pagi hari karena untuk menghindari jalanan yang macet dan panas terik matahari. Namun ada juga yang berpendapat, sembahyang kubur dilakukan saat pagi hari karena menyesuaikan waktu atau kehidupan leluhur tersebut saat ini.
Barang-barang yang harus ada saat sembahyang kubur, yakni kertas untuk dibakar sebagai uangnya, ada dua jenis perak dan dolar. Dan yang paling bagus, kertas itu adalah uang dolar.
Mereka yang berziarah kini bukan hanya yang beragama Budha, Kong Hu Cu dan penganut Taoist, tetapi ada juga ada yang sudah menjadi Kristiani.
Bakar Wang Kang
Menurut XF Asali, seorang budayawan Tionghoa Kalbar, sembahyang kubur Cung Yuan pada tanggal 1 hingga 15 bulan tujuh tahun Imlek, dilakukan oleh sebagian besar warga Tionghoa penganut Budha, Taoisme, Kong hu Cu dan agama lainnya.
Dalam sejarahnya, pada masa kekuasaan Kaisar Lie Shi Min zaman Dinasti Tang, ada penasihat kaisar bernama Ui Chen yang menyiapkan segala yang diperlukan untuk sembahyang kuburan Shi Ku atau Yi Lan Shin Hui pada tanggal 15 bulan tujuh Imlek.
Tradisi itu berjalan dari masa ke masa sejak dinasti Tang tahun 618 - 907 Masehi hingga saat ini oleh Tionghoa penganut Budha, Kong Hu Cu dan Taoist. Namun sembahyang kuburan Shi Ku di daratan Tiongkok tanpa diadakan pembakaran wang kang seperti yang dilakukan warga Tionghoa di Kalbar..
Asali menyatakan dalam buku karyanya Aneka Budaya Tionghoa Kalbar, bahwa ia sempat bertanya kepada seorang tua warga Tionghoa di Kota Singkawang, Tjong Nam Chiu (90) mengenai sejarah wang kang di Kalbar. Menurut sinshe yang khusus mengatur pemakaman orang penganut kepercayaan Taoist itu, kapal kertas Jong Son yang dibakar pada tanggal 15 bulan tujuh Imlek, untuk mengangkut roh-roh yang tidak diurus keturunannya atau tidak ada turunan supaya bisa kembali ke tempat asal kelahirannya, karena tiap-tiap roh mesti ada asal usulnya.
Mereka yang harus melalui samudra untuk kembali ke tanah Tiongkok, maka diperlukan transportasi kapal Wang Kang atau Jong Son yang mengantarkannya.
Pada tahun ini, ritual pembakaran wang kang berlangsung pada Jumat, 31 Agustus atau hari terakhir sembahyang kubur. Acara itu diadakan di Kompleks Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Jl Adisucipto, Kubu Raya.
Sama halnya dengan pernyataan yang dikutip XF Asali, menurut Wakil Ketua Yayasan Bhakti Suci, Yap Lie Khiang, pembakaran wang kang yang terbuat dari bahan kertas dan kayu itu adalah untuk menerbangkan arwah leluhur ke nirwana.
Sejak dahulu, warga Tionghoa dikenal sangat menghormati para orang tua dan leluhur mereka. Sembahyang kubur hanyalah salah satu dari sekian banyak cara bagi warga Tonghoa untuk menghormati leluhur. Satu pelajaran berharga yang patut ditiru generasi bangsa.
(N005/B/Z003)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Sembahyang kubur pertama yang disebut Ching Ming, biasanya diadakan pada awal bulan April. Sementara sembahyang kubur kedua atau Cung Yuan (Shi Ku), diadakan dari tanggal 1 - 15 pada bulan ke tujuh Imlek, biasanya jatuh pada bulan Agustus.
Jika tiba waktu sembahyang kubur, mereka yang tinggal di lain tempat akan mudik ke Kalimantan Barat untuk memanfaatkan momen itu berziarah ke makam-makam orang tua dan leluhur.
Seperti yang dilakukan Herman (41) warga Jalan Tanjungpura, Kota Pontianak. Herman berziarah ke makam leluhurnya bersama sejumlah saudara dekat dan kakak kandungnya yang datang dari Jakarta, Ango (50).
Kuburan yang diziarahi berada di Kompleks Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Di sana terdapat kuburan kakek, nenek dan ibunya. Sementara kuburan ayahnya, belum diziarahi karena ayahnya belum tiga tahun wafat.
Herman datang ke kuburan leluhur, bersama tujuh keluarganya yang terdiri dari kakak kandung, saudara sepupu dan bibi.
Ia membawa bekal berupa kertas kim cua atau cau kim pu kui yang melambangkan kekayaan. Kertas yang mirip lembaran uang kertas itu lantas dibakar. Kemudian juga ada baju kertas dan sepatu kertas, lilin merah, dan hio atau setanggi. Kemudian buah apel, jeruk dan anggur, kue bingka, kue kuk, roti sri kaya, roti ebi, teh dan susu.
Semua makanan itu adalah kesukaan leluhurnya, Chin Hau Chiung yang meninggal saat usia 70-an tahun dan nenek Jong Nget Khiau saat berusia 75 tahun.
Herman menyiapkan biaya sembahyang kubur senilai Rp500 ribu dengan cara berpatungan bersama saudara-saudaranya. Ada yang menyumbang uang kertas dan ada yang menyumbang makanan seperti buah-buahan dan kue-kue.
Semua makanan itu, setelah disembahyangkan, dibawa pulang karena dianggap membawa berkah bagi keluarga.
"Sembahyang ini untuk menghormati leluhur. Untuk mengenang mereka karena sudah membesarkan dan memelihara kami," kata Herman meski mengaku tidak mengenal sosok kakek dan neneknya yang sudah meninggal sejak lama.
Selain di Pontianak dan Kubu Raya, suasana yang ramai saat sembahyang kubur juga dapat ditemui di Kota Singkawang. Misalnya di Yayasan pemakaman Sa Liung, Jl Sedau, jalan raya Singkawang - Pontianak, sekitar 145 kilometer dari Kota Pontianak.
Di pemakaman tersebut, dimakamkan pula kakek dan nenek, serta ayah dan ibu dari Tjhai Chui Mie, Ketua DPRD Kota Singkawang.
Karena itu, dalam dua kali pelaksanaan sembahyang kubur setiap tahunnya, keluarga besar Tjhai Chui Mie selalu berziarah ke makam tersebut.
Di kuburan, mereka membersihkan sampah dan rumput. Berada di dua kuburan sekitar empat jam dari pukul 05.00 hingga 09.00 WIB. Mereka juga menyiapkan sesajian yang terdiri dari buah-buahan, kue, lilin merah, dan sebotol air.
Doa dan pujian serta ucapan terima kasih kepada kakek-nenek dan ayah-ibu, tak dilupakan. "Sembahyang kubur tanda berbakti kepada leluhur, orang tua. Jangan sampai ketika hidup berbakti, tetapi setelah meninggal tak lagi berbakti," kata Tjhai Chui Mie.
Ini semacam pendidikan, agar mereka yang masih hidup selalu menghormati orang tua. Semasa hidup, apa saja yang diberikan orang tua dan tidak setiap orang diberi kesempatan untuk berbakti, begitu anggapan Tjhai Chui Mie.
"Dahulu orang tua bawa ke kuburan nenek dan kakek, walaupun kita tidak kenal mereka. Di sana diceritakan apa yang mereka buat untuk kita," katanya.
Sembahyang kubur sebenarnya juga dilaksanakan di tempat lainnya, semisal Kabupaten Sambas, Sintang, dan Sekadau. Namun tradisi itu tidak seramai di Kota Pontianak dan Singkawang serta Kabupaten Kubu Raya, karena banyak warga Tionghoa bermukim di tiga wilayah tersebut.
Menurut pengurus pemakaman Budi Agung, Liu Kim Kong, untuk sembahyang kubur itu, ada keluarga yang menyiapkan biaya sekitar Rp1 jutaan namun ada pula yang menyiapkan hingga sebesar Rp4 juta atau bahkan lebih besar lagi.
"Tergantung punya niat. Ada Rp4 juta ada yang hanya Rp100 ribu untuk modal beli kertas. Paling tidak untuk beli hio dan kertas. Harga kertas Rp40 ribu sampai 50 ribu satu pak, tergantung kualitasnya. Dan kertas itu didatangkan dari Sarawak dan Jakarta," katanya.
Ia mengatakan, biasanya peziarah sudah memadati pemakaman sejak pukul 05.00 WIB. Kemudian sembahyang selama 1-2 jam, setelah itu selesai. Alasannya sembahyang saat pagi hari karena untuk menghindari jalanan yang macet dan panas terik matahari. Namun ada juga yang berpendapat, sembahyang kubur dilakukan saat pagi hari karena menyesuaikan waktu atau kehidupan leluhur tersebut saat ini.
Barang-barang yang harus ada saat sembahyang kubur, yakni kertas untuk dibakar sebagai uangnya, ada dua jenis perak dan dolar. Dan yang paling bagus, kertas itu adalah uang dolar.
Mereka yang berziarah kini bukan hanya yang beragama Budha, Kong Hu Cu dan penganut Taoist, tetapi ada juga ada yang sudah menjadi Kristiani.
Bakar Wang Kang
Menurut XF Asali, seorang budayawan Tionghoa Kalbar, sembahyang kubur Cung Yuan pada tanggal 1 hingga 15 bulan tujuh tahun Imlek, dilakukan oleh sebagian besar warga Tionghoa penganut Budha, Taoisme, Kong hu Cu dan agama lainnya.
Dalam sejarahnya, pada masa kekuasaan Kaisar Lie Shi Min zaman Dinasti Tang, ada penasihat kaisar bernama Ui Chen yang menyiapkan segala yang diperlukan untuk sembahyang kuburan Shi Ku atau Yi Lan Shin Hui pada tanggal 15 bulan tujuh Imlek.
Tradisi itu berjalan dari masa ke masa sejak dinasti Tang tahun 618 - 907 Masehi hingga saat ini oleh Tionghoa penganut Budha, Kong Hu Cu dan Taoist. Namun sembahyang kuburan Shi Ku di daratan Tiongkok tanpa diadakan pembakaran wang kang seperti yang dilakukan warga Tionghoa di Kalbar..
Asali menyatakan dalam buku karyanya Aneka Budaya Tionghoa Kalbar, bahwa ia sempat bertanya kepada seorang tua warga Tionghoa di Kota Singkawang, Tjong Nam Chiu (90) mengenai sejarah wang kang di Kalbar. Menurut sinshe yang khusus mengatur pemakaman orang penganut kepercayaan Taoist itu, kapal kertas Jong Son yang dibakar pada tanggal 15 bulan tujuh Imlek, untuk mengangkut roh-roh yang tidak diurus keturunannya atau tidak ada turunan supaya bisa kembali ke tempat asal kelahirannya, karena tiap-tiap roh mesti ada asal usulnya.
Mereka yang harus melalui samudra untuk kembali ke tanah Tiongkok, maka diperlukan transportasi kapal Wang Kang atau Jong Son yang mengantarkannya.
Pada tahun ini, ritual pembakaran wang kang berlangsung pada Jumat, 31 Agustus atau hari terakhir sembahyang kubur. Acara itu diadakan di Kompleks Pemakaman Yayasan Bhakti Suci, Jl Adisucipto, Kubu Raya.
Sama halnya dengan pernyataan yang dikutip XF Asali, menurut Wakil Ketua Yayasan Bhakti Suci, Yap Lie Khiang, pembakaran wang kang yang terbuat dari bahan kertas dan kayu itu adalah untuk menerbangkan arwah leluhur ke nirwana.
Sejak dahulu, warga Tionghoa dikenal sangat menghormati para orang tua dan leluhur mereka. Sembahyang kubur hanyalah salah satu dari sekian banyak cara bagi warga Tonghoa untuk menghormati leluhur. Satu pelajaran berharga yang patut ditiru generasi bangsa.
(N005/B/Z003)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012