Jakarta (ANTARA Kalbar) - Penyair Taufik Ismail membacakan puisinya bertajuk "600.000 Jamaah Haji" yang bercerita tentang tukang sepatu di Damaskus, Suriah.

"Sosok bersahaja itu muncul dalam mimpi ulama terkenal Abdullah bin Mubarak, karena disebut malaikat mendapat pahala ibadah haji, meski tidak sempat menunaikan ritual haji," katanya pada seminar nasional yang digelar DPP PKS, Kamis, di Jakarta.

Dalam seminar yang mengusung tema "Strategi Penguatan Budaya Nasional melalui Jalur Politik dan Sosial Kemasyarakatan", ia mengurai lebih lanjut tentang tukang sepatu itu.

"Ternyata setelah diselidiki, tukang sepatu itu menginfakkan tabungan haji selama 20 tahun untuk menyelamatkan janda miskin yang kelaparan bersama anaknya. Haji wajib seumur hidup sekali, sedang berinfak bisa setiap hari, tanpa mengurangi bobotnya," kata Taufik Ismail.

Sementara itu, Tenaga Ahli Menteri Sosial, Drs Sapto Waluyo, MS.c, yang juga tampil sebagai narasumber memaparkan jalur sosial untuk penguatan budaya nasional.

Menurut dia, budaya hidup sederhana dan tolong-menolong itulah yang hari-hari ini semakin menghilang.

"Sejak awal pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu II, Mensos Salim Segaf Al Jufri menegaskan fondasi pembangunan sosial yang dibangun adalah jati diri bangsa, yakni gotong royong dan kesetiakawanan," katanya.

"Di atas fondasi nilai itu didirikan SDM yang handal dalam melaksanakan tugas utama, seperti rehabilitasi, pemberdayaan, perlindungan dan jaminan sosial, serta penanggulangan kemiskinan," tambah alumni Hubungan Internasional Fisip Universitas Airlangga itu.

Ia menegaskan, tanpa fondasi nilai/budaya yang kokoh, maka kesejahtaraan dan ketahanan sosial tidak akan terwujud.

Sapto menyepakati perlunya kejelasan politik kebudayaan sebelum menyusun strategi.

"Kita sering mendengar pepatah Jawa soal godaan 3-'ta' (harta, tahta dan wanita). Padahal, dalam budaya Jawa ada 'ta' keempat, yaitu 'waskita', yang mampu mengendalikan segala godaan dan tantangan. Hal itu jarang diuraikan," katanya.

Begitu pula, kata dia, penyakit sosial "Mo-limo" (maen, minum, madat, madon, maling) sesungguhnya bisa dihadapi dengan "Mo" keenam, yakni mawas diri.

Untuk itu, kata dia, reinterpretasi budaya lokal memang harus dilakukan agar memperkuat budaya nasional yang maju, berdaya saing tinggi dan relevan dengan tuntutan zaman.
    
(A035)

Pewarta:

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012