Pontianak (ANTARA Kalbar) - Masyarakat Adat Dayak Uud Danum yang bermukim di sepanjang aliran sungai di tiga kabupaten, yakni Melawi, Sintang dan Kapuas Hulu meminta atau mendesak pemerintah agar kawasan cagar budaya yang dianggapnya sakral tidak tergerus oleh pengembangan kebun sawit.

"Kami minta pembangunan ekonomi agar memperhatikan dan mempertimbangkan aspek keragaman budaya masyarakat yang ada, termasuk Suku Dayak Uud Danum, serta pelestarian kekayaan keragaman hayati yang ada," kata Ketua Pakuyuban Uud Danum Kalimantan Barat, Rafael Samsudin saat menyampaikan rekomendasi pada Tim Perumus seminar Mengungkap Peradaban Suku Dayak Uud Danum Melalui Situs dan Budayanya di Pontianak, Senin.

Rafael meminta, pemerintah mengakui dan mengakomodasi kearifan, kecerdasan masyarakat Uud Danum dalam mengelola sumber daya hutan yang sudah terbukti bisa mengimbangi antara upaya pemanfaatan dan pelestarian, misalnya hutan adat.

Penetapan kawasan cagar budaya dimaksud agar diperkuat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) atau ketentuan pemerintah yang lebih tinggi, seperti penetapan kawasan cagar budaya, di pehuluan Sungai Sakai dan Nohkan Lonanyan di pehuluan Sungai Jengonoi, karena selama ini dikenal sebagai situs pemukiman dan pemujaan bagi masyarakat Suku Dayak Uud Danum, katanya.

Selain itu, meminta kepada Pemerintah Provinsi Kalbar dan Pemerintah Kabupaten Sintang, menetapkan rumah panjang tempat kelahiran Mayor Muhammmad Alianyang di Desa Menantak, ditetapkan menjadi Cagar Budaya.

Mayor Muhammad Alianyang, pejuang kemerdekaan dari Kalbar yang telah dianugerahi bintang Mahaputera Nararaya oleh Presiden Republik Indonesia tahun 1999, kata Rafael.

"Kami juga minta pemerintah untuk memfasilitasi penelitian lebih lanjut terhadap situs peninggalan Suku Dayak Uud Danum di puncak Puruk Mokorajak di Desa Romukhoi, Kecamatan Serabai, serta indikasi keberadaan suku terasing di sejumlah tempat di areal Puruk Mokorajak," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua Pakuyuban Uu Danum Kalbar, mendesak aparat kepolisian untuk menangkap dan memproses hukum pelaku perburuan burung enggan, karena burung itu disakralkan oleh masyarakat Suku Dayak Uud Danum sebagai dewa.

Sementara itu, Peneliti Antropolog Prof Dr Syamsuni Arman menyatakan, Suku Dayak Uud Danum sebelumnya bermukim di lereng Bukit Raya, seiring perkembangan zaman, kini mereka bermukim menyebar mengikuti aliran sungai.

Setelah musyawarah damai Tumbang Anoi tahun 1894 di betang Damang Bhatuk, Uud Danum yang masih tinggal di Bukit Raya akhirnya meninggalkan pemukiman mereka untuk selama-lamanya, yang kini meninggalkan saksi bisu situs-situs yang tersebar dimana-mana.

"Tradisi Uud Danum meyakini burung enggang sebagai utusan dewa-dewa dari kayangan untuk membantu manusia di bumi," ujarnya.

(A057)

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012