Jakarta (Antara Kalbar) - Salah seorang wakil dari Komunitas Syiah Sampang, Madura, Jawa Timur, Iklil, hanya berucap singkat, "Tegakkan konstitusi, pulihkan hak kami," katanya dalam pertemuan rekonsiliasi di Rektorat IAIN Sunan Ampel Surabaya, Selasa (23/7) malam.

Iklil merupakan warga Syiah Sampang yang sejak tanggal 20 Juni 2013 telah dipaksa untuk menempati pengungsian di Rusunawa Puspa Agro, Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur.

Sejumlah LSM seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) memandang perlu segera mewujudkan perlindungan dan pemulihan ratusan warga Syiah Sampang yang hingga kini masih berada di penampungan.

Menurut pernyataan pers Kontras, saat ini di pengungsian tersebut terdapat 64 kepala keluarga (KK) yang terdiri atas 224 jiwa yang ditampung di rumah susun; 20 balita, 103 anak-anak usia sekolah, 90 orang usia dewasa, dan 9 orang lansia di atas 60 tahun.  

Untuk itu, LSM tersebut mendesak agar pemerintah selalu menyediakan beberapa kebutuhan pokok yang diperlukan bagi mereka, seperti makanan dengan nutrisi yang sesuai dengan kelompok umur, pendidikan yang layak, serta kebutuhan khusus bagi kelompok rentan (lansia, perempuan, dan anak).

Kontras juga mendesak pemerintah berdialog dengan perwakilan warga Syiah Sampang dalam menetapkan tata kelola pengungsian yang menjamin dan menghormati hak-hak dasar mereka.

Kasus pengusiran warga Syiah yang tinggal di Madura telah menarik perhatian beragam pihak, termasuk Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Kiai Haji Said Aqil Sirodj.

"Ini kasus memalukan, NKRI menjadi tercoreng. Pemerintah tidak berwibawa menghadapi kasus ini," katanya saat ditemui di pembukaan Jambore Nasional "Perkemahan Wirakarya Maarif NU Nasional (Perwimanas)" di bumi perkemahan Ponpes Babussalam, Kalibening, Mojoagung, Jombang, Jawa Timur, Senin (24/6).

Ia menyesalkan pengusiran warga Syiah dari tempat mereka tinggal selama ini. Mereka sudah meninggalkan rumah dan ditampung di tempat penampungan, tetapi hanya karena pengaruh dari oknum-oknum tertentu, mereka diusir dari tempat itu.

Pemerintah sendiri telah memprioritaskan upaya rekonsiliasi untuk menyelesaikan konflik antara kelompok masyarakat Syiah dengan masyarakat setempat di Sampang Madura.

"Proses ketiga yang dikerjakan adalah rekonsiliasi. Mempertemukan kelompok yang bersengketa. Ini sedang berjalan," kata Menko Polhukam Djoko Suyanto dalam keterangan pers usai rapat kabinet terbatas bidang polhukam di Kantor Presiden Jakarta, Senin (15/7) sore.

Menko Polhukam mengatakan pemerintah Provinsi Jawa Timur menunjuk Rektor IAIN Sunan Ampel Abd A'la sebagai ketua tim untuk proses rekonsialiasi.

Dalam pertemuan rekonsiliasi di IAIN Sunan Ampel Surabaya, para ulama yang tergabung dalam Badan Silaturrahmi Ulama se-Madura (Bassra) dari empat kabupaten mendukung rencana pemerintah untuk melakukan pengembalian pengungsi komunitas Syiah di Jemundo, Sidoarjo, ke kampung halamannya di Sampang.

"Kami mendukung rencana pemerintah untuk mengembalikan mereka ke Sampang, tapi syaratnya harus sesuai hukum yang ada. Kami bukan tidak menghargai kebebasan keyakinan, karena kebebasan keyakinan itu berbeda dengan penodaan agama," kata perwakilan ulama Bassra Sampang KH Jakfar Shodiq.

Sementara peserta pertemuan dari Ahlul Bait Indonesia (ABI) Jatim, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jatim, dan PWNU Jatim juga mendukung rencana rekonsiliasi itu.

"Kami siap mendukung rekonsiliasi dengan dialog dan silaturahim, jangan sampai ada paksaan. Kalau paksaan itu tidak akan melahirkan perubahan, tapi ubah dengan pencerahan," kata Zahid dari ABI Jatim.

Dalam pertemuan tersebut, sejumlah instansi pemerintah seperti Kementerian Perumahan Rakyat juga berencana akan membangun infrastruktur desa untuk pengungsi Komunitas Syiah Sampang agar dapat kembali dari tempat pengungsian ke kampung halaman semula.

Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz menyatakan pelaksanaannya menunggu "lampu hijau" dari para ulama setempat.

"Kami sudah menyiapkan program infrastruktur saat mereka yang di pengungsian kembali ke Sampang, tapi kami menunggu para ulama," kata Djan Faridz.

Menurut dia, bila para ulama dan Gubernur Jawa Timur sudah menyatakan jalan maka proyek tersebut baru bisa dijalankan.

Menpera juga mengemukakan bahwa selain untuk pengungsi, Tim Kemenpera juga sudah  menurunkan tim verifikasi untuk mengecek rumah-rumah tak layak, program infrastruktur yang kami rencanakan adalah pembenahan rumah di dua desa yang dilanda konflik.

"Nanti pembenahan rumah ditingkatkan hingga dua kecamatan di desa-desa itu, bahkan kami juga akan mengembangkan ke pesantren," katanya.

    
                     Diskriminasi
Sejumlah pihak menyatakan bahwa kasus pengusiran yang menimpa kaum Syiah di Sampang, Madura, merupakan bentuk kasus diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas.

Untuk itu, akademisi seperti Direktur Eksekutif Maarif Institute Fajar Riza Ul Haq dalam acara diskusi di Jakarta, Jumat (26/7) juga mengkritik parpol dan organisasi keagamaan yang tidak nampak perannya ketika kelompok-kelompok minoritas di Indonesia mendapati tindak kekerasan.

Selain itu, Fajar menyoroti geliat politik Islam di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir yang memicu keprihatinan bagi perkembangan politik Islam di masa depan.

Ia mengatakan terdapat praktik politik "kumuh" yang tidak hanya dipraktikkan para politisi pada umumnya tapi juga telah menjamur di kalangan politisi yang mengusung isu dakwah dalam pencitraannya.

Pada saat yang sama, publik gagal untuk memahami perilaku mereka dalam menjunjung nilai-nilai universal Islam tentang keadilan, keberpihakkan terhadap kelompok tertindas, kesejahteraan rakyat, toleransi dan antidiskriminasi.

Ia juga menyayangkan terdapatnya sejumlah konflik antara organisasi keagamaan yang jarang bersuara menyuarakan keberpihakan terhadap kelompok minoritas yang tertindas dengan sejumlah organisasi keagamaan moderat lainnya.

Organisasi-organisasi keagamaan yang moderat di Indonesia adalah seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

"Konflik itu terjadi di berbagi tingkatan baik elit ataupun akar rumput seperti perebutan masjid, aset organisasi serta pelabelan kelompok tertentu sebagai liberal dan sesat," katanya.

Sebelumnya, salah satu kelompok yang telah dinilai sesat adalah Ahmadiyah di mana pada 26 November 2010, ratusan warga menyerang dan merusakkan rumah warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, NTB, yang sudah ditinggal pemiliknya karena mengungsi.

Bahkan, aksi perusakan rumah warga Ahmadiyah oleh seratusan warga dari Dusun Ketapang, Desa Gegerung itu bukan hanya melibatkan kaum laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak. Warga melempari baru hingga memecahkan kaca jendela, genteng rumah, dan sebagian warga menghancurkan tembok menggunakan linggis.

Sedangkan dalam pertemuan koordinasi di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (11/7), keempat komisi nasional yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Perlindungan Anak, Ombudsman Republik Indonesia, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengungkapkan adanya keluhan secara tertulis dari warga Ahmadiyah bahwa mereka tidak mendapat bantuan/jaminan sosial akibat tidak memiliki e-KTP.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi NTB Muhammad Nur mengingatkan pentingnya pelayanan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP untuk warga Ahmadiyah di wilayah NTB.

"Memang warga Ahmadiyah juga berhak atas e-KTP, dan itu kewajiban negara untuk memberikannya, agar dari KTP itu bisa mendapatkan pelayanan sosial lainnya," kata Nur ketika berdialog dengan perwakilan empat komisi nasional tersebut.

Nur mengatakan, kepemilikan e-KTP di kalangan pengikut Ahmadiyah sudah diatur dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 471.13/5266/SJ tertanggal 30 Januari 2011, perihal dispensasi pelayanan penerbitan KTP elektronik secara massal.  

Berbagai kasus diskriminasi dan tindak kekerasan di negeri ini akibatnya kurangnya pemahaman bertoleransi memang telah membuat banyak pihak mengurut dada.

Karena itu, selayaknya kita bertanya apakah kasus diskriminasi, kekerasan dan pemaksaan itu selaras dengan Pancasila yang dijunjung di Bumi Indonesia ini? Masing-masing dari kita tentu telah memiliki jawabannya sesuai nurani.

Pewarta: Muhammad Razi Rahman

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013