Jakarta (Antara Kalbar) - Badan pemeriksa Keuangan mengaku menemukan kejanggalan berupa pembiayaan yang tidak seharusnya ditanggung oleh negara sebesar 221 juta dolar AS dalam laporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
"Kami selama ini sudah melakukan pemeriksaan mengenai kinerja SKK Migas, terutama dalam pengendalian 'cost recovery'. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir, BPK menemukan sekitar 221 juta dolar AS biaya-biaya yang semestinya tidak bisa dibebankan sebaga 'cost recovery'," kata Wakil Ketua BPK Hasan Bisri di Jakarta, Sabtu.
Pernyataan tersebut dia sampaikan saat ditemui usai upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-68 Republik Indonesia di halaman Kantor BPK Pusat, Jalan Gatot Subroto Jakarta.
Menurut Hasan, hal yang menjadi masalah adalah pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak mengakui kejanggalan itu dengan menentang bahwa "cost recovery" (pemulihan biaya, red.) tidak terkait dengan keuangan negara.
"Ini yang menurut saya keliru karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur dengan tegas bahwa 'cost recovery' itu adalah bagian dari keuangan negara," ujarnya.
Oleh karena itu, dia meminta kepada para kontraktor migas untuk tidak "mencoba-coba" memasukkan biaya-biaya yang secara jelas sudah diatur untuk tidak boleh dilibatkan dalam pengeluaran negara, sesuai dengan perjanjian kontrak dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
"BPK tentu tahu bahwa kontrak kerja sama dengan kontraktor migas itu sifatnya perdata. Namun, karena ini menyangkut hak negara, manakala kontraktor mencoba memasukkan biaya yang jelas-jelas tidak boleh dimasukkan atau dibebankan kepada negara, ini bisa masuk ranah hukum pidana," tegasnya.
Pada kesempatan itu, Hasan juga mengatakan bahwa BPK sudah sering kali menyampaikan bahwa biaya operasional SKK Migas seharusnya masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Selama ini, biaya operasional SKK Migas tidak masuk APBN, padahal itu lembaga negara yang dibentuk oleh Pemerintah untuk mengawasi kinerja kontraktor migas," tuturnya.
"Bagaimana mungkin suatu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah dengan undang-undang dibiayai di luar APBN? Ini tentu tidak boleh," lanjutnya.
Hal itu, kata dia, bertentangan dengan UU Keuangan Negara yang dengan jelas menyatakan seluruh pendapatan yang menjadi hak negara dan seluruh biaya yang menjadi beban negara harus masuk dalam APBN.
"Peraturan itu sudah 'clear' (jelas, red.) berdasarkan undang-undang dan itu bukan maunya BPK," kata Hasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
"Kami selama ini sudah melakukan pemeriksaan mengenai kinerja SKK Migas, terutama dalam pengendalian 'cost recovery'. Paling tidak dalam tiga tahun terakhir, BPK menemukan sekitar 221 juta dolar AS biaya-biaya yang semestinya tidak bisa dibebankan sebaga 'cost recovery'," kata Wakil Ketua BPK Hasan Bisri di Jakarta, Sabtu.
Pernyataan tersebut dia sampaikan saat ditemui usai upacara Peringatan Hari Ulang Tahun Ke-68 Republik Indonesia di halaman Kantor BPK Pusat, Jalan Gatot Subroto Jakarta.
Menurut Hasan, hal yang menjadi masalah adalah pihak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak mengakui kejanggalan itu dengan menentang bahwa "cost recovery" (pemulihan biaya, red.) tidak terkait dengan keuangan negara.
"Ini yang menurut saya keliru karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara yang mengatur dengan tegas bahwa 'cost recovery' itu adalah bagian dari keuangan negara," ujarnya.
Oleh karena itu, dia meminta kepada para kontraktor migas untuk tidak "mencoba-coba" memasukkan biaya-biaya yang secara jelas sudah diatur untuk tidak boleh dilibatkan dalam pengeluaran negara, sesuai dengan perjanjian kontrak dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
"BPK tentu tahu bahwa kontrak kerja sama dengan kontraktor migas itu sifatnya perdata. Namun, karena ini menyangkut hak negara, manakala kontraktor mencoba memasukkan biaya yang jelas-jelas tidak boleh dimasukkan atau dibebankan kepada negara, ini bisa masuk ranah hukum pidana," tegasnya.
Pada kesempatan itu, Hasan juga mengatakan bahwa BPK sudah sering kali menyampaikan bahwa biaya operasional SKK Migas seharusnya masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Selama ini, biaya operasional SKK Migas tidak masuk APBN, padahal itu lembaga negara yang dibentuk oleh Pemerintah untuk mengawasi kinerja kontraktor migas," tuturnya.
"Bagaimana mungkin suatu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah dengan undang-undang dibiayai di luar APBN? Ini tentu tidak boleh," lanjutnya.
Hal itu, kata dia, bertentangan dengan UU Keuangan Negara yang dengan jelas menyatakan seluruh pendapatan yang menjadi hak negara dan seluruh biaya yang menjadi beban negara harus masuk dalam APBN.
"Peraturan itu sudah 'clear' (jelas, red.) berdasarkan undang-undang dan itu bukan maunya BPK," kata Hasan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013