New York (Antara Kalbar) - Ujicoba pertama pada manusia untuk vaksin flu burung menggunakan teknologi baru yang memungkinkan produksi jutaan dosis dengan sangat cepat, menunjukkan produksi antibodi yang protektif pada sebagian besar penerima.

Hasil-hasil menggembirakan pada ujicoba awal ini diumumkan untuk vaksin-vaksin yang terpisah dari produsen obat Swiss Novartis and Novavax, perusahaan bioteknologi yang berpusat di Rockville, Maryland.

Rincian mengenai vaksin Novavax ini dipublikasikan dalam talian di New England Journal of Medicine, Rabu, sementara Novartis mengungkapkan hasil positifnya pada Kamis.

"Hasil ini masih sangat awal, namun untuk pertama kalinya kita mungkin memiliki vaksin yang akan bekerja melawan wabah flu burung," kata Robin Robinson, direktur Otoritas Riset dan Pengembangan Biomedis Lanjutan atau BARDA, badan federal yang bertanggung jawab atas pengembangan penanganan masalah darurat dalam kesehatan masyarakat.

Karena calon vaksin anti flu burung lain telah gagal, "hasil ini menjadi loncatan penting", katanya. "Kita memiliki vaksin yang menjanjikan setelah sebelumnya kita tidak mempunyai apapun."

Virus flu burung galur H7N9 muncul di China pada musim dingin lalu.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), dari 137 kasus positif H7N9 hingga Oktober tahun ini, sebanyak 45 diantaranya meninggal dunia.

Kasus-kasus infeksi dan kematian yang muncul, seringkali diakibatkan oleh pneumonia akut, keduanya mencapai puncaknya pada Maret dan April.

Namun pakar kesehatan masyarakat khawatir virus tersebut akan meledak kembali pada musim flu sekarang ini. Setelah tidak ada lagi laporan kasus H7N9 di China dalam bulan Agustus dan September, ada lagi empat kasus sejak Oktober.

Angka kematian sebanyak sepertiga dari kasus menunjukkan bahwa virus tersebut sangat mematikan.

WHO mengatakan saat ini tidak ada indikasi bahwa virus bisa ditularkan antarmanusia sehingga tidak bisa menjadi pandemi. Namun virus flu mampu mengalami perubahan genetik dengan cepat sehingga bisa menular antarmanusia.

Dalam ujicoba klinis Novartis, 400 sukarelawan dewasa yang sehat menerima dua dosis injeksi pengimbang (placebo) atau formulasi berbeda dari vaksin percobaan - baik dengan atau tanpa pendukung tambahan, senyawa kimia yang dengan cepat memicu sistem imun.

Sukarelawan yang mendapat vaksin pendukung tambahan, 85 persennya memberikan respon imun yang protektif sedangkan yang hanya mendapat vaksin tanpa pendukung tambahan hanya enam persen yang memberikan respon imun itu.

Riset Novavax melibatkan 284 sukarelawan yang juga menerima formula vaksin dengan atau tanpa tambahan.

Di dalam inti vaksin terdapat dua protein yang diberi nama H7 dan N9, yang diambil dari virus. Vaksin Novavax memicu produksi antibodi melawan protein "H" dalam 81 persen sukarelawan yang menerima vaksin dengan tambahan dosis tinggi, serta antibodi melawan protein "N" pada lebih dari 90 persen sukarelawan.

Antibodi merupakan molekul yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyebab penyakit yang masuk ke dalam tubuh.

Studi tersebut tidak mengekspos para sukarelawan karena hal itu dinilai tidak etis, untuk melihat apakah tingkat antibodi tersebut bisa menangkal infeksi. "Namun tingkat antibodi ini tampaknya bisa melindungi," kata Dr Louis Fries, wakil presiden Novavax untuk urusan medis dan klinis yang memimpin riset Novavax.

Andrin Oswald, kepala Novartis Vaccines mengatakan ia yakin vaksin Novartis bisa memberikan solusi perlindungan untuk virus pandemi yang berpotensi mematikan.

Tidak kalah penting dari keampuhan vaksin adalah kecepatan produksi vaksin itu, berkat dihilangkannya langkah penggunaan telur ayam seperti dalam produksi vaksin flu lain.

Produksi cepat penting karena galur flu pandemik sanggup muncul dengan tanda-tanda minim. Kemunculan wabah flu baru seringkali diikuti dengan wabah yang lebih akut dan meluas pada musim berikutnya.

Novartis menjadi pelopor pembuatan kultur sel berskala penuh, sebuah alternatif untuk teknologi vaksin flu berbasis telur yang bisa mempercepat produksi secara signifikan.

Novavax menggunakan proses yang mengambil rantai genetik virus serta memproduksi apa yang disebut "vaksin partikel mirip virus".

Partikel mirip virus atau VLPs mengandung tiga protein yang memicu produksi antibodi dan respon kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein H dan N memacu produksi antibodi yang mencegah perbanyakan virus dan menginfeksi sel-sel tubuh, sementara protein ketiga menstimulasi sel pembunuh T untuk mematikan setiap sel yang terinfeksi.

Dengan menggunakan teknik Novavax itu, kata kepala BARDA Robinson, model komputer menunjukkan bahwa produsen bisa memproduksi dosis pertama vaksin H7N9 dalam 12 minggu kemunculan pandemi, 50 juta dosis dalam empat bulan, dan ratusan juta dosis dalam enam bulan.

Novavax memegang kontrak selama tiga tahun senilai 97 juta dolar AS dengan BARDA untuk mengembangkan vaksin rekombinan influenza serta memproduksi vaksin yang cukup untuk menghadapi pandemi. Perusahaan tersebut berencana melakukan ujicoba kedua vaksin VLP pada awal 2014 untuk mematok dosis efektif minimum, kata Fries.

Novartis juga menerima dana dari BARDA untuk riset-risetnya.

Calon vaksin H7N9 lain masih dikembangkan, kata Robinson, dan hasilnya diperkirakan keluar dalam empat hingga enam bulan. Jika vaksin-vaksin itu juga bisa bekerja, otoritas kesehatan masyarakat di seluruh dunia memiliki pilihan untuk memperbanyak vaksin jika terjadi pandemi flu burung, demikian Reuters.
(S022)

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013