Bogor (Antara Kalbar) - Mantan Kepala Staf TNI-AD Jenderal (Pur) Pramono Edhi Wibowo mengemukakan bahwa penamaan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) adalah urusan dalam negeri Indonesia sepenuhnya.
"Justru menjadi aneh jika kemudian nama KRI itu diabadikan dengan nama tokoh atau pahlawan negara lain," katanya di Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Menjawab pertanyaan wartawan dalam kunjungannya ke koran "Jurnal Bogor", usai dalam kapasitas dirinya sebagai salah satu peserta Konvensi Calon Presiden (Capres) Partai Demokrat bertemu kader partai itu, ia menegaskan bahwa jika itu jelas-jelas urusan dalam negeri sebuah negara, hendaknya negara lain bisa menghormatinya.
Pramono Edhi Wibowo, dalam diskusi yang dipandu moderator Ketua Tim Media Center Dr Rajab Ritonga, ditanya seputar keberatan Singapura kepada Indonesia atas pemberian nama KRI Usman Harun.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Singapura K Shanmugam menyampaikan keberatan kepada Menlu Indonesia Marty Natalegawa terkait pemberian nama KRI Usman Harun yang baru diluncurkan oleh TNI Angkatan Laut.
Shanmugam seperti dikutip dari Channel News Asia, mengatakan penamaan itu akan melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban dalam peristiwa pengeboman MacDonald House di Orchard Road, Singapura pada tahun 1965.
Usman Harun diambil dari nama dua anggota KKO (Komando Korps Operasi, sekarang Marinir TNI-AL), Usman dan Harun Said yang mengebom MacDonald House di Orchrad Road yang menewaskan tiga orang pada masa konfrontasi dengan Malaysia tahun 1965.
Keduanya dieksekusi di Singapura pada 17 Oktober 1968. Namun, tiba di Tanah Air, keduanya dielu-elukan sebagai pahlawan dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta
Menurut Pramono Edhi, yang mesti dipahami dalam konteks tersebut adalah peristiwa pada masa itu adalah situasi perang.
"Di negara mana pun, dalam sejarah yang sifatnya perang, hanya ada dua, yakni pahlawan dan pecundang," katanya.
Ia juga sepakat bahwa hal itu sudah selesai, terlebih Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pada tahun 1973 sudah menabur bunga ke makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta.
Menko Polhukam Djoko Suyanto sendiri menegaskan penghormatan kepada pahlawan yang diabadikan di KRI tidak boleh ada intervensi dari negara lain.
"Tentu pertimbangan tersebut dinilai sesuai dengan bobot pengabdian dan pengorbanan mereka-mereka yang 'deserve' untuk mendapatkan kehormatan dan gelar itu," katanya.
Bahwa ada persepsi yang berbeda terhadap kebijakan Pemerintah RI oleh negara lain, lanjut dia, tidak boleh menjadikan Indonesia surut dan gamang untuk tetap melanjutkan kebijakan itu dan memberlakukannya.
Dirinya juga telah menjelaskan kepada Wakil PM Singapura Theo Chee Hean tentang posisi dan argumentasi tersebut, sehingga seharusnya sudah tidak ada permasalahan lagi terkait isu dimaksud.
(R. Chaidir)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Justru menjadi aneh jika kemudian nama KRI itu diabadikan dengan nama tokoh atau pahlawan negara lain," katanya di Bogor, Jawa Barat, Sabtu.
Menjawab pertanyaan wartawan dalam kunjungannya ke koran "Jurnal Bogor", usai dalam kapasitas dirinya sebagai salah satu peserta Konvensi Calon Presiden (Capres) Partai Demokrat bertemu kader partai itu, ia menegaskan bahwa jika itu jelas-jelas urusan dalam negeri sebuah negara, hendaknya negara lain bisa menghormatinya.
Pramono Edhi Wibowo, dalam diskusi yang dipandu moderator Ketua Tim Media Center Dr Rajab Ritonga, ditanya seputar keberatan Singapura kepada Indonesia atas pemberian nama KRI Usman Harun.
Sebelumnya Menteri Luar Negeri Singapura K Shanmugam menyampaikan keberatan kepada Menlu Indonesia Marty Natalegawa terkait pemberian nama KRI Usman Harun yang baru diluncurkan oleh TNI Angkatan Laut.
Shanmugam seperti dikutip dari Channel News Asia, mengatakan penamaan itu akan melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban dalam peristiwa pengeboman MacDonald House di Orchard Road, Singapura pada tahun 1965.
Usman Harun diambil dari nama dua anggota KKO (Komando Korps Operasi, sekarang Marinir TNI-AL), Usman dan Harun Said yang mengebom MacDonald House di Orchrad Road yang menewaskan tiga orang pada masa konfrontasi dengan Malaysia tahun 1965.
Keduanya dieksekusi di Singapura pada 17 Oktober 1968. Namun, tiba di Tanah Air, keduanya dielu-elukan sebagai pahlawan dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta
Menurut Pramono Edhi, yang mesti dipahami dalam konteks tersebut adalah peristiwa pada masa itu adalah situasi perang.
"Di negara mana pun, dalam sejarah yang sifatnya perang, hanya ada dua, yakni pahlawan dan pecundang," katanya.
Ia juga sepakat bahwa hal itu sudah selesai, terlebih Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew pada tahun 1973 sudah menabur bunga ke makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta.
Menko Polhukam Djoko Suyanto sendiri menegaskan penghormatan kepada pahlawan yang diabadikan di KRI tidak boleh ada intervensi dari negara lain.
"Tentu pertimbangan tersebut dinilai sesuai dengan bobot pengabdian dan pengorbanan mereka-mereka yang 'deserve' untuk mendapatkan kehormatan dan gelar itu," katanya.
Bahwa ada persepsi yang berbeda terhadap kebijakan Pemerintah RI oleh negara lain, lanjut dia, tidak boleh menjadikan Indonesia surut dan gamang untuk tetap melanjutkan kebijakan itu dan memberlakukannya.
Dirinya juga telah menjelaskan kepada Wakil PM Singapura Theo Chee Hean tentang posisi dan argumentasi tersebut, sehingga seharusnya sudah tidak ada permasalahan lagi terkait isu dimaksud.
(R. Chaidir)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014