Ngabang (Antara Kalbar) - Warga penoreh karet bingung untuk mencari kerja tambahan, karena saat ini dengan hanya mengandalkan menoreh karet tidak mungkin mencukupi kebutuhan keluarga sejak harga karet anjlok.

"Kalau kerja noreh mana cukup untuk makan. Harga karet murah, jadi mau kerja sampingan lain. Cuma kerja apa, mau kerja tambang emas takut kena razia. Karena pemerintah tahun ini mau nertibkan lagi tambang emas," tutur Jaidi seorang warga Desa Kayuara Kecamatan Mandor, kepada Antara, Minggu (18/5).

Menurut Jaidi, harga karet anjlok dari belasan ribu sekarang hanya Rp.3.000 sampai Rp.6.000 per kilogramnya. Sehingga masyarakat kampung sangat malas menoreh karet karena tidak sesuai harga barang.

"Nah, masyarakat bingung mau kerja apalagi. Sementara noreh karet memang sudah menjadi andalan sejak turun temurun. Memang soal harga karet sering tidak normal. Kalau naik harga sedikit-sedikit, tapi kalau turun langsung anjlok," ungkap Jaidi.

Jaidi mengungkapkan, karet produk yang dia buat hanya dihargai oleh tengkulak Rp.6000 saja. Padahal dirinya membuat dengan kualitas baik. Artinya, air getah (karet) dicetak dan tidak ada dicampur isinya. "Ada karet kampung sebelah saya dengar harga dihargai Rp.3000 saja. Karena, banyak campuran," ujar Jaidi.

Ia menungkapkan, akibat murahnya harga karet, membuat para penampung atau tengkulak karet tutup. Alasanya tetap merugi sehingga mencari bisnis lain, karena karet sudah tidak bisa dihandalkan lagi.

"Para agen atau penampung saja banyak yang tutup. Karena, memang karet tidak ada harganya. Kami berharap pemerintah dapat bertindak, khususnya calon presiden mendatang bisa memperhatikan masalah harga karet. Karena karet persoalan dunia," ungkap Jaidi.

Sementara itu, Soladin Agen besar Karet Desa Salatiga Kecamatan Mandor meminta kepada pemerintah, mulai bupati, gubernur dan presiden jangan diam. Karena kondisi masyarakat sudah mendesak akibat karet murah.

"Rakyat siap buat kualitas karet yang bagus. Tapi harga karet tolong dibaguskan. Kemana lagi masyarakat harus mengadu kalau bukan dengan pemerintah daerah," ujar Pak Wulan panggilan akrab Soladin.

Ia menegaskan, jika memang karet dimonopoli pihak swasta. Pemerintah punya hak untuk campur tangan. Karena sebagai pengambil dan pengendali kebijakan untuk kesejahteraan rakyat. Jika alasan karet karga dunia, tapi di luar negeri harga masih tinggi.

"Sekarang ini harga karet tidak sesuai dengan harga sembako. Gula kopi, beras dan lainnya. Sehingga masyarakat penoreh karet kasihan karena hasil kerjanya tidak sesuai," ujar Pak Wulan.

Pihaknya sebagai penampung atau agen karet terpaksa menyesuaikan harga juga. Jika sebelumnya karet basah harga beli dengan Rp.8.000-Rp.9.000 per kilogram, sekarang turun menjadi Rp.5.000 - Rp.6.000. "Kalau karet kering kita beli dari masyarakat Rp. 9.000 dari sebelumnya harga belasan ribu," ujar Pak Wulan.

Pewarta: Kundori

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014