Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Jenderal Budidaya Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengklaim budidaya ikan arwana merah super atau "siluk" yang dikembangkannya dengan prinsip berkelanjutan mampu menjadi jalan keluar dari risiko perubahan iklim.

"Ke depan, soal pengelolaan ada permasalahan 'climate change'. Salah satu dampaknya naiknya suhu air. Saya pikir budidaya dapat menjadi jawabannya. Lewat budidaya, ini bukan memusnahkan, tapi justru menyelamatkan," kata Slamet, pada diskusi "Pengelolaan Ikan Arwana Merah Super Berkelanjutan" di Pontianak, Kamis.

Dia mengatakan, program budidaya ikan arwana merah super ini,  telah memiliki pedoman umum yang dirancang KKP untuk menuju industrialisasi yang berkelanjutan.

Pembudidaya, kata dia, harus melakukan "restock" sebesar tiga hingga lima persen ke alam, dari total produksi, untuk menjaga kelestarian ikan yang berasal dari Sungai Kapuas, Kalimantan Barat ini.    
   
Selain itu, di sisi perdagangan, pembudidaya juga harus melakukan sertifikasi ikan hias tersebut, agar rekam asal usul ikan arwana merah super mampu dilacak dan dijamin budidayanya ilegal.

"Sertifikat ini akan menjadi penting, saat masuk ke negara-negara sasaran ekspor," ujar dia.

Saat ini, menurut data KKP, ekspor ikan arwana merah super mencapai 20 ribu ekor per tahunnya, dari produksi 30 ribu ekor. Jumlah tersebut sebenarnya tidak terlalu tinggi, jika dibandingkan dengan produksi ikan arwana secara keseluruhan yang pada 2013 mencapai 2.874.500 ekor.

Dalam diskusi tersebut, eksportir ikan arwana merah super dari Kalimantan Barat, Vincent, mengemukakan permasalahan produksi budidaya arwana merah super cukup terkendala dengan kondisi alam yang beberapa tahun terakhir tidak stabil, dan teknologi budidaya yang belum memadai.

                     Tumpang Tindih Izin
Slamet Soebjakto mengungkapkan, salah satu masalah pengelolaan arwana merah super adalah izin yang tidak sepenuhnya dimiliki KKP. Untuk proses penangkaran ikan ini, pihak yang berwenang mengelola adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kementerian Kehutanan, karena ikan ini termasuk dalam Konvensi Internasional tentang Perdagangan Spesies Flora dan Fauna yang Terancam Kepunahan (CITES), Appendix II.

Agar pengelolaannya dapat lebih terpadu, Slamet mengharapkan ikan arwana merah super dapat keluar dari Appendix II, namun tindak lanjutnya pemerintah akan membuat Peraturan baru yang menjadi landasan pengelolaan ikan ini secara berkelanjutan.

"Pengelolaannya juga diharapkan ada bisa di KKP, jadi kan lebih terpadu," ujar dia.

Ikan Arwana merah super merupakan spesies asli dari kawasan taman nasional Danau Sentarum seluas 132 ribu hektare dan kawasan DAS Sungai Kapuas yang melintasi Kalimantan Barat. Saat ini, terdapat 101 pembudidaya, dan 22 eksportir di Kalbar.

(I029/B. Situmorang)

Pewarta: Indra Arief Pribadi

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014