“Alaaah Ibu, sebentar lagi dah Ibu di sini. Padahal sedap Bu, TPA Bu” kata Toni salah seorang anak yang mengikuti Taman Pendidikan Anak setiap sore di masjid.

Kaki yang sedang berjalan ini seketika terhenti sejenak mendengar pernyataannya, kutolehkan kepala untuk memandangnya. Kutanyakan padanya sekali lagi untuk memastikan pendengaranku, “Sedapkeh TPA?”*
“Iya Bu, sedap Bu,” kata Toni bersemangat.

Aku tertawa mendengar jawabannya. Toni, anak yang kutahu setiap harinya tak pernah mau mendengarkan perintahku, tak pernah menyelesaikan setiap tugasnya, tak pernah mau menghafal do’a-do’a, dan hanya berlari kesana-kemari mengganggu teman-temannya yang sedang belajar, mengatakan bahwa TPA yang kuajar sangat mengasyikkan. Entah apa yang sudah didapatkannya selama mengikuti TPA sehingga Ia berkata seperti itu.

Semenjak Februari lalu Aku merintis sebuah TPA di desa Tanjung Saleh karena keprihatinanku terhadap pendidikan karakter dan pendidikan agama anak-anak disini. Bukan tanpa perjuangan Aku membuka TPA ini. Awalnya 50an anak datang ke masjid setiap sore pada minggu pertama. Tetapi semakin lama, jumlah ini semakin berkurang hingga tersisa hanya 9 anak. Bahkan ada hari-hari dimana Aku hanya mengajar 4 sampai 5 anak. Tetapi Aku tidak putus asa, Aku tetap konsisten mengadakan TPA walaupun terkadang lelah mendera. Sampai akhirnya bulan juli ini, ada sekitar 20 anak yang selalu menungguku di masjid untuk belajar. Sekarang, pada anak-anak inilah kugantungkan asa untuk membuat masyarakat desa Tanjung Saleh memiliki karakter yang baik.

Masa tugasku disini hanya sampai bulan November dan Aku tak tahu dengan siapa Aku harus menitipkan ke-20 anak ini. Sejak awal Aku sudah mencari warga sekitar yang mau bersama-sama membimbing anak-anak disini. Para tokoh masyarakat dan agama telah kutanyakan, jawaban mereka hanya menjual angan tanpa solusi, katanya akan mereka carikan orang untuk mengajar bersamaku, sehingga pada saatnya nanti Aku pergi, orang ini yang akan menggantikanku. Tetapi sampai sekarang apa yang mereka cari sepertinya tak akan pernah ditemukan. Hari-hari masih diisi dengan hanya diriku dan anak-anak.

Suatu ketika kudatangi rumah seorang warga yang kutahu bahwa beliau cukup aktif di masyarakat. Namanya Kak Rahma, biasanya Ia bershalawat dengan beberapa remaja setiap senin selepas shalat maghrib. Di tengah perbincangan kuajukan maksud dari kedatanganku, memintanya untuk ikut mengajar TPA.

Saya ndak sabar orangnya Bu. Kemarin aja waktu Saya lihat Bu Aul ngajar anak-anak di masjid, kalau Saya sudah Saya pukul Bu anak-anak yang lari-larian tuh,” ungkap Ka Rahma.

"Namanya juga anak-anak Kak Rahma, lagi masanya buat main-main,” sanggahku.

“Itulah dia Bu, Saya ndak bisa berpikir kaya Bu Aul. Rasanya nak marah terus, makanya Saya ndak berani ngajar anak-anak kecil Bu,” lanjutnya.

“Kira-kira siapa ya Kak Rahma yang bisa menggantikan Saya ngajar TPA?” tanyaku.

“Palingan Bu, kalau Bu Aul pergi, bubar jugalah TPA-nya,” kata Ka Rahma.

Aku hanya menghela nafas mendengar kalimat terakhir Kak Rahma. Hal yang tidak ingin Aku bayangkan terjadi pada anak-anakku. Belum waktunya kutinggalkan anak-anak ini. Mereka memang sudah hafal bacaan shalat, tetapi makna shalat belum tertanam dalam diri mereka. Mereka  memang sudah tahu kalau mengolok-olok itu tidak boleh, tetapi mereka masih harus terus diingatkan agar terbiasa. Mereka memang sudah banyak tahu tentang ajaran Islam, tetapi mereka perlu dituntun agar ajaran tersebut bisa menjadi perilaku sehari-hari.

Tuhan, jikalau nanti tidak ada yang melanjutkan TPA ini, akan kutitipkan ke-20 anak ini pada-Mu. Semoga Engkau mengirimkan tangan-tangan hamba-Mu yang lain untuk mendidik anak-anakku. Amin.

*Relawan Sekolah Guru Indonesia - Kuburaya


Pewarta: Aulia Fauziah*

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014