Tradisi makan saprahan dan semangat gotong royong dalam adat perkawinan masyarakat Melayu, di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat hingga saat ini masih terjaga dengan baik.

"Kami warga Desa Pipit Teja dan umumnya masyarkat Sambas hingga saat ini masih melestarikan tradisi makan saprahan dan semangat gotong royong dalam membuat acara perkawinan," kata Ismali (58) orang tua mempelai wanita dalam acara perkawinan di Desa Pipit Teja beberapa waktu lalu.

Tradisi makan saprahan memang tidak bisa dilepaskan dari semangat gotong royong, karena untuk membuat acara tersebut membutuhkan tenaga yang cukup banyak.

"Mustahil kalau mau membuat acara perkawinan masih menggunakan makan saprahan, tetapi `tukang masak` atau orang yang menyajikan makanan untuk dimakan saprahan itu digaji atau diberikan upah seperti makan prasmanan seperti di kota," ungkapnya.

Karena, menurut ayah lima anak tersebut, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk tradisi makan saprahan bisa lebih dari seratus orang atau bisanya warga satu desa turut serta membantu bahu-membahu membantu segala aktivitas untuk makan saprahan tersebut.

"Kalau satu orang saja digaji Rp100 ribu, maka berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh orang yang punya acara tersebut. Tetapi dengan semangat gotong royong, maka yang punya acara cukup memberi makan warga yang turut membantu segala kelancaran acara perkawinan itu," katanya.

Makanya, menurut Ismail, selagi semangat gotong royong masih kental, maka tradisi makan saprahan bisa tetap dipertahankan.

"Karena untuk membuat acara perkawinan saja butuh satu minggu waktu yang diperlukan untuk segala persiapan, mulai dari membuat tenda untuk memasak, tempat acara serakalan, tempat tanjidor, dan lain sebagainya. Setelah selesai, maka warga kembali bahu-membahu gotong royong kembali untuk menyelesaikan pekerjaan lainnya, mulai dari merobohkan bangunan yang dibangun tadi, mengembalikan piring untuk makan saprahan dan lain sebaginya," ujarnya.

Sehingga, dari segi biaya juga membutuhkan biaya tiga kali lipat dari acara perkawinan makan prasmanan seperti di kota, katanya.

Adapun berbagai menu makan saprahan, yakni ayam masak putih, daging sapi masak kecap, kulit sapi (kikil) dimasak kacang, sop, telur, nanas dimasak manis dan lain-lain.

Satu saprahan terdiri dari lima sampai enam orang, yang duduk melingkar sehingga dalam makan saprahan diperlukan sikap sopan santun dan kekeluargaannya juga sangat kental.



Perlu Dilestarikan

Sementara itu, Pengamat Budaya Sambas, A Muin Ikram(80) mengatakan, tradisi makan saprahan memang sangat kental dengan adat dan budaya Melayu yang perlu dilestarikan.

"Tradisi makan saprahan dan semangat gotong royong dalam budaya itu memang satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kalau semangat gotong royongnya memudar, maka makan saprahan juga akan dengan sendirinya akan hilang," ungkapnya.

Dia menilai tradisi makan saprahan saat ini masih kental di Sambas yang bisa terus dilestarikan dalam menarik minat wisatawan mancanegara maupun nasional untuk berkunjung ke Sambas, selain melihat keindahan alamnya.

Tradisi makan saprahan dalam suatu upacara perkawinan khas masyarakat Melayu Sambas biasanya dibuka dengan lagu-lagu ceria yang diiringi alat musik tanjidor. Saprahan berasal dari kata saf atau berjajar, untuk saprahan ini para tamu duduk tempat makan sementara berukuran lebar tiga meter panjang bisa belasan meter yang disebut tarup.

Namun duduk di tarup ada aturannya, yakni tamu yang boleh duduk di barisan atau saf paling atas hanya mereka yang sudah bergelar haji, hajjah, atau orang yang dinilai pandai agama.

Tidak hanya itu, pakaian saat makan saprahan lazimnya sudah menjadi tradisi, yakni tiap tamu atau undangan laki-laki hendaknya berbusana khas Melayu telok belanga, sedangkan tamu perempuan berbaju kurung, kata Muin.

Tempat makan bagi kaum laki-laki dan perempuan dalam tradisi makan saprahan juga dipisahkan. "Biasanya laki-laki makannya di tarop, sementara kaum perempuan dan anak-anak makannya di rumah yang punya pekerjaan atau rumah warga sekitar," ujarnya.

Biasanya, kata Muin menu makan saprahan, yakni masakan khas Melayu Sambas seperti daging masak kecap, sambal udang, selada, atau ayam masak putih.

Selain di Sambas, tradisi makan saprahan juga dikenal di wilayah Kalbar lainnya, seperti di Kota Pontianak, Mempawah, dan Ketapang.

Ema Gustina salah seorang warga Pontianak yang lahir Tebas, Kabupaten Sambas menyatakan ada kenikmatan tersendiri dalam makan saprahan di Sambas.

"Selera makan biasanya akan bertambah kalau makan saprahan, karena makannya terkesan berlomba dengan teman yang satu saprahan, sehingga tidak terasa, kita sudah makan dua piring," ungkapnya.

Apalagi menu dalam makan saprahan biasanya selalu ada tumis cabai (gulai kuah pedas) sehingga semakin menambah selera makan, bagi setiap orang yang makan saprahan, ditambah lagi suasana keakraban sesama warga setempat dan tamu lainnya, kata Ema.

"Saya secara pribadi tetap mendukung tradisi makan saprahan yang merupakan budaya Melayu tetap dilestarikan, sehingga keunikan tradisi makan saprahan tetap dikenal hingga anak cucu mendatang," ujarnya.

Meskipun, tradisi makan saprahan umumnya membutuhkan tenaga yang banyak, dan biasa yang besar dibanding dengan makan menggunakan acara prasmanan atau mengambil sendiri makanan di meja yang telah disiapkan.

"Tetapi itulah, keunikan tradisi makan saprahan budaya Melayu yang perlu dilestarikan oleh generasi-generasi muda sekarang. Sesuai dengan kata pepatah `esa hilang dua terbilang, takkan kayu berdaun jerami, benar seperti yang dikatakan orang, takkan hilang Melayu di bumi`," kata Ema Gustina.


(A057/Z002)

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014