Yogyakarta (Antara Kalbar) - Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPeK) merilis hasil kajian yang dilakukan pada 2012 yang menunjukkan sebanyak  71 persen koperasi yang ada di Indonesia dalam kondisi tinggal papan nama.

Ketua LePPek Suroto dalam keterangan tertulis yang diterima di Yogyakarta, Sabtu, mengatakan dari sekitar 200.000 unit koperasi sebanyak 71 persen di antaranya tinggal papan nama sementara 22 persen sisanya dalam kondisi mati suri alias hidup segan mati tak mau.

"Jadi total hanya 7 persen yang dalam kondisi sehat dan mandiri," katanya.

Pihaknya mencatat jumlah koperasi Indonesia menurut BPS pada 2013 sebanyak 200.808 primer koperasi dengan jumlah anggotanya sebanyak 35 juta orang.

"Jumlah tersebut sangat fantastis, namun sekaligus menyedihkan. Kalau dibuat rata-rata berarti setiap koperasi itu anggotanya hanya 175 orang. Belum lagi bila ditinjau dari volume bisnisnya," katanya.

Menurut Suroto dalam kondisi ini, koperasi Indonesia jelas kalah jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

Bahkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia yang tercatat memiliki jaringan koperasi sangat kuat dan mendominasi perekonomian negara.

"Sebut misalnya NTUC Fair Price yang menguasai 62 persen pangsa pasar ritel dan NTUC Income yang menjadi perusahaan asuransi nomor 2 di Singapura," katanya.

Suroto berpendapat masalah paling krusial bagi koperasi di Indonesia adalah ketidakpahaman masyarakat gerakan koperasi Indonesia sendiri itu terhadap keunggulan dari organisasi koperasi.

"Masyarakat kita tahunya koperasi itu hanya urusan mencari pinjaman dalam jumlah kecil untuk sekadar memenuhi kebutuhan rumah tangga kecil-kecil," katanya.

Selain itu peranan pemerintah yang kerap kali keliru dalam menempatkan kebijakan perkoperasian termasuk melahirkan produk regulasi yang tidak memadai.

Akibatnya koperasi selalu ditempatkan pada posisi yang kerdil yang hanya mengurusi usaha-usaha kecil saja dan bahkan berbagai produk perundang-undangan di Tanah Air berlaku diskriminatif terhadap koperasi.

Padahal ia menegaskan koperasi itu sebetulnya secara organisasi lebih unggul, karena semua orang bisa menjadi pemiliknya.

"Mana ada yang bisa menyainginya. Sebutlah apa yang dilakukan oleh Perseroan, paling hanya jalankan skema ESOP (employee share ownership programme) atau bagi saham pada karyawan," katanya.

Ia berpendapat koperasi Indonesia bisa berkembang dan bersaing di tingkat global, bahkan bisa menggusur peranan perusahaan multinasional jika mau menerapkan beberapa prasyarat penting.

"Terapkan ICIS (International Co-operative Identity Statement) atau jati diri koperasi yang sudah jadi standar internasional itu sepenuhnya. Kemudian kembangkan profesionalisme manajemen yang berbasis nilai," katanya.

Dua prasyarat itu dinilainya paling penting karena kemampuan internal koperasi peranannya lebih dominan ketimbang faktor eksternalnya, misalnya dalam masalah regulasi, kebijakan, lingkungan sosial, dan politik.

Ia menyarankan hal-hal yang perlu dilakukan ke depan di antaranya mencabut badan hukum koperasi yang tidak jelas dalam melaksanakan prinsip-prinsip koperasi, menyusun UU baru yang sesuai dengan jati diri koperasi, dan melakukan revolusi menyeluruh institusi perkoperasian terutama Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan Kementerian Koperasi dan UKM.

Pewarta: Hanni Sofia

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014