Sekadau (Antara Kalbar) - Rapat koordinasi ketemenggungan telah digelar di gedung Kateketik, jalan Sekadau-Rawak pada Selasa (2/9), yang dihadiri ara temenggung adat dari 18 sub suku Dayak yang menyebar di berbagai wilayah Kabupaten Sekadau.

Hadir sebagai pemateri dalam agenda itu, Bupati Sekadau, Simon Petrus, Ketua Pengadilan Negeri Sanggau, Khamozaro Waruwu, serta Wakapolres Sekadau, Kompol Yohanes Andis.

"Agenda rakor ketemenggungan itu dilaksanakan dalam rangka menindak lanjuti rakor DAD Provinsi Kalbar bulan Mei lalu, dan adat istiadat saat ini memang sudah harus dibukukan. Tujuannya tidak lain agar tercatat dan menjadi bahan referensi bagi pelaksana hukum adat itu sendiri. Ada beberapa sub suku yang sudah memiki buku adat istiadat. Yang belum, harus ditulis dan dibukukan,” ungkap Ketua DAD Kabupaten Sekadau, Rupinus.

Mantan Camat Nanga Mahap yang juga menjabat sebagai wakil Bupati Sekadau ini menegaskan, Penataan ketemenggungan dalam lembaga adat dayak, bertujuan untuk memperkuat SDM temenggung dan pengurus adat dayak. Semoga rakor pertama ini menjadi motivasi dan menjadi bahan para pengurus adat dan temenggung dalam mencatat adat istiadat sub sukunya masing-masing.

Sementara itu Bupati Sekadau, Simon Petrus menyatakan Pemkab Sekadau menyambut baik pelaksanaan rakor ketemenggungan tersebut. Momen tersebut, hendaknya dimanfaatkan untuk menyamakan persepsi dan mengevaluasi tatanan hukum adat dibawah naungan DAD. Mudah-mudahan setelah rakor ini dapat disepakati pokok-pokok hukum adat yang nantinya akan menjadi patokan dalam implementasi hukum adat di masing-masing sub suku Dayak.

"Disarankan juga agar pokok-pokok hukum adat dibukukan. Hal itu dimaksudkan agar buku tersebut kemudian menjadi sumber referensi penerapan hukum adat. Kalau jaman dulu hukum adat jarang ditulis, hanya dituturkan secara lisan. Sudah saatnya dibuat buku tentang pokok-pokok hukum adat sebagai sumber referensi atau patokan dalam mengaplikasikan hukum adat,” pesannya.

Simon menyatakan sejauh ini hukum adat sudah membuktikan perannya dalam bingkai NKRI. Ia mencontohkan pelestarian hutan yang ada di wilayah Nanga Taman dan Nanga Mahap.

“Pelestarian hutan oleh masyarakat adat dari jaman dulu masih ada sampai sekarang. Ini bentuk kepedulian masyarakat adat kepada lingkungannya dan ini telah memberi kontribusi dalam kehidupan bernegara,” paparnya.

Hal senada turut diakui Ketua Pengadilan Negeri Sanggau, Khamozaro Waruwu yang mengatakan jika hukum adat diakui oleh konstutusi sebagai salah satu sumber referensi untuk membentuk hukum nasional atau hukum positif. Hukum adat sudah berlaku sejak jaman dahulu kala, bahkan sejak hukum negara belum diatur.

"Yang saya tahu, inti dari hukum adat adalah kebenaran dan keadilan. Namun karena sifatnya sebagai bentuk kearifan lokal, jadi disarankan agar hukum adat bisa dibentuk secara permanen. Hal itu dimaksudkan agar adat bisa mengikat semua suku agar antara suku yang satu dengan lainnya terdapat keseragaman pelaksanaan hukum adat. Pada pelaksanaannya, hukum adat kerap bersifat fleksibel, maksudnya antara satu daerah dengan daerah lain bisa saja berbeda. Makanya perlu dipermanenkan supaya tidak terjadi kerancuan di kemudian hari, supaya tidak disalahgunakan,” sarannya lebih lanjut.

Khamozaro menjelaskan, hukum adat memang diakui oleh konstitusi dan sah-sah saja dilaksanakan di masyarakat adat. Namun, dalam keterkaitannya dengan pelaksanaan hukum negara, hukum adat bisa saja dikesampingkan, tentunya dengan melihat konteks kesalahan yang dilakukan oknum terhukum.

"Misalnya, seseorang dinyatakan dan terbukti melakukan kesalahan yang melanggar hukum. Kemudian, di daerahnya ia telah dijatuhi hukum adat. Namun, yang bersangkutan tetap bisa dijatuhi hukum pidana meski sudah dihukum secara adat," pungkasnya.

Pewarta: Arkadius Gansi

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014