Pontianak (Antara Kalbar) - Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Wilayah Kalimantan Barat Glorio Sanen mengatakan penduduk dunia terancam kekurangan pangan seiring meningkatnya jumlah penduduk dan berkurangnya areal untuk lahan pertanian.
"Semakin mengecilnya lahan pertanian merupakan permasalahan yang memprihatinkan karena berdampak negatif terhadap efektivitas program pembangunan pertanian," kata Gloria Sanen saat dihubungi di Pontianak, Senin.
Menurut dia, tanda-tanda dunia mengalami kekurangan pangan terlihat dari ketidakseimbangan jumlah penduduk dengan produksi pangan global dimana asumsi jumlah penduduk dunia bisa mencapai 9 miliar jiwa pada tahun 2045.
Ia melanjutkan, meningkatnya jumlah penduduk secara otomatis menambah kebutuhan lahan untuk permukiman sehingga mengorbankan areal pertanian. Di Indonesia, ada Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa jika terjadi perubahan fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara akan dikenakan hukuman pidana dan denda.
"Namun disayangkan penegakan hukum masih menjadi harapan yang belum bisa dilaksanakan," kata Gloria Sanen yang juga aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar itu.
Sementara jika melihat tantangan secara ekonomi ke depan yaitu kapitalisasi pasar sehingga pangan yang sepatutnya menjadi hak setiap manusia dikendalikan oleh pasar.
Tantangan lain dalam ketahanan pangan adalah perubahan iklim yang berdampak pada produksi pangan.
"Karena perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan, atau sebaliknya meningkatkan curah hujan dan banjir. Sehingga menyebabkan menurunnya produksi pangan, yang pada gilirannya terjadi kelangkaan pangan yang menyebabkan kenaikan harga sehingga tak terjangkau bagi warga miskin," ujar dia.
Glorio Sanen beberapa waktu lalu diundang Badan Pangan PBB untuk mewakili Indonesia pada Pertemuan "Regional Multi-stakeholder Consultation on Livelihood and Food Security of Indigenous Peoples in Asia".
Pertemuan itu diselenggarakan oleh Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) dan Food and Agriculture Organization of the United Natios Regional Office for Asia and Pacific (FAO-RAP) pada 28-30 Agustus 2014 di Chiang Mai, Thailand.
(T011/N005)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Semakin mengecilnya lahan pertanian merupakan permasalahan yang memprihatinkan karena berdampak negatif terhadap efektivitas program pembangunan pertanian," kata Gloria Sanen saat dihubungi di Pontianak, Senin.
Menurut dia, tanda-tanda dunia mengalami kekurangan pangan terlihat dari ketidakseimbangan jumlah penduduk dengan produksi pangan global dimana asumsi jumlah penduduk dunia bisa mencapai 9 miliar jiwa pada tahun 2045.
Ia melanjutkan, meningkatnya jumlah penduduk secara otomatis menambah kebutuhan lahan untuk permukiman sehingga mengorbankan areal pertanian. Di Indonesia, ada Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa jika terjadi perubahan fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara akan dikenakan hukuman pidana dan denda.
"Namun disayangkan penegakan hukum masih menjadi harapan yang belum bisa dilaksanakan," kata Gloria Sanen yang juga aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar itu.
Sementara jika melihat tantangan secara ekonomi ke depan yaitu kapitalisasi pasar sehingga pangan yang sepatutnya menjadi hak setiap manusia dikendalikan oleh pasar.
Tantangan lain dalam ketahanan pangan adalah perubahan iklim yang berdampak pada produksi pangan.
"Karena perubahan iklim telah menyebabkan kekeringan, atau sebaliknya meningkatkan curah hujan dan banjir. Sehingga menyebabkan menurunnya produksi pangan, yang pada gilirannya terjadi kelangkaan pangan yang menyebabkan kenaikan harga sehingga tak terjangkau bagi warga miskin," ujar dia.
Glorio Sanen beberapa waktu lalu diundang Badan Pangan PBB untuk mewakili Indonesia pada Pertemuan "Regional Multi-stakeholder Consultation on Livelihood and Food Security of Indigenous Peoples in Asia".
Pertemuan itu diselenggarakan oleh Asia Indigenous Peoples Pact (AIPP) dan Food and Agriculture Organization of the United Natios Regional Office for Asia and Pacific (FAO-RAP) pada 28-30 Agustus 2014 di Chiang Mai, Thailand.
(T011/N005)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014