Jakarta (Antara Kalbar) - Puluhan negara telah menyusun aturan bagi peredaran rokok elektronik yaitu dilarang di 11 negara serta dibatasi di 14 negara setelah berbagai kajian kesehatan menemukan bahwa jenis rokok tersebut juga merugikan kesehatan meski tidak persis seperti rokok konvensional.
"Selain dilarang dan dibatasi, aturan bagi rokok elektronik itu termasuk pelarangan iklan, penggolongan sebagai produk kesehatan atau produk tembakau atau produk obat jika mengandung nikotin dan dilarang sebagai produk tembakau imitasi, terlepas dari konten nikotinnya," ujar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan Tjandra Yoga Aditama di Jakarta, Jumat.
Untuk peredaran di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Balitbangkes sedang melakukan kajian sebelum menyusun peraturan yang dibutuhkan untuk membatasi peredaran rokok elektronik.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat rokok elektronik telah diproduksi dalam 466 merek, 8.000 rasa, menghabiskan anggaran sebesar 3 miliar dolar AS dan peredarannya terutama di kalangan remaja.
Produsen rokok elektronik kerap mengklaim bahwa produk mereka lebih sehat dibandingkan dengan rokok konvensional namun berbagai penelitian telah membuktikan bahwa rokok jenis ini juga memiliki dampak kesehatan yang berbahaya.
Oleh karena itu, 11 negara diantaranya Singapura, Austria dan Brazil telah menyatakan melarang peredaran rokok tersebut sedangkan 14 negara seperti Jepang, Swiss dan Selandia Baru membatasi peredarannya.
WHO sendiri telah memberikan rekomendasi melalui sesi COP FCTC ke-6 pada September 2014 lalu bahwa dibutuhkan pembatasan promosi rokok elektronik serta pelarangan klaim kesehatan rokok elektronik.
"Walau toksisitasnya lebih rendah dari rokok konvensional, tapi tetap memberi ancaman kesehatan dan bisa menjadi awal untuk menjadi perokok," kata Tjandra mengutip rekomendasi COP FCTC tersebut.
Rokok elektronik disebut Tjandra memiliki dampak kesehatan negatif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara lain dampak aerosolnya seperti potensi sito toksisitas dan adanya senyawa karsinogenik, formaldehil dan akrolein serta adanya bahwa partikel dalam rentang "ultrafine" (100-200 nanometer).
(A043/E.S. Syafei)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014