Pontianak (Antara Kalbar) - Perkumpulan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan Barat menyatakan sekitar 45,87 persen atau seluas 726.000 hektare lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya sudah berubah fungsi atau dibebani dengan izin investasi berbasis hutan dan lahan.
"Pengelolaan lahan gambut mulai mengemuka sejak marak industri berbasis hutan, lahan, dan kekayaan alam lainnya, termasuk di Kabupaten Kubu Raya," kata Media Kampanye Sampan Kalimantan, Liu Purnomo di Kubu Raya, Selasa.
Ia menjelaskan berdasarkan analisis spatial Sampan dengan melakukan "overlay" peta perizinan dengan peta gambut menunjukkan sekitar 726.000 hektare atau 45,87 persen lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya telah dibebani dengan izin investasi berbasis hutan dan lahan, dengan rinciannya 386.000 hektare lahan gambut telah dibebani izin untuk 110 perusahaan pertambangan, kemudian sekitar 136.000 hektare untuk delapan perusahaan HPH, sekitar 635.470 hektare untuk 240 perusahaan sawit, dan 60 izin untuk HTI.
Kondisi diperparah ketika perusahaan dalam operasi usahanya tidak disertai dengan manajemen pengelolaan tata air gambut, sehingga lahan gambut mengalami kerusakan, katanya.
"Tujuan dari kegiatan ini (worshop multi pihak untuk menyusun peta jalan pengelolaan lahan gambut di Kubu Raya) ada tiga, yakni untuk memberikan gambaran kepada para pihak mengenai kondisi kekinian lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya," ujar Liu.
Kemudian yang kedua untuk menyusun roadmap pengelolaan gambut yang paling sesuai dengan kondisi lokal di kabupaten terutama di lokasi-lokasi target lahan gambut, dan yang ketiga adalah mendorong komitmen para pihak untuk bersinergi dalam penyempurnaan dan implementasi roadmap pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, katanya.
"Workshop ini merupakan salah satu upaya kami untuk mengajak pihak-pihak yang memang memiliki andil dalam hal melakukan menyelamatkan gambut yang ada di Kabupaten Kubu Raya khususnya," katanya.
Menurut dia dengan terganggunya tata air berdampak bencana ekologis seperti banjir, areal budidaya menjadi tidak produktif, dan sulitnya pemenuhan air bersih.
"Ketika musim kemarau drainase dengan kanal jumbo yang memotong kontur bumi menjadikan gambut yang tergantung pada genangan air menjadi kering sehingga mudah sekali terbakar. Pada saat kota-kota Pulau Jawa sedang terkena musibah banjir akibat curah hujan yang tinggi, sebaliknya di Kalimantan Barat pada bulan Januari-Februari 2014, justru menghadapi bencana asap," ungkapnya.
Kabut asap yang sangat pekat menjadi bencana, karena kualitas udara menjadi buruk sehingga mengganggu kesehatan khususnya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan kepekatannya mengganggu roda ekonomi.
Tidak hanya itu kebakaran lahan gambut mengirimkan emisi carbon yang sangat besar sehingga mengganggu komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi bencana perubahan iklim. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Carlos menunjukkan Kabupaten Ketapang hingga tahun 2020 emisi yang dikirimkan mencapai 90 persen dari lahan gambut, kata Liu.
Sementara itu, Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kubu Raya R Sadewo menyatakan pihaknya menyambut baik inisiatif yang dilakukan oleh Sampan dan LSM lainnya yang mau memperhatikan dan mempedulikan lingkungan alam, khususnya lingkungan yang ada di Kubu Raya.
"Tren saat ini di Kubu Raya adalah pohon sawit. Padahal masyarakat lokal di Kubu Raya adalah mereka yang terbiasa memanfaatkan hasil hutan, namun bukan dengan cara konvensional," katanya.
Menurut dia yang lebih parah adalah dampak industri sawit ini bagi masyarakat yang berada di wilayah hutan bakau, mereka rata-rata mencari nafkah sebagai nelayan, rusaknya mangrove atau hutan bakau akhirnya berdampak pada hilangnya daerah berkembangbiaknya udang, keping dan lainnya, sehingga berimbas pada berkurangnya hasil tangkapan nelayan," kata Sadewo.
Sadewo juga menyebutkan limbah pupuk sawit, yang kemudian mengalir ke sungai akan menjadi racun dan mengancam ekosistem sungai dan laut.
(U.A057/B/N005/N005) 20-01-2015 14:55:08
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Pengelolaan lahan gambut mulai mengemuka sejak marak industri berbasis hutan, lahan, dan kekayaan alam lainnya, termasuk di Kabupaten Kubu Raya," kata Media Kampanye Sampan Kalimantan, Liu Purnomo di Kubu Raya, Selasa.
Ia menjelaskan berdasarkan analisis spatial Sampan dengan melakukan "overlay" peta perizinan dengan peta gambut menunjukkan sekitar 726.000 hektare atau 45,87 persen lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya telah dibebani dengan izin investasi berbasis hutan dan lahan, dengan rinciannya 386.000 hektare lahan gambut telah dibebani izin untuk 110 perusahaan pertambangan, kemudian sekitar 136.000 hektare untuk delapan perusahaan HPH, sekitar 635.470 hektare untuk 240 perusahaan sawit, dan 60 izin untuk HTI.
Kondisi diperparah ketika perusahaan dalam operasi usahanya tidak disertai dengan manajemen pengelolaan tata air gambut, sehingga lahan gambut mengalami kerusakan, katanya.
"Tujuan dari kegiatan ini (worshop multi pihak untuk menyusun peta jalan pengelolaan lahan gambut di Kubu Raya) ada tiga, yakni untuk memberikan gambaran kepada para pihak mengenai kondisi kekinian lahan gambut di Kabupaten Kubu Raya," ujar Liu.
Kemudian yang kedua untuk menyusun roadmap pengelolaan gambut yang paling sesuai dengan kondisi lokal di kabupaten terutama di lokasi-lokasi target lahan gambut, dan yang ketiga adalah mendorong komitmen para pihak untuk bersinergi dalam penyempurnaan dan implementasi roadmap pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, katanya.
"Workshop ini merupakan salah satu upaya kami untuk mengajak pihak-pihak yang memang memiliki andil dalam hal melakukan menyelamatkan gambut yang ada di Kabupaten Kubu Raya khususnya," katanya.
Menurut dia dengan terganggunya tata air berdampak bencana ekologis seperti banjir, areal budidaya menjadi tidak produktif, dan sulitnya pemenuhan air bersih.
"Ketika musim kemarau drainase dengan kanal jumbo yang memotong kontur bumi menjadikan gambut yang tergantung pada genangan air menjadi kering sehingga mudah sekali terbakar. Pada saat kota-kota Pulau Jawa sedang terkena musibah banjir akibat curah hujan yang tinggi, sebaliknya di Kalimantan Barat pada bulan Januari-Februari 2014, justru menghadapi bencana asap," ungkapnya.
Kabut asap yang sangat pekat menjadi bencana, karena kualitas udara menjadi buruk sehingga mengganggu kesehatan khususnya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dan kepekatannya mengganggu roda ekonomi.
Tidak hanya itu kebakaran lahan gambut mengirimkan emisi carbon yang sangat besar sehingga mengganggu komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi bencana perubahan iklim. Hal ini diperkuat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Carlos menunjukkan Kabupaten Ketapang hingga tahun 2020 emisi yang dikirimkan mencapai 90 persen dari lahan gambut, kata Liu.
Sementara itu, Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Kubu Raya R Sadewo menyatakan pihaknya menyambut baik inisiatif yang dilakukan oleh Sampan dan LSM lainnya yang mau memperhatikan dan mempedulikan lingkungan alam, khususnya lingkungan yang ada di Kubu Raya.
"Tren saat ini di Kubu Raya adalah pohon sawit. Padahal masyarakat lokal di Kubu Raya adalah mereka yang terbiasa memanfaatkan hasil hutan, namun bukan dengan cara konvensional," katanya.
Menurut dia yang lebih parah adalah dampak industri sawit ini bagi masyarakat yang berada di wilayah hutan bakau, mereka rata-rata mencari nafkah sebagai nelayan, rusaknya mangrove atau hutan bakau akhirnya berdampak pada hilangnya daerah berkembangbiaknya udang, keping dan lainnya, sehingga berimbas pada berkurangnya hasil tangkapan nelayan," kata Sadewo.
Sadewo juga menyebutkan limbah pupuk sawit, yang kemudian mengalir ke sungai akan menjadi racun dan mengancam ekosistem sungai dan laut.
(U.A057/B/N005/N005) 20-01-2015 14:55:08
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015