Pontianak (ANTARA) - Aktivitas pembukaan hutan skala besar oleh PT MP diduga menjadi penyebab banjir yang melanda wilayah operasional perusahaan yang berdampak pada sejumlah desa di Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, sekaligus menjadi peringatan serius akan dampak buruk deforestasi terhadap lingkungan.
"Dusun Sabar Bubu dan Dusun Lelayang di Desa Kualan Hilir menjadi wilayah terdampak paling parah. Ladang milik warga ikut terendam, menimbulkan ancaman kerugian ekonomi yang signifikan. Banjir kali ini dilaporkan lebih parah dibandingkan kejadian sebelumnya," kata
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, di Pontianak, Sabtu.
Pihaknya menilai bencana ini erat kaitannya dengan praktik deforestasi yang dilakukan PT MP.
"Ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah dampak nyata dari pembabatan hutan secara masif yang mengancam keselamatan, keberlanjutan hidup, dan perekonomian masyarakat sekitar," tuturnya.
Sejak 2016 hingga 2023, PT MP telah membuka sekitar 35.000 hektar hutan alam, dengan puncak aktivitas terjadi pada 2022-2023, yaitu seluas 15.000 hektar. Meskipun telah menerima surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 28 Maret 2024 untuk menghentikan aktivitas penebangan di wilayah konsesi yang memiliki nilai konservasi tinggi, perusahaan masih terus membuka lahan.
"Dalam periode April hingga Oktober 2024, tercatat 344,44 hektar hutan, termasuk di area gambut, telah dibuka oleh perusahaan," kata Andi.
Padahal, dokumen Rencana Kerja Tahunan (RKT) perusahaan 2012-2021 mencatat sebagian besar kawasan tersebut seharusnya menjadi area perlindungan gambut.
Hampir 60,15 persen konsesi PT MP merupakan kawasan gambut, yang terdiri atas gambut lindung (48,50 persen) dan gambut budidaya (51,50 persen). Namun, sejak 2019 hingga April 2024, perusahaan telah membuka total 30.296,59 hektar lahan gambut, termasuk 15.560,38 hektar gambut lindung.
Peta fungsi gambut terbaru tahun 2022 menunjukkan sebagian besar kawasan gambut lindung kini telah dialihkan menjadi gambut budidaya. Hanya sekitar 9.383 hektar atau 11,53 persen dari total kawasan gambut yang tersisa sebagai area perlindungan.
Direktur Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, menyoroti bahwa peringatan tentang dampak deforestasi ini telah disampaikan sejak lama, tetapi tidak diindahkan.
"Pembukaan hutan skala luas telah membawa risiko bencana ekologis yang kian besar. Pemerintah harus mengevaluasi keberadaan perusahaan ini dan memastikan mereka bertanggung jawab," katanya.
Ketua Link-AR Borneo, Ahmad Syukri, memperingatkan potensi bencana banjir yang lebih parah di desa-desa sekitar konsesi PT MP, baik di bagian utara Kabupaten Ketapang maupun bagian selatan di Kabupaten Kayong Utara.
"Hilangnya hutan penyangga menyebabkan air langsung mengalir ke Sungai Kualan, Sekucing, dan Labai, sehingga meningkatkan risiko banjir," kata Ahmad.
Ia juga mendesak pemerintah untuk segera mengambil langkah pemulihan hutan dan ekosistem gambut guna melindungi masyarakat adat, komunitas lokal, serta keanekaragaman hayati dari ancaman bencana di masa mendatang.*