Jakarta (Antara Kalbar) - Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo mengaku pesimistis bakal ada perubahan mendasar di dunia pendidikan jika tidak segera memperbaiki orientasi pendidikan.
"Persatuan Guru Republik Indonesia meminta komitmen pemerintah memajukan pendidikan betul-betul dilaksanakan secara nyata dan terwujud. Salah satunya untuk memperhatikan sarana dan prasarana sekolah yang ada," kata Sulistiyo.
Saat ini, kata dia, masih relatif banyak ruang kelas yang rusak, baik rusak berat, ringan, maupun sedang. Pembiayaan pendidikan juga makin takjelas. Biaya operasional sekolah (BOS) untuk kepentingan guru hanya 15 persen, tidak ada bagian untuk diberikan kepada guru honorer. "Masih lebih baik dahulu. Dahulu 20 persen BOS masih bisa diberikan kepada guru sehingga ada dana untuk guru honorer," kata Sulistiyo.
Sekarang, kata dia, tidak ada bagian untuk guru honorer. Ini artinya terjadi penurunan kesejahteraan bagi guru honorer.
Sementara itu, pengamat pendidikan yang juga Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Mohammad Abduhzen mengatakan bahwa strategi implementasi kurikulum atau asumsi yang melatari penguatan kurikulum harus mempertimbangkan situasi kebangsaan dan melihat visi ke depan.
Ia menyebutkan sejumlah persoalan normatif, yaitu Pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan tujuan pendidikan nasional, harus dibuat tata letaknya masing-masing supaya tidak berat sebelah.
Menurut dia, idealnya kurikulum pendidikan tidak perlu mengatur secara luas, semua pelajaran tidak perlu dicantumkan. Kurikulum cukup menetapkan lima mata pelajaran. Selebihnya, hal itu diserahkan pada daerah atau sekolah untuk merumuskannya sendiri.
"Kurikulum merangkum maksimal lima mata pelajaran saja, sisanya serahkan pada pemerintah daerah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sudah mengakomodasi ini. Pada Kurikulum 2006, KTSP itu namanya juga satuan pendidikan. Akan tetapi, otoritas sekolah hanya diberi waktu 2 jam untuk muatan lokal," kata Abduhzen.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Persatuan Guru Republik Indonesia meminta komitmen pemerintah memajukan pendidikan betul-betul dilaksanakan secara nyata dan terwujud. Salah satunya untuk memperhatikan sarana dan prasarana sekolah yang ada," kata Sulistiyo.
Saat ini, kata dia, masih relatif banyak ruang kelas yang rusak, baik rusak berat, ringan, maupun sedang. Pembiayaan pendidikan juga makin takjelas. Biaya operasional sekolah (BOS) untuk kepentingan guru hanya 15 persen, tidak ada bagian untuk diberikan kepada guru honorer. "Masih lebih baik dahulu. Dahulu 20 persen BOS masih bisa diberikan kepada guru sehingga ada dana untuk guru honorer," kata Sulistiyo.
Sekarang, kata dia, tidak ada bagian untuk guru honorer. Ini artinya terjadi penurunan kesejahteraan bagi guru honorer.
Sementara itu, pengamat pendidikan yang juga Direktur Eksekutif Institute for Education Reform Mohammad Abduhzen mengatakan bahwa strategi implementasi kurikulum atau asumsi yang melatari penguatan kurikulum harus mempertimbangkan situasi kebangsaan dan melihat visi ke depan.
Ia menyebutkan sejumlah persoalan normatif, yaitu Pembukaan UUD 1945, Pancasila, dan tujuan pendidikan nasional, harus dibuat tata letaknya masing-masing supaya tidak berat sebelah.
Menurut dia, idealnya kurikulum pendidikan tidak perlu mengatur secara luas, semua pelajaran tidak perlu dicantumkan. Kurikulum cukup menetapkan lima mata pelajaran. Selebihnya, hal itu diserahkan pada daerah atau sekolah untuk merumuskannya sendiri.
"Kurikulum merangkum maksimal lima mata pelajaran saja, sisanya serahkan pada pemerintah daerah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sudah mengakomodasi ini. Pada Kurikulum 2006, KTSP itu namanya juga satuan pendidikan. Akan tetapi, otoritas sekolah hanya diberi waktu 2 jam untuk muatan lokal," kata Abduhzen.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015