Jakarta (Antara Kalbar) - Jurnalis asing tidak sepatutnya dikhawatirkan ketika melakukan aktivitas jurnalistik di Papua.
Untuk itu, pakar hukum internasional Universitas Indonesia Jakarta Prof Hikmahanto Juwana meminta seluruh elemen di Indonesia tidak apriori dengan jurnalis asing, terutama yang melakukan peliputan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
"Jurnalis, lokal maupun asing, bekerja untuk mencari berita. Tidak masalah sejauh jurnalis dan media bersikap profesional dan berimbang," kata Hikmahanto dalam Seminar Nasional Keterbukaan Papua Bagi Jurnalis Asing yang diadakan LKBN Antara di Jakarta, Selasa.
Hikmahanto mengatakan keterbukaan Papua bagi jurnalis asing disambut dengan antusias oleh kalangan pers internasional karena kini mereka bisa mendapatkan informasi langsung dari tangan pertama.
Karena itu, keputusan Presiden Joko Widodo untuk membuka Papua bagi jurnalis asing tentu memiliki dampak positif bagi Indonesia. Apresiasi positif dari dunia intrnasional diharapkan bisa menghilangkan persepsi negatif terhadap Indonesia, khususnya mengenai Papua.
Namun, Hikmahanto mengatakan jurnalis asing yang meliput di Indonesia, termasuk Papua, harus bersedia mengikuti kode etik dan kaidah jurnalistik yang berlaku di Indonesia.
"Jangan ada diskriminasi. Media dan jurnalis asing juga bisa mendapat sanksi dari Dewan Pers bila melanggar kode etik jurnalistik. Semua sama. Bukan berarti karena jurnalis asing kemudian diistimewakan," tuturnya.
Tentang keterbukaan Papua bagi jurnalis asing, Hikmahanto mengatakan bukan berarti bebas sebebasnya. Seperti halnya dilakukan negara-negara lain, pemerintah tetap bisa melarang atau menutup Papua dengan alasan "demi keamanan nasional".
"Kalau memang ada alasan keamanan nasional yang mendesak, pemerintah memang harus menutup kembali. Pers, termasuk media dan jurnalis asing, harus memahami itu," katanya.
Hal itu pun juga terjadi bagi jurnalis atau warga negara Indonesia lainnya yang akhirnya ditolak pengajuan visanya oleh negara tertentu karena berbagai alasan.
Seminar Nasional Keterbukaan Papua Bagi Jurnalis Asing diselenggarakan di Auditorium Adhyana, Wisma Antara, Jalan Medan Merdeka Selatan 17, Jakarta Pusat.
Hadir sebagai pembicara kunci Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. Selain Hikmahanto Juwana, pembicara lainnya adalah anggota Dewan Pers I Made Ray Kusuma Wijaya dan Ketua Kaukus Parlemen Papua Paskalis Kossay.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
Untuk itu, pakar hukum internasional Universitas Indonesia Jakarta Prof Hikmahanto Juwana meminta seluruh elemen di Indonesia tidak apriori dengan jurnalis asing, terutama yang melakukan peliputan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
"Jurnalis, lokal maupun asing, bekerja untuk mencari berita. Tidak masalah sejauh jurnalis dan media bersikap profesional dan berimbang," kata Hikmahanto dalam Seminar Nasional Keterbukaan Papua Bagi Jurnalis Asing yang diadakan LKBN Antara di Jakarta, Selasa.
Hikmahanto mengatakan keterbukaan Papua bagi jurnalis asing disambut dengan antusias oleh kalangan pers internasional karena kini mereka bisa mendapatkan informasi langsung dari tangan pertama.
Karena itu, keputusan Presiden Joko Widodo untuk membuka Papua bagi jurnalis asing tentu memiliki dampak positif bagi Indonesia. Apresiasi positif dari dunia intrnasional diharapkan bisa menghilangkan persepsi negatif terhadap Indonesia, khususnya mengenai Papua.
Namun, Hikmahanto mengatakan jurnalis asing yang meliput di Indonesia, termasuk Papua, harus bersedia mengikuti kode etik dan kaidah jurnalistik yang berlaku di Indonesia.
"Jangan ada diskriminasi. Media dan jurnalis asing juga bisa mendapat sanksi dari Dewan Pers bila melanggar kode etik jurnalistik. Semua sama. Bukan berarti karena jurnalis asing kemudian diistimewakan," tuturnya.
Tentang keterbukaan Papua bagi jurnalis asing, Hikmahanto mengatakan bukan berarti bebas sebebasnya. Seperti halnya dilakukan negara-negara lain, pemerintah tetap bisa melarang atau menutup Papua dengan alasan "demi keamanan nasional".
"Kalau memang ada alasan keamanan nasional yang mendesak, pemerintah memang harus menutup kembali. Pers, termasuk media dan jurnalis asing, harus memahami itu," katanya.
Hal itu pun juga terjadi bagi jurnalis atau warga negara Indonesia lainnya yang akhirnya ditolak pengajuan visanya oleh negara tertentu karena berbagai alasan.
Seminar Nasional Keterbukaan Papua Bagi Jurnalis Asing diselenggarakan di Auditorium Adhyana, Wisma Antara, Jalan Medan Merdeka Selatan 17, Jakarta Pusat.
Hadir sebagai pembicara kunci Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Tedjo Edhy Purdijatno. Selain Hikmahanto Juwana, pembicara lainnya adalah anggota Dewan Pers I Made Ray Kusuma Wijaya dan Ketua Kaukus Parlemen Papua Paskalis Kossay.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015