Mempawah (Antara Kalbar) - Sejak beberapa bulan terakhir, tepatnya sekitar Oktober tahun lalu, di kilometer 12 Dusun Moton Asam, Desa Antibar, Kecamatan Mempawah Timur, berdiri permukiman baru. Penghuninya berasal dari berbagai daerah di Pulau Jawa.
  
Berdasarkan pengakuan, mereka sebelumnya adalah anggota ormas Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang kini sudah bertobat. Di kawasan itu, mereka telah membeli lahan seluas 43 hektare. Lahan gambut itu selain dijadikan permukiman, juga sebagai areal pertanian dan peternakan.
   
Dilengkapi pula dengan sarana ibadah, pendidikan, balai pertemuan, dapur umum dan MCK yang dibangun semi permanen. Terdata 110 kepala keluarga dengan 300 jiwa sebagai penghuninya.
   
Kondisi di permukiman itu seperti kawasan transmigrasi mandiri. Pada petang hari, terlihat anak-anak yang bermain, hilir mudik penghuni pemukiman usai beraktifitas, dan masing-masing kembali ke bilik hunian. Diantara mereka kerap bercengkrama satu dengan lainnya. Sementara suasana dapur umum terlihat menu sederhana khas nasi jagung yang sudah siap disajikan para juru masak dan pramusaji sebagai jatah konsumsi untuk 110 kepala keluarga dengan 300 jiwa lebih penghuninya pada pukul 18.00 hingga19.00 WIB.
   
"Semua kebutuhan logistik maupun pemenuhan pangan dan gizi kami disini merupakan donasi bersama dan investasi dari investor kami mas," kata Ismail, salah seorang penghuni.
   
Ia mengaku kalau warga yang bermukim disitu umumnya mantan anggota Gafatar. Diantaranya berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.
   
Ismail pun menyatakan bahwa sebenarnya mereka semua eks Gafatar yang bermukim di Kalbar, sudah bertobat meninggalkan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah maupun Gafatar dihadapan Majelis Ulama Islam, MUI. "Pernyataan dan pengakuan itu kita ungkapkan dihadapan MUI Mempawah dan ditandatangani melalui surat kesepakatan untuk tidak mengamalkan, apalagi menyebarkan, ajaran sesat Gafatar berikut sanksi tegas hingga sanksi pengusiran," ungkap Ismail.
   
Pembubaran ormas Gafatar sebenarnya telah diputuskan pada bulan Agustus 2015 melalui keputusan kongres di Yogjakarta. Dalam kongres tahunan itu, salah satu pembahasan utama yakni kelanjutan organisasi tersebut yang sudah empat tahun berdiri sejak 2010, namun tak kunjung mendapatkan  pengesahan organisasi tanda terdaftar dari pemerintah. Karenanya kongres memutuskan dan menyatakan membubarkan ormas Gafatar.
   
Setelah dibubarkan, eks Gafatar tersebut diantaranya ternyata sepakat membuat kelompok tani mandiri yang akan berproduksi menopang kemandirian pangan dalam negeri. "Karena kami berkeyakinan Indonesia ini akan mengalami masa rawan pangan, kami sepakat berkelompok tani," kata Ismail melanjutkan penjelasannya.
   
Mereka kemudian menyebar ke berbagai daerah, termasuk Kalimantan.
   
Sementara M Hatta, warga Mempawah menuturkan, pemerintah daerah dan negara seharusnya jeli mencermati eksodus warga negaranya ditengah isu yang berkembang. "Kejelian tersebut tentu harus berjalan secara sinergis dan merumuskan permasalahan dengan cepat dan solusi yang bijak. Sebab, problem eksodus WNI mayoritas asal pulau jawa ini merupakan mantan ormas yang dilarang, yang menimbulkan keprihatinan masyarakat Mempawah akibat mengalami pergeseran faham idiologi dan kesenjangan sosial," kata dia.
   
Secara manusiawi, masyarakat Mempawah itu mengaku tidak mempersoalkan warga pendatang asal Jawa. Namun, keberadaan eks Gafatar yang cenderung membuat masyarakat sensitif terhadap kelangsungan hidup mereka itu karena khawatir akan terjadi pengaruh pergeseran akidah, idiologi dan budaya.
   
"Kita ingin semua eks Gafatar yang bermukim di Mempawah kembali dulu ke daerah asalnya, silahkan mereka membersihkan diri lahir batin. Kami menerima siapa pun. Akan tetapi keberadaan mereka harus jelas. Kami masyarakat Mempawah jelas masih mengkhawatirkan fiaham-faham idiologi, akidah dan budaya mereka itu sangat bertentangan dengan kehidupan masyarakat disini," kata Hatta.
  
Hatta termasuk dalam warga Mempawah yang unjuk rasa terhadap kehadiran para eks Gafatar itu. Warga bahkan mengultimatum 3 x 24 jam agar mereka pergi dari Mempawah.
   
Sementara itu, dari jajaran pemerintah daerah belum memberi keterangan resmi. Sejak Jumat (15/1) sore, banyak pejabat setempat yang ke Sanggau untuk menghadiri resepsi pernikahan anak Sekda Mempawah.
   
Penjelasan singkat dari Bidang Pemerintahan Pemkab Mempawah, menerangkan motif kedatangan warga sejak Oktober 2015 itu dalam rangka membangun usaha di sektor pertanian, khususnya perkebunan dan peternakan. Warga pendatang tersebut lantas menamakan diri mereka sebagai kelompok tani Manunggal Sejati.
   
Namun, sampai saat ini dokumen administrasi mereka ternyata baru 9 kepala keluarga yang terdata dan terverifikasi, selebihnya 202 KK dan lebih dari 600 jiwa tidak jelas administrasi kependudukannya. Sejauh ini pendatang tersebut statusnya dinyatakan belum mengikat dan tidak dapat memenuhi persyaratan administrasi. "Terkait indikasi afiliasi dengan kelompok Gafatar, pemerintah Kabupaten Mempawah masih berkesimpulan eksodus warga asal Jawa tersebut adalah pendatang dan sedang didalami motifnya," kata Rudi, Kasi Pemerintahan Pemkab Mempawah.
   
Banyak warga permukiman yang terlihat murung setelah aksi unjuk rasa. Di areal seluas 43 hektare itu, setidaknya mereka mengklaim sudah membeli lahan dari pemilik Rp760 juta. Meski telah ditipu dan tersangkut tumpang tindih lahan, pihak eks Gafatar yang melakukan eksodus di Kabupaten Mempawah ini untuk kali kedua kembali harus membayar uang tunai klaim jual beli hak atas lahan yang mereka naungi kepada pihak aparatur desa Antibar, Mempawah Timur. "Kami disini tidak datang cuma-cuma. Lahan ini kami beli dengan biaya yang tidak sedikit. Dan kami tidak merampas milik siapapun," kata Andri koordinator bidang logistik kelompok Tani Mandiri.
   
Berdasarkan data pihak kecamatan, kedatangan para penghuni permukiman itu telah berlangsung sejak Oktober 2015. Antara lain di Desa Antibar, Mempawah Timur sebanyak 110 kepala keluarga dengan 300 jiwa dan di Desa Pasir Mempawah Hilir sebanyak 101 kepala keluarga dengan 239 jiwa.
   
Sementara itu MUI dan sejumlah ormas Islam lainnya di Kabupaten Mempawah telah memberikan pernyataan sikap terhadap masuknya ribuan warga pendatang yang notabene berlatar belakang faham Gafatar. Pernyataan sikap tersebut guna menangkal masuknya faham-faham yang menyesatkan umat dan meresahkan masyarakat. Isinya antara lain menolak faham atau aliran sesat yang dibawa masuk secara perorangan atau kelompok maupun organisasi lain, yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah Islam.
   
Selain itu, Pemerintah Kabupaten Mempawah beserta pejabat berwenang sebelumnya telah diminta segera mengambil tindakan terhadap tumbuh kembangnya faham dan aliran sesat yang dapat kembali menyesatkan masyarakat, seperti keberadaan eks Gafatar saat ini.                                                                                                                                                
   
Front Pembela Islam, FPI Mempawah bahkan menilai keberadaan eks Gafatar di kabupaten itu telah mengarah pada praktek kesesatan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. "Eks Gafatar itu umumnya kan merupakan pengikut Ahmad Musadeq. Ia merupakan sosok orang yang dikenal menganut aliran Al Qiyadah Al Islam yang sesat. Terkait eksodus warga pendatang yang dicurigai sebagai eks Gafatar yang masuk ke Mempawah, tentu FPI sudah menyarankan forum komunikasi pimpinan daerah tanggap melakukan pengawasan terhadap keberadaan jaringan eks Gafatar. Jangan sampai meresahkan dan menimbulkan konflik di masyarakat," kata Ketua FPI Mempawah, Sawadi.


Pewarta: Aries Zaldi

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016