Pontianak (Antara Kalbar) - Warga Kecamatan Manis Mata Kabupaten Ketapang resah, semakin maraknya prostitusi di Desa Suak Burung dan Batu Sedau, menjadi ancaman serius terhadap penyebaran penyakit HIV/AIDS, pasalnya, dalam menjalankan praktik, para penjaja kenikmatan itu kerap melakukan tanpa kondom.

Ketapang, selama ini memang termasuk daerah rawan penyebaran HIV/AIDS. Data Dinas Kesehatan Ketapang, menyebutkan, sejak 2006 hingga Desember 2015, jumlah penderita HIV/AIDS di kabupaten tersebut mencapai 209 orang dan 53 di antaranya meninggal dunia. Dan, salah satu kecamatan yang pernah ditemukan kasus HIV/AIDS, adalah Manis Mata.

Ihwal tanpa kondom dibenarkan Ww, seorang mucikari. Dia mengatakan, anak asuhnya selalu melayani sesuai keinginan pelanggan. Salah satunya, pelayanan tanpa kondom itu tadi. “Kalau mau pakai, ya pakai. Kalau gak mau juga tidak apa-apa,” kata Ww, yang bersama Yq, suaminya, mengelola salah satu kafe di Batu Sedau.

Ketika ditanya siapa saja lelaki hidung belang yang mendatangi kafenya. Ww mengaku tak tahu persis. Pasalnya, tidak mungkin bertanya identitas para pelanggannya itu. Namun sepanjang pengetahuannya, kemungkinan mereka tidak hanya berasal dari Batu Sedau dan Suak Burung. Banyak juga yang datang dari Manis Mata atau bahkan Balai Riam.

Selain menyediakan PSK, seperti semua kafe di tempat tersebut, Ww juga menyediakan minuman keras. Karena menurutnya, tidak semua pria yang datang bermaksud untuk bersenang-senang dengan PSK. Tidak sedikit yang datang hanya untuk memesan minuman arak. “Tidak semua sih. Banyaknya sih, sambil masuk kamar sambil minum,” kata dia.

Rs, PSK yang mendiami Kafe Idola Sweet di Suak Burung, juga mengaku kalau dirinya sering melayani tanpa kondom. Karena menurutnya, memang banyak yang menginginkan pelayanan tanpa karet pengaman tersebut. "Banyak yang nggak mau pakai," ujar PSK yang berasal dari Kota Malang, Jawa Timur, tersebut.

Begitu juga dengan Tn, PSK asal Purwodadi Jawa Tengah yang sebelumnya beroperasi di Sukamara. Penghuni Karaoke Tiga Putri itu khawatir, jika memaksakan mempergunakan sarung pengaman, dia akan ditinggalkan pelanggan.

Warga tentu saja geram. Mereka resah dan ingin agar praktik tersebut segera dihentikan. Pasalnya, selain berpotensi menyebar penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS, juga mengancam kelangsungan kehidupan rumah tangga. Faktanya, tidak sedikit rumah tangga warga yang hancur, sejak keberadaan kafe dan karaoke tersebut. Ada yang bercerai, ada juga suami yang meninggalkan begitu saja istri dan anak-anaknya.

Seperti disampaikan Sudirman, tokoh masyarakat yang juga ketua masjid Desa Suak Burung. Menurut dia, salah satu dari sekian rumah tangga yang hancur itu, bahkan merupakan sepupu iparnya. “Si suami itu tergila-gila dengan perempuan kafe. Akhirnya, istri dan anak-anaknya ditelantarkan begitu saja,” kata Sudirman.

Untuk itulah Sudirman menegaskan, warga menolak keras keberadaan prostitusi tersebut. Bukan hanya sekitar delapan kafe, karaoke, dan rumah biliar yang beroperasi di Suak Burung. Namun juga tiga tempat maksiat serupa di Batu Sedau. “Harus dibubarkan! Jangan merusak kesantunan warga,” kata Sudirman.

Lili dan Bidah, dua ibu rumah tangga di Desa Suak Burung juga menolak keras keberadaan tempat prostitusi. Menurut Bidah, banyak ibu-ibu menangis karena mencari suaminya. Gajian yang ditunggu-tunggu, lanjut Bidah, malah diberikan kepada para perempuan di kafe-kafe. Bidah bahkan mengatakan, akan berbuat nekad jika suaminya ikut terseret ke pelukan PSK. “Saya akan tusuk perempuan itu. Saya tidak takut,” kata dia.

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016