Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik, Sofyano Zakaria menyatakan jika penyaluran bahan bakar, baik BBM dan elpiji untuk wilayah terpencil harus "kekeuh" mengacu kepada Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, maka dipastikan itu akan menimbulkan masalah bagi pemenuhan hajat dan kebutuhan  rakyat terhadap BBM dan elpiji.
"Menurut UU RI No. 17/2008 tentang Pelayaran, Bahan Bakar Minyak dan Gas termasuk elpiji, dinyatakan sebagai barang berbahaya. Itu sejalan pula dengan ketentuan Internasional Maritime. Dangerous Goods Code (IMDG) yang ditetapkan oleh IMO.Â
Karenanya, Pengangkutan BBM dan elpiji yang dilakukan dengan kapal pelayaran, ini berlaku ketentuan khusus sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No.172008," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Sabtu.
Baik UU RI No. 17/2008 dan juga PP No. 20/2010 tentang Angkutan Perairan, jelas dan tegas menetapkan adanya ketentuan khusus tentang angkutan barang berbahaya seperti BBM dan elpiji tersebut, katanya.
Â
Adanya UU dan PP terkait pengangkutan dan atau pelayaran untuk mengangkut bahan bakar minyak dan elpiji yang tergolong barang berbahaya tersebut, pasti akan ditegakkan dan dipatuhi sepenuhnya oleh aparat pemerintah baik pihak Syahbandar (baca pihak Kementerian Perhubungan), pihak Pemerintah daerah setempat dan juga pihak kepolisian, katanya.
Namun akhirnya penyelenggaraan ketersediaan dan penyaluran BBM dan elpiji untuk pemenuhan hajat rakyat di pulau pulau kecil dan terpencil, akan mengalami hambatan prosedural.Â
Akibatnya, penegakan peraturan tersebut dengan tanpa memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat di pulau pulau kecil dan terpencil seperti misalnya  pada kepulauan Seribu  di DKI Jakarta dan Kepulauan Untung Jawa di Jawa Tengah, akan menimbulkan masalah dalam penyediaan dan penyaluran bahan bakar bagi rakyat kecil di pulau pulau tersebut. Padahal UU juga sudah mensyaratkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan penyaluran bahan bakar minyak (dan tentunya termasuk elpiji).
Disisi lain, mengingat bahwa pulau pulau kecil dan terpencil itu berpenduduk yang terbatas bahkan tanpa memiliki fasilitas pelabuhan atau terminal sebagaimana di persyaratkan oleh UU Pelayaran, maka angkutan pelayaran ke pulau pulau tersebut pada dasarnya dilakukan oleh pelayaran rakyat yang menggunakan kapal kayu atau perahu kayu bermesin.
"Karena jumlah penduduk di pulau pulau tersebut tergolong kecil, maka kenyataaan yang ada selama ini, angkutan BBM dan elpiji disatukan dengan angkutan bahan pokok dan lain lain. Namun mengingat adanya ketentuan Perpu terkait angkutan barang berbahaya tersebut, maka perusahaan pelayaran rakyat atau pemilik kapal kecil menjadi takut dan khawatir mendapatkan sanksi dari aparat penegak hukum. Akibatnya mereka akan menolak mengangkut BBM dan elpiji tersebut, " katanya.
Bahwa NKRI adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak dan kedaulatan yang ditetapkan UUD 45 dan juga  menjadikan pertimbangan utama yang ditetapkan dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Namun pada kenyataannya, apa yang diamanahkan dalam UUD 45 itu terganjal oleh ketentuan yang diatur dalam UU dibawahnya, kata Sofyano. Â
Disisi lain, mengingat BBM dan elpiji merupakan barang publik sebagaimana dimaksud dengan UU 25/2009 tentang Pelayan Publik, maka sudah sepantasnya ketersediaan dan penyalurannya menjadi domain dan misi negara. Artinya, pemerintah wajib membuat kebijakan khusus terkait pelayaran dan pengangkutan BBM dan elpiji ke pulau pulau kecil dan atau terpencil dengan tidak harus mengacu sepenuhnya kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pelayaran ataupun PP tentang Angkutan Perairan.Â
Menteri Perhubungan harusnya bisa menerbitkan Permen Perhubungan terkait angkutan barang berbahaya (baca BBM dan elpiji) serta Terkait angkutan untuk pulau pulau kecil dan atau terpencil dengan tanpa mengenakan. Persyaratan khusus dan sanksi yang berlaku dalam UU Pelayaran, katanya.
Hal ini pernah dilakukan pihak Kementerian Perhubungan dengan mengeluarkan maklumat Penundaan Pemberlakuan Tarif PNBP terhadap Pengangkutan dan Pengawasan Barang Berbahaya yang mengacu kepada PP No. 11/2015, dimana maklumat tersebut ternyata bisa ditetapkan dan ditandatangani oleh Direktur Jendral Perhubungan Laut saja, katanya.
"Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan RI serta Pemda setempat, harus duduk bersama membuat solusi yang tepat untuk mencegah dan memecahkan "ganjalan" terhadap pengangkutan BBM dan elpiji bagi masyarakat di pulau pulau Kecil dan atau terpencil  yang ada di wilayah NKRI," katanya.Â
Ketersediaan dan penyaluran BBM dan elpiji yang merupakan misi negara dan berada pada pundak pemerintah, harus berjalan sebagaimana diharapkan rakyat termasuk oleh rakyat miskin yang ada di pulau pulau kecil dan terpencil tersebut.Â
Pertamina sebagai badan usaha yang ditugaskan oleh pemerintah dalam penyediaan dan penyaluran bahan bakar bagi rakyat, harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan daerah, sehingga ketersediaan dan penyaluran BBM dan elpiji yang dibebankan kepundak Pertamina bisa terselenggara sebagaimana di harapkan pemerintah dan itu bisa dijalankan oleh BUMN seperti Pertamina jika pemerintah menjamin keberlangsungan penyaluran tanpa terganjal oleh peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri, kata Sofyano.
 Â
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016
"Menurut UU RI No. 17/2008 tentang Pelayaran, Bahan Bakar Minyak dan Gas termasuk elpiji, dinyatakan sebagai barang berbahaya. Itu sejalan pula dengan ketentuan Internasional Maritime. Dangerous Goods Code (IMDG) yang ditetapkan oleh IMO.Â
Karenanya, Pengangkutan BBM dan elpiji yang dilakukan dengan kapal pelayaran, ini berlaku ketentuan khusus sebagaimana yang ditetapkan dalam UU No.172008," kata Sofyano Zakaria dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Sabtu.
Baik UU RI No. 17/2008 dan juga PP No. 20/2010 tentang Angkutan Perairan, jelas dan tegas menetapkan adanya ketentuan khusus tentang angkutan barang berbahaya seperti BBM dan elpiji tersebut, katanya.
Â
Adanya UU dan PP terkait pengangkutan dan atau pelayaran untuk mengangkut bahan bakar minyak dan elpiji yang tergolong barang berbahaya tersebut, pasti akan ditegakkan dan dipatuhi sepenuhnya oleh aparat pemerintah baik pihak Syahbandar (baca pihak Kementerian Perhubungan), pihak Pemerintah daerah setempat dan juga pihak kepolisian, katanya.
Namun akhirnya penyelenggaraan ketersediaan dan penyaluran BBM dan elpiji untuk pemenuhan hajat rakyat di pulau pulau kecil dan terpencil, akan mengalami hambatan prosedural.Â
Akibatnya, penegakan peraturan tersebut dengan tanpa memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat di pulau pulau kecil dan terpencil seperti misalnya  pada kepulauan Seribu  di DKI Jakarta dan Kepulauan Untung Jawa di Jawa Tengah, akan menimbulkan masalah dalam penyediaan dan penyaluran bahan bakar bagi rakyat kecil di pulau pulau tersebut. Padahal UU juga sudah mensyaratkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan dan penyaluran bahan bakar minyak (dan tentunya termasuk elpiji).
Disisi lain, mengingat bahwa pulau pulau kecil dan terpencil itu berpenduduk yang terbatas bahkan tanpa memiliki fasilitas pelabuhan atau terminal sebagaimana di persyaratkan oleh UU Pelayaran, maka angkutan pelayaran ke pulau pulau tersebut pada dasarnya dilakukan oleh pelayaran rakyat yang menggunakan kapal kayu atau perahu kayu bermesin.
"Karena jumlah penduduk di pulau pulau tersebut tergolong kecil, maka kenyataaan yang ada selama ini, angkutan BBM dan elpiji disatukan dengan angkutan bahan pokok dan lain lain. Namun mengingat adanya ketentuan Perpu terkait angkutan barang berbahaya tersebut, maka perusahaan pelayaran rakyat atau pemilik kapal kecil menjadi takut dan khawatir mendapatkan sanksi dari aparat penegak hukum. Akibatnya mereka akan menolak mengangkut BBM dan elpiji tersebut, " katanya.
Bahwa NKRI adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak dan kedaulatan yang ditetapkan UUD 45 dan juga  menjadikan pertimbangan utama yang ditetapkan dalam UU No. 17/2008 tentang Pelayaran. Namun pada kenyataannya, apa yang diamanahkan dalam UUD 45 itu terganjal oleh ketentuan yang diatur dalam UU dibawahnya, kata Sofyano. Â
Disisi lain, mengingat BBM dan elpiji merupakan barang publik sebagaimana dimaksud dengan UU 25/2009 tentang Pelayan Publik, maka sudah sepantasnya ketersediaan dan penyalurannya menjadi domain dan misi negara. Artinya, pemerintah wajib membuat kebijakan khusus terkait pelayaran dan pengangkutan BBM dan elpiji ke pulau pulau kecil dan atau terpencil dengan tidak harus mengacu sepenuhnya kepada ketentuan yang ditetapkan dalam UU Pelayaran ataupun PP tentang Angkutan Perairan.Â
Menteri Perhubungan harusnya bisa menerbitkan Permen Perhubungan terkait angkutan barang berbahaya (baca BBM dan elpiji) serta Terkait angkutan untuk pulau pulau kecil dan atau terpencil dengan tanpa mengenakan. Persyaratan khusus dan sanksi yang berlaku dalam UU Pelayaran, katanya.
Hal ini pernah dilakukan pihak Kementerian Perhubungan dengan mengeluarkan maklumat Penundaan Pemberlakuan Tarif PNBP terhadap Pengangkutan dan Pengawasan Barang Berbahaya yang mengacu kepada PP No. 11/2015, dimana maklumat tersebut ternyata bisa ditetapkan dan ditandatangani oleh Direktur Jendral Perhubungan Laut saja, katanya.
"Kementerian ESDM dan Kementerian Perhubungan RI serta Pemda setempat, harus duduk bersama membuat solusi yang tepat untuk mencegah dan memecahkan "ganjalan" terhadap pengangkutan BBM dan elpiji bagi masyarakat di pulau pulau Kecil dan atau terpencil  yang ada di wilayah NKRI," katanya.Â
Ketersediaan dan penyaluran BBM dan elpiji yang merupakan misi negara dan berada pada pundak pemerintah, harus berjalan sebagaimana diharapkan rakyat termasuk oleh rakyat miskin yang ada di pulau pulau kecil dan terpencil tersebut.Â
Pertamina sebagai badan usaha yang ditugaskan oleh pemerintah dalam penyediaan dan penyaluran bahan bakar bagi rakyat, harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan daerah, sehingga ketersediaan dan penyaluran BBM dan elpiji yang dibebankan kepundak Pertamina bisa terselenggara sebagaimana di harapkan pemerintah dan itu bisa dijalankan oleh BUMN seperti Pertamina jika pemerintah menjamin keberlangsungan penyaluran tanpa terganjal oleh peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri, kata Sofyano.
 Â
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016