Pontianak (Antara Kalbar) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Kalimantan Barat menyatakan, larangan ekspor kelapa akan berdampak merugikan petani, karena pabrik lokal tidak akan mampu menampung hasil panen petani kelapa.

"Kami minta agar pemerintah tidak terlalu terburu-buru membuat kebijakan larangan ekspor kelapa itu, karena hanya akan merugian petani kelapa," kata Ketua Departemen Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Kalbar, Rudyzar Zaidar Mochtar di Pontianak, Sabtu.

Ia menjelaskan, sinyal larangan ekspor kelapa yang mulai diwacanakan Menteri Perdagangan RI, Thomas Lembong itu dinilai masih perlu dikaji secara komprehensif agar tidak merugikan petani.

"Di Kalbar saja, sumberdaya kelapa kita berlimpah. Sementara pabrik yang bisa menampung kelapa petani hanya ada dua unit," ungkapnya.

Menurut dia, jumlah pabrik pengolahan kelapa yang ada di Kalbar tidak mampu jika dibandingkan dengan jumlah kelapa yang dipasok petani. Dengan demikian, jika larangan ekspor itu dilakukan maka dapat dipastikan kelapa milik petani tidak akan bisa dikelola.

Begitu pula dari sisi harga, menurut dia, pabrik pengolahan kelapa di Kalbar, membeli kelapa dari petani dengan harga yang relatif murah, yakni hanya berkisar Rp1.500 hingga Rp1.700 per butir. "Jadi peluang petani untuk mendapatkan nilai tambah ekonomi di sektor perkebunan kelapa sangat terbatas, sehingga pilihan alternatifnya adalah ekspor," jelas Rudyzar.

Sementara, dari sisi harga, kalau diekspor cukup membantu petani, karena harga kelapa di tingkat pembeli kontainer saja sudah mencapai Rp3.000 per butir. Jika larangan ekspor itu diberlakukan, maka dikhawatirkan harga kelapa akan mengalami penurunan hingga 50 persen, katanya.

Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Kalbar tahun 2013, luas areal perkebunan kelapa di Kalbar mencapai 117.250 hektare, dari luas total areal yang terbagi menjadi tiga kelompok, masing-masing luas areal tandan muda seluas 12.937 hektare, tandan menghasilkan 74.876 hektare, dan tandan tua seluas 29.437 hektare.

Seluruh luasan total perkebunan kelapa di atas digarap oleh sekitar 78.758 keluarga petani, dengan jumlah produksi yang dihasilkan mencapai 78.897 ton per tahun, katanya.

Merujuk pada data pemerintah di atas, Rudyzar mengkhawatirkan akan terjadi gejolak di tingkat petani jika kebijakan larangan ekspor dilakukan. "Saya malah khawatir jika petani marah, mereka akan menebangi kelapanya dan menggantinya dengan komoditas lain seperti sawit," ujarnya.

Dia mencontohkan di zaman pemerintahan Soeharto, cengkih dilarang ekspor, kemudian jeruk Sambas dimonopoli, akibatnya petani menjerit dan terjadi lonjakan pengangguran.

Begitu pula di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, rotan dilarang ekspor, akhirnya banyak industri pabrik gulung tikar yang berujung pada lonjakan pengangguran.

Rudyzar menyarankan agar pemerintah pusat berhati-hati dalam melahirkan produk kebijakan. "Jika sektor kelapa ingin ditata, sebaiknya menggunakan sistem kuota saja, seperti ada pembatasan jumlah kelapa yang harus diekspor sesuai kebutuhan pabrik. Kalau pabrik butuhnya 10 ribu ton maka sisa pasokan kelapa yang ada boleh diekspor, saya kira itu salah satu jalan tengahnya," tegas Rudyzar.

(U.A057/Y008)

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016