Manila  (Antara Kalbar) - Petugas pelaksana perang melawan narkotika di Filipina bertindak layaknya penjahat, yang seharusnya mereka tahan, mendapatkan upah atas pembunuhan dan mengantarkan jenazah ke rumah duka, kata laporan dikeluarkan pada Rabu.

Laporan Amnesti Internasional itu mengatakan pembunuhan terkait narkotika sejak Presiden Rodrigo Duterte menjabat pada pertengahan 2016 tampak "sistematis, terencana dan tergalang" oleh pihak berwenang dan dapat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kantor Komunikasi Presiden tidak mengeluarkan tanggapan tentang laporan itu.

Dalam rangkaian laporan tahun lalu, Reuters menunjukkan bahwa kepolisian memiliki tingkat pembunuhan 97 persen dalam perang narkotika mereka, yang menunjukkan bahwa petugas cenderung menembak mati tersangka.

Laporan Reuters itu juga menunjukkan bahwa para pejabat rendah di sejumlah lokasi terpencil membantu aparat menyusun "daftar tersangka" pengguna dan pengedar narkoba yang menjadi daftar orang yang harus dibunuh, dengan banyak nama dalam daftar itu tewas.

Duterte menggunakan data yang berlebihan, termasuk jumlah pengguna narkoba di Filipina, untuk membenarkan tindakan kerasnya, menurut penyelidikan Reuters.

Hasil penyelidikan Amnesti, yang didasarkan pada 59 pembunuhan di 20 kota, keluar di tengah ketidakpastian atas tindakan keras itu setelah pemerintah menghentikan seluruh operasi anti-narkoba bagi para aparat polisi pada Senin dikarenakan dugaan korupsi. Lembaga Penegakan Narkoba Filipina (PDEA) saat ini menjadi pemimpin dalam usaha itu.

Duterte mengeluarkan keputusannya setelah diadakannya pertemuan keamanan pada Minggu yang dipicu oleh penculikan dan pembunuhan terhadap pebisnis asal Korea Selatan oleh aparat anti-narkoba. Dia mengatakan insiden itu, yang terjadi di markas polisi nasional, telah mempermalukan negara dan menodai citra kepolisian.

Amnesti mengatakan sebagian besar pembunuhan yang mereka selidiki "tampak merupakan pembunuhan di luar pengadilan, tidak berdasarkan hukum dan disengaja yang dijalankan oleh perintah pemerintah atau dengan persetujuan sepihak".

"Tekanan besar pemerintahan Duterte terhadap kepolisian untuk memberikan hasil dalam operasi anti-narkoba telah membantu prakitk semena-mena itu," kata laporan itu.

Petinggi kepolisian mengatakan kepada Amnesti bahwa aparat "dibayar sesuai temuan," menerima sekitar 160 dolar Amerika tiap tersangka tewas dan tidak menerima apapun jika menahan tersangka.

Amnesti melaporkan beberapa aparat dibayar oleh pihak lain untuk mengirimkan jenazah, polisi mencuri dari rumah-rumah korban dan pembunuh bayaran juga dilibatkan.

"Polisi bertindak seperti kriminal yang harusnya mereka tahan, dengan melakukan pembunuhan tanpa pengadilan," kata laporan itu.

Pemerintah menyangkal dorongan terhadap pembunuhan tanpa pengadilan, atau kerjasama aparat dengan pembunuh bayaran.

Laporan Amnesti itu mencantumkan sejumlah referensi terhadap serangkaian berita dan penyelidikan Reuters terhadap perangmelawan narkotika itu.

Dalam rangkaian itu, Reuters menemukan bahwa aparat seringkali mendapatkan balas jasa tiap kali tersangka tertembak mati. Saksi mata juga seringkali memberikan pernyataan berbeda terkait operasi itu, seperti mengatakan tersangka ditembak mati meskipun telah menyerah.

Amnesti juga melaporkan temuan serupa.

Penyelidikan yang dilakukan oleh kelompok advokasi dari London itu dilakukan terutama pada November dan Desember, dengan mewawancarai sekitar 110 narasumber.

Data kepolisian terbaru menunjukkan 7.669 orang tewas sejak Duterte melancarkan perang melawan narkoba sekitar tujuh bulan lalu, sebanyak 2.555 di antaranya tewas dalam operasi kepolisian.

Korban tewas lain disebut masih dalam penyelidikan. Sejumlah kelompok hak asasi manusia menduga sebagian besar berhubungan dengan narkotika, yang dilakukan pembunuh bayaran.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017