London (Antara Kalbar) - Pekerja seks dan sarjana hukum Laura Lee akan tampil di sidang di Pengadilan Tinggi Irlandia Utara, Senin, untuk menggugat undang-undang pelacuran, yang melarang hubungan intim berbayar.
Pemerintah Irlandia Utara melarang pelacuran pada 2015. Pegiat mengatakan, kebijakan itu dapat memicu perdagangan orang untuk hubungan intim.
Pegiat lain turut menentang berdalih, aturan itu dapat mendorong pelacuran bawah tanah serta meningkatkan kekerasan terhadap perempuan.
"Undang-undang itu digugat karena berpeluang menciptakan lingkungan kerja berbahaya bagi pekerja seks," kata Lee.
"Pemakai menolak menunjukkan jatidirinya karena khawatir ditindak, tetapi dampaknya, pekerja seks tidak dapat melakukan pengecekan sehingga jika ada masalah, keberadaan pelanggan itu sulit dilacak," tambahnya.
Lee mengatakan, "banyak konsumen yang sudah menikah atau berkeluarga menolak menampilkan identitasnya karena takut akan tertangkap, sehingga para PSK itu berisiko diperlakukan kasar".
Pemerintah Irlandia Utara mengikuti jejak Kanada, Swedia, Norwegia, dan Islandia menghukum para konsumen praktik hubungan intim berbayar.
Namun, aturan itu tidak menghukum korban yang dipaksa bekerja dalam dunia prostitusi.
Pemerintah mengaku kebijakan itu dibuat untuk mengakhiri praktik perdagangan orang.
Namun, Lee mengatakan, tidak ada bukti yang menunjukkan UU itu membantu mengatasi kejahatan perdagangan manusia.
"Undang-undang itu justru merusak hubungan pekerja seks dengan polisi karena petugas kini memburu pelanggan," katanya.
"Aksi itu justru berujung pada lebih banyak kasus pemerkosaan. UU tersebut membuat komunitas kami ketakutan untuk melaporkan kejahatan itu," kata Lee.
Seorang hakim pada September lalu memutuskan, tuntutan perubahan UU Perdagangan dan Eksploitasi Manusia yang didaftarkan Lee melanggar hak atas privasi dan bebas dari diskriminasi.
Walau kegiatannya dikritik banyak pihak, Lee mengatakan, "Putusan itu justru menguatkan saya untuk terus berbuat dan melakukan perubahan."
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
Pemerintah Irlandia Utara melarang pelacuran pada 2015. Pegiat mengatakan, kebijakan itu dapat memicu perdagangan orang untuk hubungan intim.
Pegiat lain turut menentang berdalih, aturan itu dapat mendorong pelacuran bawah tanah serta meningkatkan kekerasan terhadap perempuan.
"Undang-undang itu digugat karena berpeluang menciptakan lingkungan kerja berbahaya bagi pekerja seks," kata Lee.
"Pemakai menolak menunjukkan jatidirinya karena khawatir ditindak, tetapi dampaknya, pekerja seks tidak dapat melakukan pengecekan sehingga jika ada masalah, keberadaan pelanggan itu sulit dilacak," tambahnya.
Lee mengatakan, "banyak konsumen yang sudah menikah atau berkeluarga menolak menampilkan identitasnya karena takut akan tertangkap, sehingga para PSK itu berisiko diperlakukan kasar".
Pemerintah Irlandia Utara mengikuti jejak Kanada, Swedia, Norwegia, dan Islandia menghukum para konsumen praktik hubungan intim berbayar.
Namun, aturan itu tidak menghukum korban yang dipaksa bekerja dalam dunia prostitusi.
Pemerintah mengaku kebijakan itu dibuat untuk mengakhiri praktik perdagangan orang.
Namun, Lee mengatakan, tidak ada bukti yang menunjukkan UU itu membantu mengatasi kejahatan perdagangan manusia.
"Undang-undang itu justru merusak hubungan pekerja seks dengan polisi karena petugas kini memburu pelanggan," katanya.
"Aksi itu justru berujung pada lebih banyak kasus pemerkosaan. UU tersebut membuat komunitas kami ketakutan untuk melaporkan kejahatan itu," kata Lee.
Seorang hakim pada September lalu memutuskan, tuntutan perubahan UU Perdagangan dan Eksploitasi Manusia yang didaftarkan Lee melanggar hak atas privasi dan bebas dari diskriminasi.
Walau kegiatannya dikritik banyak pihak, Lee mengatakan, "Putusan itu justru menguatkan saya untuk terus berbuat dan melakukan perubahan."
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017