Jakarta (Antara Kalbar) - Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Irawati Harsono mengatakan
Indonesia perlu segera memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Seksual karena kondisi kekerasan seksual sudah membahayakan, terutama
bagi perempuan dan anak-anak.
"Korban kekerasan seksual kebanyakan perempuan dan anak-anak. Perempuan seolah-olah wajar mengalami kekerasan seksual sehingga terjadi viktimisasi berulang di banyak wilayah," kata Irawati dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
Irawati mengatakan saat ini kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kesusilaan hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal, beberapa jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia.
"KUHP hanya mengenal perkosaan dan pencabulan. Itu pun perkosaan hanya dimaknai adanya kontak alat kelamin saja," ujarnya.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016, setiap hari sedikitnya lebih dari 35 perempuan, termasuk anak perempuan, mengalami kekerasn seksual di Indonesia.
Kasus kekerasan seksual meningkat setiap tahun. Pada 2010, tercatat 2.645 kasus, 2011 tercatat 4.335 kasus, 2012 tercatat 3.937 kasus, 2013 tercatat 5.629 kasus, 2014 tercatat 4.458 kasus, 2015 tercatat 6.499 kasus dan 2016 tercatat 5.786 kasus.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016 yang diluncurkan 7 Maret 2017 menyatakan kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas menempati urutan pertama sebanyak 74 persen, diikuti kekerasan fisik 16 persen dan kekerasan lain di bawah 10 persen.
"Jenis kekerasan seksual yang paling banyak adalah perkosaan mencapai 1.036 kasus dan pencabulan 838 kasus," tuturnya.
Irawati mengatakan data pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan itu berasal dari laporan mitra-mitra yang ada di daerah. Menurut dia, kasus yang terjadi akan selalu lebih besar, sehingga kekerasan seksual merupakan fenomena dari puncak gunung es.
Irawati menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Panel "Urgensitas Pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual" yang diadakan Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC).
Selain Irawati, narasumber lain adalah Happy Farida Djarot, istri Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat; Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Hendrik Jehaman, Wakil Ketua DPD GKR Hemas dan anggota Komisi IX Nihayatul Wafiroh.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Korban kekerasan seksual kebanyakan perempuan dan anak-anak. Perempuan seolah-olah wajar mengalami kekerasan seksual sehingga terjadi viktimisasi berulang di banyak wilayah," kata Irawati dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.
Irawati mengatakan saat ini kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kesusilaan hanya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Padahal, beberapa jenis kekerasan seksual belum dikenali oleh hukum Indonesia.
"KUHP hanya mengenal perkosaan dan pencabulan. Itu pun perkosaan hanya dimaknai adanya kontak alat kelamin saja," ujarnya.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016, setiap hari sedikitnya lebih dari 35 perempuan, termasuk anak perempuan, mengalami kekerasn seksual di Indonesia.
Kasus kekerasan seksual meningkat setiap tahun. Pada 2010, tercatat 2.645 kasus, 2011 tercatat 4.335 kasus, 2012 tercatat 3.937 kasus, 2013 tercatat 5.629 kasus, 2014 tercatat 4.458 kasus, 2015 tercatat 6.499 kasus dan 2016 tercatat 5.786 kasus.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016 yang diluncurkan 7 Maret 2017 menyatakan kasus kekerasan seksual terjadi di ranah komunitas menempati urutan pertama sebanyak 74 persen, diikuti kekerasan fisik 16 persen dan kekerasan lain di bawah 10 persen.
"Jenis kekerasan seksual yang paling banyak adalah perkosaan mencapai 1.036 kasus dan pencabulan 838 kasus," tuturnya.
Irawati mengatakan data pada Catatan Tahunan Komnas Perempuan itu berasal dari laporan mitra-mitra yang ada di daerah. Menurut dia, kasus yang terjadi akan selalu lebih besar, sehingga kekerasan seksual merupakan fenomena dari puncak gunung es.
Irawati menjadi salah satu narasumber dalam Diskusi Panel "Urgensitas Pembentukan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual" yang diadakan Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC).
Selain Irawati, narasumber lain adalah Happy Farida Djarot, istri Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat; Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Hendrik Jehaman, Wakil Ketua DPD GKR Hemas dan anggota Komisi IX Nihayatul Wafiroh.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017