Kuching, Malaysia, (Antara Kalbar ) - Konsul Jenderal RI Kuching, Sarawak, Malaysia, Jahar Gultom mengatakan, sekitar 3.600 anak TKI usia sekolah terpaksa tidak mengenyam pendidikan formal karena ikut orang tuanya bekerja di perkebunan kelapa sawit.
"Mereka tidak mendapatkan pendidikan formal sebagaimana mestinya mengingat tidak adanya akses pendidikan bagi mereka. Di samping lokasi tempat tinggal mereka jauh di pedalaman, mereka juga tidak dapat diterima di sekolah milik pemerintah karena regulasi setempat mengatur bahwa pekerja asing tidak diperbolehkan untuk membawa keluarga," ujarnya di Kuching, Rabu.
Jahar mengatakan KJRI Kuching telah mengimbau pemilik perusahaan agar memberikan fasilitas pendidikan sementara kepada anak-anak tersebut, minimal mengajarkan untuk bisa membaca, menulis dan berhitung.
Menurutnya imbauan tersebut mendapat sambutan yang positif dari beberapa perusahaan dengan mendirikan Community Learning Center (CLC) atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
"Ada yang menyediakan ruangan khusus atau bahkan ada di antaranya yang membangun gedung khusus untuk kegiatan belajar-mengajar anak-anak tersebut," kata dia.
Sementara itu, untuk tenaga pengajar atas saran dari KJRI, perusahaan merekrut guru dari kalangan TKI itu sendiri yang minimal memiliki pendidikan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA).
"KJRI Kuching dalam hal ini berperan memberikan pelatihan keguruan kepada guru-guru yang direkrut perusahaan tersebut untuk meningkatkan dan menjamin mutu pendidikan anak-anak TKI agar tidak jauh tertinggal dengan pendidikan di Tanah Air. Di samping juga memberikan bantuan peralatan dan perlengkapan sekolah," paparnya.
Ia menjelaskan seiring dengan perjalanan waktu saat ini telah berdiri sejumlah 16 buah CLC yang berada di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di daerah Miri dan Bintulu yang dapat menampung 981 orang anak TKI.
"Presiden Republik Indonesia pada pertemuan tahunan dengan Perdana Menteri Malaysia membahas permasalahan anak-anak TKI di Sarawak tersebut dan sebagai tindak lanjutnya keberadaan CLC saat ini telah diakui oleh pemerintah Negeri Sarawak," jelasnya.
Pemerintah Indonesia sangat serius menangani masalah pendidikan ini. Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah disalurkan sejumlah bantuan kepada CLC di Sarawak baik finansial, insentif guru maupun pelatihan-pelatihan kepada guru CLC.
"Mulai 2016 atase Pendidikan KBRI Kuala Lumpur bekerja sama dengan KJRI Kuching telah menempatkan seorang Koordinator Pendidikan yang khusus akan menangani CLC di Sarawak yaitu untuk program pendaftaran CLC guna mendapatkan status legal," jelasnya.
Ia menambahkan setelah proses pendaftaran dan perizinan pendirian CLC kepada Kementerian Pendidikan Malaysia selesai, maka pemerintah Indonesia akan lebih leluasa untuk memberikan akses pendidikan kepada anak-anak TKI di CLC di antaranya pengiriman guru-guru profesional serta penyaluran dana-dana pendidikan.
"Pengiriman guru tahap pertama akan dilaksanakan pada awal Mei 2017 sejumlah 15 orang," kata Jahar.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Mereka tidak mendapatkan pendidikan formal sebagaimana mestinya mengingat tidak adanya akses pendidikan bagi mereka. Di samping lokasi tempat tinggal mereka jauh di pedalaman, mereka juga tidak dapat diterima di sekolah milik pemerintah karena regulasi setempat mengatur bahwa pekerja asing tidak diperbolehkan untuk membawa keluarga," ujarnya di Kuching, Rabu.
Jahar mengatakan KJRI Kuching telah mengimbau pemilik perusahaan agar memberikan fasilitas pendidikan sementara kepada anak-anak tersebut, minimal mengajarkan untuk bisa membaca, menulis dan berhitung.
Menurutnya imbauan tersebut mendapat sambutan yang positif dari beberapa perusahaan dengan mendirikan Community Learning Center (CLC) atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
"Ada yang menyediakan ruangan khusus atau bahkan ada di antaranya yang membangun gedung khusus untuk kegiatan belajar-mengajar anak-anak tersebut," kata dia.
Sementara itu, untuk tenaga pengajar atas saran dari KJRI, perusahaan merekrut guru dari kalangan TKI itu sendiri yang minimal memiliki pendidikan ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA).
"KJRI Kuching dalam hal ini berperan memberikan pelatihan keguruan kepada guru-guru yang direkrut perusahaan tersebut untuk meningkatkan dan menjamin mutu pendidikan anak-anak TKI agar tidak jauh tertinggal dengan pendidikan di Tanah Air. Di samping juga memberikan bantuan peralatan dan perlengkapan sekolah," paparnya.
Ia menjelaskan seiring dengan perjalanan waktu saat ini telah berdiri sejumlah 16 buah CLC yang berada di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di daerah Miri dan Bintulu yang dapat menampung 981 orang anak TKI.
"Presiden Republik Indonesia pada pertemuan tahunan dengan Perdana Menteri Malaysia membahas permasalahan anak-anak TKI di Sarawak tersebut dan sebagai tindak lanjutnya keberadaan CLC saat ini telah diakui oleh pemerintah Negeri Sarawak," jelasnya.
Pemerintah Indonesia sangat serius menangani masalah pendidikan ini. Melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah disalurkan sejumlah bantuan kepada CLC di Sarawak baik finansial, insentif guru maupun pelatihan-pelatihan kepada guru CLC.
"Mulai 2016 atase Pendidikan KBRI Kuala Lumpur bekerja sama dengan KJRI Kuching telah menempatkan seorang Koordinator Pendidikan yang khusus akan menangani CLC di Sarawak yaitu untuk program pendaftaran CLC guna mendapatkan status legal," jelasnya.
Ia menambahkan setelah proses pendaftaran dan perizinan pendirian CLC kepada Kementerian Pendidikan Malaysia selesai, maka pemerintah Indonesia akan lebih leluasa untuk memberikan akses pendidikan kepada anak-anak TKI di CLC di antaranya pengiriman guru-guru profesional serta penyaluran dana-dana pendidikan.
"Pengiriman guru tahap pertama akan dilaksanakan pada awal Mei 2017 sejumlah 15 orang," kata Jahar.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017